Diberdayakan oleh Blogger.

Labels

Blogger news

Blogger templates

RSS

catatan perjalan menempuh S1

cacatan perjalanan menempuh S1

Pembelajaran CTL & Mastery Learning



BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian metode pembelajaran Contextual Teaching Learning, penerapannya serta hasil dari penerapan CTL bagi siswa dan guru
                          1.1            Contextual Teaching Learning
Pendekatan kontektual atau sering disebut dengan Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil
Dalam kelas kontektual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan.
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah sistem pembelajaran yang cocok dengan kinerja otak, untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna, dengan cara menghubungkan muatan akademis dengan konteks kehidupan sehari-hari peserta didik. Hal ini penting diterapkan agar informasi yang diterima tidak hanya disimpan dalam memori jangka pendek, yang mudah dilupakan, tetapi dapat disimpan dalam memori jangka panjang sehingga akan dihayati dan diterapkan dalam tugas pekerjaan.
CTL disebut pendekatan kontektual karena konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat.
Menurut teori pembelajran kontekstual, pembelajaran terjadi hanya ketika siswa (peserta didik) memproses informasi atau pengetahuan baru sedemikian rupa sehingga dapat terserap kedalam benak mereka dan mereka mampu menghubungannya dengan kehidupan nyata yang ada di sekitar mereka. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa pikiran secara alami akan mencari makna dari hubungan individu dengan linkungan sekitarnya.
Berdasarkan pemahaman di atas, menurut metode pembelajaran kontekstual kegiatan pembelajaran tidak harus dilakukan di dalam ruang kelas, tapi bisa di laboratorium, tempat kerja, sawah, atau tempat-tempat lainnya. Mengharuskan pendidik (guru) untuk pintar-pintar memilih serta mendesain linkungan belajar yang betul-betul berhubungan dengan kehidupan nyata, baik konteks pribadi, sosial, budaya, ekonomi, kesehatan, serta lainnya, sehingga siswa memiliki pengetahuan/ ketrampilan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya.
                          1.2            Penerapan Metode Contextual Teaching Learning
Sebenarnya ada banyak cara dalam menerapkan metode pembelajaran dengan CTL. Intinya dalam metode CTL ( Contextual Teaching Learning) adalah adanya keterkaitan materi dengan contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari supaya siswa lebih bisa memahami materi yang sudah di sampaikan oleh Guru. Dan dalam pratik penerapan dari metode ini seperti siwa diajak langsung berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Seperti belajar Biologi langsung praktek di sawah atau di labolatorium, belajar ekonomi langsung melihat kegiatan ekonomi di pasar, belajar agama siswa diajak langsung ke pesantren melihat kegiatan keagamaan di lingukungan sekitar dan masih banyak lagi cara yang bisa di praktikan dalam metode pmbelajaran CTL.
Metode pembelajaran CTL, kegiatan pembelajaran tidak harus di dalam kelas tapi bisa di labolatorium, sawah, tempat kerja dan tempat lainnya. Mengharuskan seorang pendidik (guru) untuk pintar-pintar memilih serta mendesain linkungan belajar yang betul-betul berhubungan dengan kehidupan nyata, baik konteks pribadi, sosial, budaya, ekonomi, kesehatan, serta lainnya, sehingga siswa memiliki pengetahuan/ ketrampilan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya.

Dalam linkungan seperti itu, para siswa dapat menemukan hubungan bermakna antara ide-ide abstrak dengan aplikasi praktis dalam konteks dunia nyata; konsep diinternalisasi melalui menemukan, memperkuat, serta menghubungkan. Sebagai contoh, kelas fisika yang mempelajari tentang konduktivitas termal dapat mengukur bagaimana kualitas dan jumlah bahan bangunan mempengaruhi jumlah energi yang dibutuhkan untuk menjaga gedung saat terkena panas atau terkena dingin. Atau kelas biologi atau kelas kimia bisa belajar konsep dasar ilmu alam dengan mempelajari penyebaran AIDS atau cara-cara petani bercocok tanam dan pengaruhnya terhadap lingkungan.
Dengan menerapkan CTL tanpa disadari pendidik telah mengikuti tiga prinsip ilmiah modern yang menunjang dan mengatur segala sesuatu dialamsemesta,yaitu:
1)      Prinsip kesaling-bergantungan mengajarkan bahwa segala sesuatu di alam semesta saling bergantung dan saling berhubungan. Dalam CTL prinsip kesaling-bergantungan mengajak para pendidik untuk mengenali keterkaitan mereka dengan pendidik lainnya, dengan siswa-siswa, dengan masyarakat dan dengan lingkungan. Prinsip kesaling-bergantungan mengajak siswa untuk saling bekerjasama, saling mengutarakan pendapat, saling mendengarkan untuk menemukan persoalan, merancang rencana, dan mencari pemecahan masalah. Prinsipnya adalah menyatukan pengalaman-pengalaman dari masing-masing individu untuk mencapai standar akademik yang tinggi.
2)      Prinsip diferensiasi merujuk pada dorongan terus menerus dari alam semesta untuk menghasilkan keragaman, perbedaan dan keunikan. Dalam CTL prinsip diferensiasi membebaskan para siswa untuk menjelajahi bakat pribadi, memunculkan cara belajar masing-masing individu, berkembang dengan langkah mereka sendiri. Disini para siswa diajak untuk selalu kreatif, berpikir kritis guna menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.
3)      Prinsip pengaturan diri menyatakan bahwa segala sesuatu diatur, dipertahankan dan disadari oleh diri sendiri. Prinsip ini mengajak para siswa untuk mengeluarkan seluruh potensinya. Mereka menerima tanggung jawab atas keputusan dan perilaku sendiri, menilai alternatif, membuat pilihan, mengembangkan rencana, menganalisis informasi, menciptakan solusi dan dengan kritis menilai bukti. Selanjutnya dengan interaksi antar siswa akan diperoleh pengertian baru, pandangan baru sekaligus menemukan minat pribadi, kekuatan imajinasi, kemampuan mereka dalam bertahan dan keterbatasan kemampuan.
.           Dalam pembelajaran kontekstual guru dituntut membantu siswa dalam mencapai tujuannya. Maksudnya adalah guru lebih berurusan dengan strategi dari pada memberi informasi. Di sini guru hanya mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi siswa. Kegiatan belajar mengajar (KBM) lebih menekankan Student Centered daripada Teacher Centered. Menurut Depdiknas guru harus melaksanakan beberapa hal sebagai berikut: 1) Mengkaji konsep atau teori yang akan dipelajari oleh siswa. 2) Memahami latar belakang dan pengalaman hidup siswa melalui proses pengkajian secara seksama. 3) Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa yang selanjutnya memilih dan mengkaiykan dengan konsep atau teori yang akan dibahas dalam pembelajaran kontekstual. 4) Merancang pengajaran dengan mengkaitkan konsep atau teori yang dipelajari dengan mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki siswa dan lingkungan hidup mereka. 5) Melaksanakan penilaian terhadap pemahaman siswa, dimana hasilnya nanti dijadikan bahan refeksi terhadap rencana pemebelajaran dan pelaksanaannya.
                        Kurikulum dan pengajaran yang didasarkan pada strategi pembelajaran kontekstual harus disusun untuk mendorong lima bentuk pembelajaran penting: Mengaitkan, Mengalami, Menerapkan, Kerjasama, dan Mentransfer.

·         MENGAITKAN: Belajar dalam konteks pengalaman hidup, atau mengaitkan. Guru menggunakan strategi ini ketia ia mengkaitkan konsep baru dengan sesuatu yang sudah dikenal siswa. Jadi dengan demikian, mengaitkan apa yang sudah diketahui siswa dengan informasi baru. Kurikulum yang berupaya untuk menempatkan pembelajaran dalam konteks pengalaman hidup harus bisa membuat siswa memperhatian kejadian sehari-hari yang mereka lihat, peristiwa yang terjadi di sekitar, atau kondisi-kondisi tertentu, lalu mengubungan informasi yang telah mereka peroleh dengan pelajaran kemudian berusaha untuk menemukan pemecahan masalah terhadap permasalahan tersebut.
·         MENGALAMI: Belajar dalam konteks eksplorasi, mengalami. Mengalami merupakan inti belajar kontekstual dimana mengaitkan berarti menghubungkan informasi baru dengan pengelaman maupun pengetahui sebelumnya. Belajar dapat terjadi lebih cepat ketika siswa dapat memanipulasi peralatan dan bahan-bahan dan untuk melakukan bentuk-bentuk penelitian aktif.
·         MENERAPKAN: Menerapkan konsep-konsep dan informasi dalam konteks yang bermanfaat bagi diri siswa. Siswa menerapkan suatu konsep ketika ia malakukan kegiatan pemecahan masalah. Guru dapat memotivasi siswa dengan memberikam latihan yang realistik dan relevan.
·         KERJASAMA: Belajar dalam konteks berbagi, merespons, dan berkomunikasi dengan siswa lain adalah strategi pengajaran utama dalam pengajaran kontekstual. Siswa yang bekerja secara individu sering tidak membantu kemajuan yang signifikan. Sebaliknya, siswa yang bekerja secara kelompok sering dapat mengatasi masalah yang komplek dengan sedikit bantuan. Pengalaman bekerja sama tidak hanya membantu siswa mempelajari materi, juga konsisten dengan dunia nyata. Seorang karyawan yang dapat berkomunikasi secara efektif, yang dapat berbagi informasi dengan baik, dan yang dapat bekerja dengan nyaman dalam sebuah tim tentunya sangat dihargai di tempat kerja. Oleh karena itu, sanat penting untuk mendorong siswa mengembangkan keterampilan bekerja sama ini.
·         MENTRASFER: Belajar dalam konteks pengetahuan yang ada, atau mentransfer, menggunakan dan membangun atas apa yang telah dipelajari siswa. Peran guru membuat bermacam-macam pengelaman belajar dengan focus pada pemahaman bukan hapalan.
                          1.3            Hasil dari penerapan metote pembelajran Contextual Teaching Learning
Tujuan utama dari penerapan pembelajaran dengan menggunakan CTL sebenarnya adalah membantu siswa dalam memahami dan membangun pengetahuannya yang mengajarkan pada pembelajaran yang sesuai dengan kenyataan. Hasil dari penerapan CTL adalah siswa di harapakan dapat :
1)      Siswa belajar melalui sebuah proses belajar mengajar dimana siswa sendiri secara mental membangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh pengetahuannya sendiri
2)      Siswa belajar aktif dengan cara kegiatan menemukan (inquiry) dengan kegiatan ini siswa banyak mengalami pengalaman baru seperti observasi.
3)      Merangsang rasa pengetahuan siswa dalam mengolah pertanyaan sehingga siswa aktif dalam menggali pengetahuan.
4)      Siswa lebih akrab dengan lingkungannya seperti belajar langsung terjun ke masyarakat, sharing, diskusi. Terlibat komunikasi 2 kelompok atau lebih yang saling belajar dan mengajar
5)      Dari segi seorang pendidik juga di tuntut untuk lebih kreatif dalam melakukan model pembelajaran sehingga dapat memahamkan siswa
6)      Adanya refleksi atau pengulangan kembali materi sehingga antara guru dengan siswa sama-sama saling membantu untuk menuntaskan materi atau pun untuk mereview kwmbali materi yang sudah dipelajari
7)      Penilaian sebenarnya diperolah dari perubahan dari proses pembelajaran yang dilakukan secara aktif dan produktif.

Kelebihan & Kekurangan Contextual Teaching and Learning

Kelebihan

1. Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswa dituntut untuk dapat menagkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sihingga tidak akan mudah dilupakan.
2. Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena metode pembelajaran CTL menganut aliran konstruktivisme, dimana seorang siswa dituntun untuk menemukan pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis konstruktivisme siswa diharapkan belajar melalui ”mengalami” bukan ”menghafal”.

Kelemahan

1. Guru lebih intensif dalam membimbing. Karena dalam metode CTL. Guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan ketrampilan yang baru bagi siswa. Siswa dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya. Dengan demikian, peran guru bukanlah sebagai instruktur atau ” penguasa ” yang memaksa kehendak melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.
2. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide–ide dan mengajak siswa agar dengan menyadari dan dengan sadar menggunakan strategi–strategi mereka sendiri untuk belajar. Namun dalam konteks ini tentunya guru memerlukan perhatian dan bimbingan yang ekstra terhadap siswa agar tujuan pembelajaran sesuai dengan apa yang diterapkan semula.

2.      Mastery Learning, penerapan Mastery Learning serta kelebihan dan kekurangan metode Mastery Learning
                          1.1            Mastery Learning
Pembelajaran tuntas (mastery learning) adalah pendekatan dalam pembelajaran yang mempersyaratkan peserta didik menguasai secara tuntas seluruh standar kompetensi maupun kompetensi dasar mata pelajaran tertentu.
Pembelajaran tuntas dilakukan dengan pendekatan diagnostik. Strategi pembelajaran tuntas sebenarnya menganut pendekatan individual.
Landasan konsep dan teori tentang Mastery Learning adalah pandangan tentang kemampuan siswa yang dikemukakan oleh John B. Carroll pada tahun 1963 berdasarkan penemuannya yaitu “Models of School Learning”. Manfaat model yang telah ditemukan Carroll ini secara essensial merupakan suatu paradigma konseptual yang mana garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi kesuksesan siswa belajar di sekolah ditunjukkan dengan bagaimana faktor-faktor tersebut diinteraksikan. Di sini Carroll menemukan bahwa bakat siswa tidak diramal hanya pada tingkat dimana dia belajar dalam suatu waktu yang diberikan, tetapi juga menyangkut banyaknya waktu yang dia perlukan untuk belajar pada tingkat tersebut. Dalam hal ini Carroll mendefinisikan bahwa bakat sebagai tolok ukur untuk mengetahui banyaknya waktu yang diperlukan siswa untuk belajar dari satuan pelajaran untuk memberikan criteria terhadap kondisi pembelajaran yang ideal.
Menurut Carroll bakat atau pembawaan bukanlah kecerdasan alamiah, melainkan jumlah waktu yang diperlukan oleh siswa untuk menguasai suatu materi pelajaran tertentu. Waktu yang diperlukan telah ditunjukkan dengan banyaknya waktu dari siswa yang akan diperlukan secara aktif akan dipengaruhi dalam belajar (yaitu: ketekunan) dan total waktu belajar yang dia perlukan. Waktu belajar masing-masing siswa yang diberikan ditentukan oleh kecerdasannya, kualitas pembelajarannya, dan kemampuannya untuk memahami pembelajaran.
Benyamin S. Bloom (1968) dalam hasil kerjanya “learning for mastery theory and practice” mengembangkan atau mengoperasionalkan “Models of School Learning” nya John B. Carroll (1963). Pengembangan itu berupa penyusunan suatu strategi Mastery Learning dalam pelaksanaan proses belajar mengajar. Inti dari strategi tersebut adalah “jika kepada siswa diberikan waktu yang cukup (sufficient) dan mereka diperlakukan secara tepat (appropriate threatment), maka mereka akan mampu dan dapat belajar sesuai dengan tuntutan dan sasaran yang diharapkan.Bloom (1968) telah mentransformasikan model konsep Mastery Learning ini ke dalam model kerja yang efektif. Jika kecerdasan diprediksi dari dasar, dengan tidak memperhitungkan tingkatan, seorang siswa dapat diberikan tugas yang dapat digunakan untuk menetapkan tingkat keberhasilan belajar. Diharapkan siswa di beberapa level ketuntasan dan secara sistematis memanipulasi variable pembelajaran di model Carroll sehingga semua atau bahkan hampir semua siswa akan mencapai ketuntasan ini. Menurut Bloom, jika siswa didistribusikan secara normal dengan respek pada kemampuan untuk suatu subyek dan jika mereka telah diberikan pembelajaran dengan kualitas dan waktu belajar yang sama, maka pencapaian pada ketuntasan masing-masing subyek akan didistribusikan secara normal. Selanjutnya hubungan antara kecerdasan dan kemampuan akan menjadi tinggi.
Tetapi, jika siswa didistribusikan secara normal pada kecerdasan masing-masing kualitas optimal yang diterima pada pembelajaran dan waktu belajar disesuaikan dengan level masing-masing siswa maka kebanyakan siswa diharapkan dapat mencapai ketuntasan.
Secara singkat dijelaskan di sini, Bloom malaksanakan konsep Mastery Learning ke dalam kelas melalui proses pembelajaran yang pelaksanaannya sebagai berikut: 1) Membagi satuan pelajaran yang disediakan waktu belajar yang tetap dan pasti, 2) Tingkat penguasaan materi dirumuskan sebagai tingkat penguasaan tujuan pendidikan yang essensial.
Dari model Carroll dan Bloom seperti yang telah dijelaskan di atas secara singkat, untuk lebih menggalakkan konsep Mastery Learning James H. Block mencoba memampatkan waktu yang diperlukan untuk mempelajari suatu materi pelajaran dalam waktu yang tersedia, yaitu dengan cara meningkatkan semaksimal mungkin kualitas pembelajaran. Jadi dalam pelaksanaannya mengandung arti bahwa: 1) Waktu yang sebenarnya digunakan diusahakan diperpanjang semaksimal mungkin, 2) Waktu yang tersedia diperpendek sampai semaksimal mungkin dengan cara memberikan pelayanan yang optimal dan tepat.
                          1.2            Penerapan Metode Pembelajaran Mastery Learning
Cara Kerja Mastery Learning
Intinya, Mastery Learning menyempurnakan tujuan pembelajaran dengan mengerjakan tiga (3) hal: a) memberikan siswa perbedaan jumlah waktu untuk mencapai tujuan bahan ajar, b) memberikan penambahan waktu atau remedial untuk siswa yang belum menyelesaikan bahan ajar dengan cepat, c) mengatur satuan kurikulum yang berbeda, yang mana masing-masing siswa dapat diajar dan dievaluasi secara terpisah dari yang lain. Untuk lebih jelasnya akan kami coba untuk menguraikan masing-masing tahap cara kerja Mastery Learning.
1)      Menyediakan waktu pencapaian tujuan
Mastery Learning biasanya mengambil hubungan antara waktu dan prestasi siswa di sekolah. Sebagai ganti alokasi banyaknya waktu belajar yang ditetapkan dan mengikuti tingkat kecerdasan siswa yang beragam, maka Mastery Learning mengharuskan semua siswa untuk mencapai suatu unit belajar tertentu dan memberikan waktu yang diperlukan untuk menguasai unit belajar tersebut secara berbeda-beda antar individu. Dengan kata lain secara sederhana seorang guru harus mencurahkan waktu ekstra untuk siswa yang perlu waktu yang relative lama untuk memahami suatu unit belajar.
Guru yang menggunakan pendekatan Mastery Learning berasumsi bahwa dengan memberikan cukup waktu dan pertolongan yang tepat, sebenarnya semua siswa cepat atau lambat akan sampai pada ketuntasan unit belajar tersebut. Contoh konkrit yang bisa diberikan di sini, misalkan jika satu unit belajar yang mengharuskan siswa untuk menuntaskan pelajaran matematika pada konsep mencari luas bidang datar, pada akhirnya semua siswa harus menguasai konsep ini, sekalipun antara siswa yang satu dengan yang lain berbeda jangka waktu pencapaiannya. Contoh, Suto kebetulan siswa terpandai di kelas dan dia hanya perlu waktu 2 X 45 menit untuk menguasai konsep ini. Tetapi hal ini tidak berlaku untuk Noyo, Kamto, dan siswa yang lain yang notabene ada di bawah Suto tingkat pencapaian ketuntasannya. Mungkin ada yang perlu waktu 2 minggu, 3 minggu atau bahkan lebih dari waktu-waktu tersebut. Bagaimana siswa dapat menuntaskan suatu konsep belajar sangat ditentukan pada bagaimana dengan cepat mereka dapat belajar.
2)      Memberikan Perbaikan Pembelajaran
Dalam rangka mengambil keuntungan dari fleksibilitas waktu belajar, pendekatan mastery menawarkan pembelajaran ekstra, yang disebut dengan perbaikan pembelajaran (corrective instruction), untuk siswa yang terlalu lama memahami tujuan pembelajaran. Corrective instruction ini dapat dalam bentuk tutorial secara individu atau pembelajaran dalam bentuk kelompok kecil yang disesuaikan pada pengulangan ketidakfahaman atau kebingungan yang dihadapi siswa.
Perbaikan pembelajaran dapat terjadi selama jam pembelajaran berlangsung ataupun di luar jam pembelajaran. Misalnya pada jam istirahat, waktu makan siang, ataupun jam setelah sekolah selesai. Contoh kasus, misalnya dalam pelajaran matematika, siswa akan dikategorikan belum tuntas (dari tingkat ketuntasan yang ditargetkan 90% tes tiap unit belajar), maka siswa akan ada pada criteria perbaikan pembelajaran.
Pada perbaikan ini bisa saja digunakan metode dan media mengajar yang berbeda tetapi tetap pada konsep/unit yang sama dan bekerja ke arah yang sama pula secara obyektif sebagaimana sebelumnya. Akhirnya siswa akan dibawa pada tes lain pada unit tersebut, dan jika mereka masih belum beranjak dari daerah kriteria belum tuntas, mereka masih akan perlu perbaikan pembelajaran sampai akhirnya mereka berhasil. Setelah mereka mencapai ketuntasan akan diijinkan untuk melangkah pada unit selanjutnya.
3)      Mangatur Satuan Kurikulum
Untuk membuat perbaikan pembelajaran yang efektif, dalam Mastery Learning guru-guru juga perlu mengatur kurikulum ke dalam satuan pelajaran yang berlainan, masing-masing difokuskan pada satuan khusus pembelajaran yang obyektif. Fokus pendekatan guru pada awal pembelajaran lebih jelas dan membantu memonitor perkembangan siswanya. Selanjutnya mendesain tes dasar pada tiap unit secara tepat. Keuntungannya adalah membantu para guru merencanakan perbaikan pembelajaran yang tepat dan benar-benar membantu.
Pada sekolah umum, Mastery Learning hampir pasti dikatakan cocok pada periode dan waktu pembelajaran, walaupun masih diperlukan schedule yang fleksibel. Oleh karena itu, solusi terbanyak yang direkomendasikan pada Mastery Learning adalah dengan menggunakan group-based mastery learning, yaitu Mastery Learning yang didasarkan pada penggunaan pendekatan secara kelompok (Block & Anderson, 1975; Slavin, 1987b).
Dalam group-based Mastery Learning, meskipun siswa bekerja secara kelompok secara perorangan siswa bertanggung jawab terhadap belajarnya sendiri dan akan lebih memotivasi siswa jika dalam belajar kelompok tersebut ada pemberian reward dengan mempertimbangkan kerjasama antar anggota kelompok, misalnya dengan memberikan bonus nilai pada setiap anggota kelompok, apabila seluruh anggota kelompok mencapai skor tertentu dalam suatu tes. Dengan demikian diharapkan rasa kerjasama, saling membantu dan tanggung jawab diharapkan akan ada dan memotivasi belajar siswa itu sendiri. Karena keberhasilan kelompok berarti keberhasilan seluruh anggota kelompok.
PRINSIP-PRINSIP PEMBELAJARAN TUNTAS
1. Kompetensi yang harus dicapai peserta didik dirumuskan dengan urutan yang hirarkis,
2. Penilaian acuan patokan, dan setiap kompetensi harus diberikan feedback,
3. Pemberian pembelajaran remedial serta bimbingan yang diperlukan, 4. Pemberian program pengayaan bagi peserta didik yang mencapai ketuntasan belajar lebih awal.
Metode Pembelajaran
Dalam pembelajaran tuntas, metode pembelajaran yang sangat ditekankanadalah pembelajaran individual, pembelajaran dengan teman atau sejawat (peer instruction), dan bekerja dalam kelompok kecil. Berbagai jenis metode (multi metode) pembelajaran harus digunakan untuk kelas atau kelompok.
Pembelajaran tuntas lebih efektif menggunakan pendekatan tutorialdengan sesion-sesion kelompok kecil, tutorial orang perorang, pembelajaran terprogram, buku-buku kerja, permainan dan pembelajaran berbasis komputer (Kindsvatter, 1996)
Peran Peserta Didik
Peserta didik sebagai subjek didik. Fokus pada `Peserta didik dan yang akan dikerjakannya’. Kemajuannya bertumpu pada usaha serta ketekunannya secara individual.
Peran Guru Pada Pembelajaran Tuntas
1. Menjabarkan KD (Kompetensi Dasar) ke dalam satuan-satuan (unit-unit) yang lebih kecil dengan memperhatikan pengetahuan prasyarat.
2. Menata indikator berdasarkan cakupan serta urutan unit.
3. Menyajikan materi dengan metode dan media yang sesuai.
4. Memonitor seluruh pekerjaan peserta didik.
5. Menilai perkembangan peserta didik dalam pencapaian kompetensi (kognitif, psikomotor, dan afektif).
6. Menggunakan teknik diagnostik.
7. Menyediakan sejumlah alternatif strategi pembelajaran bagi peserta didik yang mengalami kesulitan.
                          1.3            Kelebihan serta Kekurangan metode Mastery Learning
Kelebihan Mastery Learning
Mastery Learning menawarkan kemungkinan yang mengasyikan bagi yang akan menggunakan dan/atau mempelajarinya. Para guru akan mencari sebagaimana yang mereka pahami dan mencari penjelasan di sini bahwa: pertama, Mastery Learning memberi suatu pikiran yang efisien dan efektif untuk mentransformasikan pendekatan yang didasarkan pada group-based mastery learning ke dalam kualitas pembelajaran secara optimal masing-masing siswa. Oleh karena itu, prosedur ketuntasan akan bermanfaat pada masing-masing guru untuk membuat investasi dan usaha dalam group-based mastery learning yang memberi hasil dalam bentuk ketuntasan belajar hampir pada semua siswa, tidak hanya pada beberapa siswa.
Kedua, strategi Mastery Learning relatif mudah dan murah. Artinya menyesuaikan metode pembelajaran yang ada, bahan yang diperlukan, dan karakteristik dari semua siswa sehingga dapat menjadi tawaran bagi siswa-siswa untuk memenuhi pengembangan siswa. Ketiga, dengan menggunakan pendekatan mastery pengatur kurikulum (administrator) dapat melakukan perubahan besar di sekolah-sekolah sehingga diharapkan segala distribusi pencapaian cenderung naik. Mereka dapat memastikan bahwa masing-masing siswa diberi kemampuan, perhatian/minat, dan sikap yang mana akan mendorongnya untuk menyelesaikan suatu level tertentu dan untuk melihat keuntungan dari suatu belajar. Mereka juga dapat memastikan bahwa masing-masing siswa akan memperoleh pengalaman kesuksesan belajar yang akan membantu memperkuat kepercayaan dirinya dan membentenginya melawan rasa minder.
Manfaat pendekatan Mastery Learning yang lain dikemukakan oleh Guskey & Gates, 1986, pertama, Mastery Learning memotivasi siswa karena akan membangun rasa percaya diri mereka bahwa semua dari mereka dapat menguasai tujuan pendidikan secara pasti. Lebih lanjut, Mastery Learning menuntut bahwa komunikasi adalah faktor esensi dari tujuan tersebut. Mastery menjadi lebih dari hanya sekedar sesuatu yang biasanya hanya dapat dicapai oleh sedikit siswa. Kedua, ketika direncanakan dengan baik, mastery membuat belajar dan pembelajaran menjadi lebih efisien. Siswa menjadi tahu bahwa mereka perlu belajar, dan guru tahu bahwa mereka perlu untuk memberi bantuan macam apa yang secara individu diperlukan siswa. Dengan demikian siswa yang paling lambanpun bisa tetap terangkum dalam bimbingan untuk mengejar yang lain sampai mencapai ketuntasan.
Kekurangan Mastery Learning
Tetapi walaupun manfaat mastery learning, seperti yang telah diuraikan di atas, tetap saja sistem tersebut tidaklah sempurna. Masalah utama yang paling dirasakan terletak pada inti dari pendekatan Mastery Learning: dalam setting sekolah umum, waktu pembelajaran terlalu beragam (Slavin, 1987b). Jika guru memberikan perbaikan dalam jam kelas, maka perhatian guru secara kontinyu terpecah antara siswa pandai dan siswa kurang pandai. Dan hal ini kadang-kadang secara tidak disadari oleh guru telah menghabiskan waktu lebih lama sengan siswa yang lamban, Sehingga bagi siswa yang cepat mengerti akan merasa banyak waktu terbuang hanya untuk menunggu siswa lain yang belum memahami pelajaran.
Memberikan perbaikan pembelajaran di luar jam kelas juga mempunyai kendala. Salah satunya, hal ini akan menambah jam kerja guru secara substansi, tidak realistik pada peluang guru untuk menambah jam lembur mereka pada substansi dasar. Akibatnya, yang paling banyak dipersembahkan guru mungkin tidak dapat memberikan siswa yang paling lamban cukup waktu ekstra untuk mencapai ketuntasan. Dengan demikian, guru-guru sepertinya tidak membuang waktu mengajar terlalu banyak atau sedikit untuk kelas tersebut, dan siswa-siswa yang “lamban”pun tetap terangkum dalam bimbingan.


Kesimpulan

1.      Pendekatan kontektual atau sering disebut dengan Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil
Metode pembelajaran CTL, kegiatan pembelajaran tidak harus di dalam kelas tapi bisa di labolatorium, sawah, tempat kerja dan tempat lainnya. Mengharuskan seorang pendidik (guru) untuk pintar-pintar memilih serta mendesain linkungan belajar yang betul-betul berhubungan dengan kehidupan nyata, baik konteks pribadi, sosial, budaya, ekonomi, kesehatan, serta lainnya, sehingga siswa memiliki pengetahuan/ ketrampilan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya
2.      Pembelajaran tuntas (mastery learning) adalah pendekatan dalam pembelajaran yang mempersyaratkan peserta didik menguasai secara tuntas seluruh standar kompetensi maupun kompetensi dasar mata pelajaran tertentu. Pembelajaran tuntas dilakukan dengan pendekatan diagnostik. Strategi pembelajaran tuntas sebenarnya menganut pendekatan individual.
Mastery Learning menawarkan kemungkinan yang mengasyikan bagi yang akan menggunakan dan/atau mempelajarinya. Para guru akan mencari sebagaimana yang mereka pahami dan mencari penjelasan di sini bahwa: pertama, Mastery Learning memberi suatu pikiran yang efisien dan efektif untuk mentransformasikan pendekatan yang didasarkan pada group-based mastery learning ke dalam kualitas pembelajaran secara optimal masing-masing siswa. Oleh karena itu, prosedur ketuntasan akan bermanfaat pada masing-masing guru untuk membuat investasi dan usaha dalam group-based mastery learning yang memberi hasil dalam bentuk ketuntasan belajar hampir pada semua siswa, tidak hanya pada beberapa siswa.


Daftar Rujukan
Abin Syamsuddin, Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan.Bandung: Rosda Karya
Remaja.
Dedi Supriawan dan A. Benyamin Surasega, 1990. Strategi Belajar Mengajar 
(DiktatKuliah). Bandung: FPTK-IKIP Bandung.
Udin S. Winataputra. 2003.Strategi Belajar Mengajar . Jakarta: Pusat Penerbitan
Universitas Terbuka.
Wina Senjaya. 2008. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Beda Strategi, Model, Pendekatan, Metode, dan Teknik Pembelajaran
http.eni tititkusumawati/ mastery learning.com




  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar