Diberdayakan oleh Blogger.

Labels

Blogger news

Blogger templates

RSS

catatan perjalan menempuh S1

cacatan perjalanan menempuh S1

klasifikasi kenyataan sosial, dan perspektif dominan dalam sosiologi


       BAB I
         PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
       Alhamdulillah, puji syukur saya haturkan kehadirat ALLAH SWT. Dengan  nikmat, rahmat, serta hidayah-Nya. Kami dari kelas  P.IPS/B  dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Fokus Analisis, Klasifikasi Kenyataan Sosial, dan Perspektif Dominan dalam Sosiologi” untuk memenuhi tugas mata kuliah teori sosiologi di semester 4 dari Ibu Ni’matuz Zuhroh,M.Si serta kami ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah terkait dalam pembuatan makalah ini dan tak lupa kepada teman-teman atas kejasamanya. Dalam makalah ini kami menjelaskan tentang teori sosiologi dan perspektif dominan  di dalamnya. Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum kami ketahui.Maka dari itu kami mohon saran & kritik dari teman-teman maupun dosen, demi tercapainya makalah yang sempurna.
Perubahan masyarakat yang begitu cepat menimbulkan berbagai dampak dari kemajuan dalam science dan teknologi, membawa akibat positif dan negatif bagi kehidupan. Berbagai teori telah dikemukakan oleh para ahli sosiologi berkaitan dengan perilaku dan fenomena pada masyarakat. Perhatian utamanya adalah dalam hubungan sosial, perilaku manusia seperti diwujudkan sendiri dalam perkembangan fungsi dari kelompok dan institusi. Untuk memudahkan pemahaman fokus kajian dalam sosiologi cakupannya dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu sosiologi makro dan mikro.
Makalah ini membahas tentang teori-teori dalam sosiologi makro. Menjelaskan tentang teori yang telah dikemukakan oleh para ahli sosiologi. Dengan demikian, jelas dalam sosiologi makro tersebut struktur kajian masyarakatnya berskala luas dan mempertanyakan bagaimana mereka berhubungan satu sama lain.
2.      Rumusan Masalah
a.       Bagaimana penjelaskan fokus kajian analisis dalam sosiologi ?
b.      Bagaimana penjelasan klasifikasi kenyataan sosial?

      BAB II      
     KAJIAN PUSTAKA

A.    Fokus Kajian Analisis dalam Sosiologi
Untuk memudahkan pemahaman fokus kajian dalam sosiologi, menurut sosiolog[1] cakupannya dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sosiologi makro dan sosiologi mikro. Sosiologo makro sebagai”... the student of the large scale structures of society and how they relate to one another”.[2], jelas dalam sosiologi makro tersebut struktur kajian masyarakatnya bersekala luas dan mempertanyakan bagaimana mereka berhubungan satu sama lain.
Sosiologi mikro ini adalah versi yang sangat riuh dan sangat banyak menggunakan berbagai konsep, teori, dan temuan dari dua ilmu sosial yang berbeda, yaitu antropologi dan sejarah.[3] Selanjutnya, sunderson mengemukakan bahwa paling tidak terdapat enam strategi teoritis berkaitan dengan luasnya kajian sosiologi makro.
  1. Materialisme, mengasumsikan bahwa kondisi- kondisi material dari eksistensi manusia, seperti tingkat teknologi, pola kehidupan ekonomi, dan ciri- ciri lingkungan alamiah merupakan penyebab yang menentukan pengorganisasian masyarakat manusia dan berbagai perubahan penting yang terjadi didalamnya.
  2. Idealisme, menegaskan signifikansi pikiran manusia dan kreasinya, seperti pemikiran, gagasan, kode simbolik, bahasa, dan seterusnya dalam menentukan pengorganisasian masyarakat dan perubahan sosial.
  3. Fungsionalisme, berusaha menjelaskan ciri- ciri dasar kehidupan manusia sebagai respons terhadap kebutuhan dan permintaan masyarakat sebagai sistem sosial yang pernah tetap. Mengasumsikan bahwa trait- trait sosial yang ada memberikan kontribusi yang penting dalam mempertahankan kehidupan dan kesejahteraan seluruh masyarakat atau subsistem utamanya.
  4. Strategi konflik, memandang masyarakat sebagai arena dimana masing- masing individu dan kelompok bertarung untuk memenuhi berbagai kebutuhan dan keinginannya. Konflik dan pertentangan menimbulkan dominasi dan subordinasi, kelompok yang dominan memanfaatkan kekuasaan mereka untuk menentukan struktur masyarakat sehingga menguntungkan bagi kelompok- kelompok mereka sendiri. Teori konflik Marxian adalah teori konflik materialis dan menekankan pertentangan kelas, sementara teori konflik Weberian lebih luas sifatnya dan menekankan sifat multidimensional dari konflik dan dominasi.
  5. Strategi Evolusioner, memutuskan perhatian kepada upaya mendeskripsikan dan menjelaskan transformasi sosial jangka panjang, yang diasumsikan akan memperlihatkan arah transformasi untuk seluruh perubahan dalam masyarakat manusia. Teori- teori fungsionalis evolusioner memusatkan perhatian kepada  kompleksitas masyarakat yang selalu berkembang. Teori- teori evolusi materialis menekankan evolusi sosial yang merespons terhadap kondisi- kondisi material yang berubah, dan bersikap spektis terhadap persamaan evolusi dan kemajuan.
  6. Strategi elektisisme, memberikan toleransi kepada semua sudut pandang yang ada, yang dalam prakteknya berarti menggunakan bagian- bagian dari setiap yang ada untuk menjelaskan banyak keadaan kehidupan sosial. Klaim bahwa kenyataan tertentu harus dijelas dengan satu pendekatan yang berbeda[4].
“...The study of the individual as social being[5]”. Dalam arti lebih memfokuskan pada kajian individual sebagai makhluk sosial. Sosiologi mikro tersebut sering disebut sebagai the sosiology of everiday life[6] yang bersifat mikro, khususnya dalam keluarga.
Para ahli sosiologi makro melihat unit masyarakat yang besar- besar, seperti organisasi, intitusi, masyarakat, dan negara- negara. Memerhatikan proses- proses sosial, seperti urbanisasi dan sistem kepercayaan, seperti kapitalisme dan sosialisme. Para ahli sosiologi makro memegang dasar- dasar pendapat tertentu tentang tingkah laku manusia. Mereka memiliki perhatian bahwa kelompok itu adalah riil dalam diri mereka sendiri dan tidak dapat direduksi menjadi individu yang tersusun atas mereka. Mereka cenderung untuk melihat perilaku individu sebagai produk dari struktur sosial dan memaksa bahwa hal itu bukanlah milik individu yang membuatnya. Pendapat seperti itu memperkecil pendapat berkemauan bebas dan menekankan kekuasaan masyarakat diatas pemikiran dan perilaku individu.
Para ahli sosiologi mikro melihat orang- orang seperti lebih memiliki kebebasan dalam tindakan, lebih bebas dari batasan masyarakat, dari pada yang dilakukan para ahli sosiologi makro. Dengan kata lain, sosiologi mikro tidak melihat masyarakat sebagai yang mengendalikan kekuatanya. Mereka menekankan bahwa orang- orang itu selalu sedang dalam proses menciptakan dan mengubah dunia sosial mereka. Mereka adalah seperti tertarik akan orang- orang yang berpikir dan merasakan, seperti bagaimana mereka bertindak. Para ahli sosiologi mikro menyelidiki motif- motif, harapan- harapan, tujuan mereka, serta cara mereka menyikapi merasakan dunia itu.
Metode riset sosiologi makro dan sosiologi mikro pun sangat berbeda. Sebab mereka tertarik akan pikiran dan perasaan orang- orang, sosiologi mikro sering menggunakan metode kualitatif. Metode ini adalah untuk mendisain dan mengamati orang- orang dalam situasi yang naturalistik, sedangkan sosiologi makro menjadi lebih memungkinkan untuk menggunakan metode kuantitatif, seperti halnya secara hati- hati dikontrol melalui kajian statistik.
Kita dapat mengilustrasikan fokus sosiologi mikro dengan pergi kembali kekampus perguruan tinggi kita. Memandang kampus itu dalam kaitanya dengan tindakan kooperatif maupun konflik, para ahli sosiologi mikro akan memutuskan pada pertanyaan- pertanyaan, bagaimana para mahasiswa tingkat pertama merasakan kampus itu ketika mereka pertama tiba? Apa yang perguruan tinggi lakukan kepada para mahasiswa? Dan bagaimana mengembangkan intrraksi sosial di asramanya? Hal itu para ahli sosiologi mikro tidak demikian banyak terkait dengan tindakan dan organisasi kampus, seperti halnya dengan kampus dipandang oleh para mahasiswa, staf pengajar, dan para administratifnya. Para ahli sosiologi mikro tidak berasumsi bahwa suatu kampus adalah sesuatu organisasi tertentu untuk para anggotanya harus menyesuaikan perilaku mereka sendiri. Melainkan, mereka melihat organisasi kampus itu sebagai sesuatu yang meningkatkan dan mengubah melalui interaksi peserta.
B.     Klasifikasi Kenyataan Sosial
Sedangkan untuk memudahkan pemahaman dalam mengklasifikasikan berbagai tingkatan dalam kenyataan sosial, dapat dibedakan menjadi 4(empat) tingkatan, yaitu tingkat budaya, individu, interpersonal, dan struktur sosial[7].
  1. Tingkat Budaya
Kebudayaan merupakan keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni moral, hukum, kebiasaan, dan kemampuan- kemampuan, serta tata cara lainnya yang diperoleh manusia sebagai seorang anggota masyarakat[8]. Dengan demikian, fokus kajiannya meliputi nilai, simbol, norma, dan pandangan hidup umu yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat. Sehingga dalam arti luas, kebudayaan terdiri atas produk- produk tindakan dan interaksi manusia, termasuk benda- benda materi maupun nonmateri.
  1. Tingkat Individual
Tingkat ini menempatkan individu sebagai pusat perhatian untuk analisis utama. Sebagai contoh Weber sangat tertarik pada masalah- masalah sosiologis yang luas mengenai struktur sosial dan kebudayaan tetapi dia melihat bahwa kenyataan sosial secara mendasar terdiri atas individu- invidu dan tindakan- tindakan sosialnya yang bermakna[9]. Weber mendefinisikan sosiologi sebagai:
            ... suatu ilmu pengetahuan yang berusaha memperoleh pemahaman interpretatif mengenai tindakan sosial agar dengan demikian dapat sampai kesuatu penjelasan kausal mengenai arah dan akbat- akibatnya. Dengan tindakan dimaksudkan semua perilaku manusia, apabila atau sepanjang individu yang bertindak itu memberikan arti subjektif kepada tindakan itu... Tindakan itu disebut sosial karena arti subjektif tadi dihubungkan dengannya oeh invidu yang bertindak,... Memengaruhi perilaku orang lain dan karena itu diarahkan ketujuannya.
Penjelasan dan tekanan pendirian Weber tersebut berbeda dengan pendirian Durkheim yang mengemukakan bahwa sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari fakta sosial yang bersifat eksternal, memaksa individu, dan bahwa fakta sosial harus dijelaskan dengan fakta sosial lainnya. Dalam hal ini Durkheim melihat kenyataan sosial sebagai sesuatu yang mengatasi individu, berada pada suatu tingkat yang bebas, sedangkan Weber melihat bahwa kenyataan sosial sebagai sesuatu yang didasarkan pada motivasi individu dan tindakan- tindakan sosial. Adanya perbedaan pandangan antara Weber dan Durkheim tersebut dapat dipahami karena dilihat dari persepektif kenyataan sosial yang berlawanan.
Perlu diketahui bahwa dunia budaya tidaklah dipandang sebagai sesuatu yang sesuai dengan pemahaman yang dimengerti menurut hukum- hukum ilmu alam saja yang memiliki hubungan kausal. Kenyataannya , dunia budaya dilihatnya sebagai sesuatu dunia kebebasan dan dalam hubungannya dengan pengalaman serta pemahaman internal diman arti- arti subjektif itu ditangkap. Selalu penetahuan objektif tentan tipe yang dicari dalm ilmu- ilmu alam tidaklah cukup. Pandangan  yang menempatkan ilmu sosial budaya itu bersifat serba relatif, dikembangkan oleh pembimbing Weber, seorang sejarawan budaya yang bernama Wilhem Dilthey. Pemgaruh tokoh filsuf historisme tersebut demikian kuat pada pribadi Weber. Denagan demikian wajar, jika terdapat perbedaan mendasar jika dibandingkan Durkheim yang dipengaruhi Comte bersifat positivistik.
  1. Tingkat Interpersonal
Kenyataan sosial pada tingkat ini meliputi interaksi antara individu dengan individu maupun dengan kelompok, dalam arti yang berhubungan dengan komunikasi simbolis, penyesuaian timbal balik, negosiasi tindakan yang saling tergantung, kerja sama, maupun konflik. Dua persepektif teoretis utama yang menekankan tingkatan ini adalah teori interaksionisme simbolik dan teori pertukaran[10].
George Herbett Mead yang merintis teori interaksi simbolik tersebut, pada dasarnya teori tersebut berhubungan dengan media simbol, dimana kemampuan manusia sangat tinggi untuk menciptakan dan memanipulasi simbol- simbol. Kemapuan tersebut sangat diperlukan untuk berkomunikasi antar pribadi dan pemikiran- pemikiran subjektif lainnya. Disinilah penekanan para ahli teori interaksi simbol menegaskan bahwa kenyataan sosial yang muncul dari interaksi simbol menegaskan bahwa kenyataan sosial yang muncul dari interaksi dilihatnya sebagai suatu kenyataan yang dibangun dan bersifat simbolik[11].
Pandangan Mead, persepektifnya merupakan behaviorisme sosial yang merupakan perluasan dari bahivorisme Watson. Dalam usaha menegakkan psikologi sebagai suatu dasar yang ilmiah dan kokoh, Watson secara tekun memusatkan perhatiannya pad perilaku nyata(over behavior) yang dapat diukur melalui gerak- gerak refleks yang dipelajari atau yang sudah menjadi kebiasaan. Namun dalam pandangan Mead penelitian Watson tersebut tidaklah lengkap. Mead tidak sependapat jika penelaah perilaku manusia hanya berupa stimilus response, atau gerak- gerak refleks yang dipelajari atau hal itu menurutnya adalah dangkal. Pikiran atau kesadaran muncul dalam proses tindakan. Namun demikian, individu- individu tidak bertindak sebagai organisme yang bersaing. Sebaliknya, tindakan- tindakan mereka saling berhubungan dan saling tergantung. Proses komunikasi dan interaksi dan interaksi dimana individu- individu saling memengaruhi dan saling menyesuaikan diri.
Menurut Homans ada tiga konsep utama dalam kelompok kecil, yaitu kegiatan, interaksi, dan perasaan(sentiment). Kegiatan adalah perilaku aktual yang digambarkan pada pada tingkat yang sangat konkret. Individu- individu dan kelompok- kelompok  dapat dibandingkan menurut persamaan dan perbedaan dalam kegiatan- kegiatan mereka, dan dalam tingkat penampilan dari berbagai kegiatan itu. Interaksi adalah kegiatan apa saja yang merangsang atau dirangsang oleh kegiatan orang lain. Individu- individu atau kelompok dapat dibandingkan menurut frekuensi interaksi menurut siapa yang mulai interaksi dengan siapa, menurut saluran- saluran dimana interaksi itu terjadi. Sedangan perasaan, tidak hanya didefinisikan sebagai suatu keadaan subjektif(kebiasaan penafsiran atas akal sehat), tetapi sebagai suatu tanda bersifat eksternal atau yang bersifat perilaku yang menunjukkan suatu keadaan internal, seperti kelelahan, kelaparan, reaksi positif atau negatif trhadap suatu peristiwa, dan sebagainya.
Ketiga elemen ini(kegiatan, interaksi, dan perasaan) membentuk suatu keseluruhan yang terorganisasi dan berhubungan secara timbal balik[12]. Artinya, kegiatan akan memengaruhi dan dipengaruhi oleh pola- pola interaksi dan perasaan- perasaan. Interaksi akan memengaruhi dan dipengaruhi oleh kegiatn dan perasaan, perasaan akan berhubungan timbal balik dengan kegiatan dan interaksi. Jika salah satu berubah maka kedua lainnya mungkin akan berubah.
  1. Tingkat Struktur Sosial
Jika dibanding dengan sebelumnya, tingkatan struktur sosial ini jauh lebih abstrak. Perhatiannya bukan pada individu- individu, tindakan- tindakan, serta interaksi sosial, melainkan pada pola- pola tindakan dan jaringan- jaringan interaksi yang disimpulkan dari pengamatan terhadap keteraturan dan keseragaman yang terdapat dalam waktu dan ruang tertentu. Tekanannya terletak pada struktur- struktur sosial yang kecil maupun besar. Dua aliran utama yang berhubungan dengan tingkatan ini adalah teori fungsional dan teori konflik.
  1. Teori Fungsional
Teori yang terkenal ini diantaranya digagas oleh Talcott Parsons yang dilahirkan tahun 1902 di Kolese Amherst. Karya Parsons mula- mula dimaksudkan untuk mengambangkan suatu model tindakan sosial yang bersifat voluntaristik yang didasarkan pada sintesisnya dari teori Marshall, Pareto, Durkheim, dan Weber. Pada dasarnya mereka suda menegakkan landasan untuk mendamaikan pandangan- pandangan yang bertentangan antara positivisme dan idealisme. Suatu prinsip utama dalam teori Parsons tersebut bahwa tindakan sosial itu diarahkan pada tujuannya yang normatif. Bahwa masyarakat dilihatnya sebagai suatu sistem, bukan elemen- elemen yang tidak terintegrasikan, walupun integrasi bangsa bangsa yang sempurna tidak akan tercapai, namun secara fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak kearah equilibrium yang bersifat dinamis. Kemudian Persons dan kawan- kawannnya memeperluas strategi analisis fungsionalisnya sehingga dapat diterpkan pad sistem mikro maupun makro. Hasilnya adalah model A-G-I-L(Adaptation-Goal-Integration-Latent Pattern Maintenance)
Teori Fungsional Parsons memfokuskan pada mekanisme yang meningkatkan stabilitas dan keteraturan dalam sistem sosial, terutama menyangkut konsep keseimbangan sosial, yakni kelangsungan pola- pola sosial, bukanlah sesuatu yang sulit dan problematis dan tidak membutuhkan penjelasan. Akhirnya, Parsons mengalihkan mengalihkan perhatiannya pada suatu analisis mengenai perubahan historis yang besar dengan mengembangkan suatu model evolusi yang sangat menekankan proses diferensiasi struktural. Perubahan yang teratur dan normatif tersebut yang menjamin kemajuan sosial selanjutnya.
  1. Teori Konflik
Teori ini bukanlah suatu teori yang terpadu ataupun komprehensif. Mungkin karena alasan inilah teori konflik kedengarannya kurang begitu cocok untuk diangkat sejajar dengan teori- teori sosiologi lainnya. Fokus kajiannya adalah mengenal dan menganalisis kehadiran konflik dalam kehidupan sosial, sebab, dan bentuknya, serta akibatnya dalam perubahan sosial. Namun, sejak tahun 1950-an teori konflik menjadi populer sebagai oposisi terhadap Teori Fungsional Parsons yang dianggap berat sebelah pada konsesus nilai, integrasi, dan solidaritas. Menganggap pendekatan Parsons itu terlalu bersifat normatif, padahal dalam sistem tidak hanya tertib normatif tetapi juga substratum yang melahirkan konflik- konflik. Keduanya saling berpadu bergantian antara stabilitas dan insabilitas[13].
Pengabaian kenyataan- kenyataan diatas pendekatan fungsional dapat dipandang sebagai pendekatan reaksionaer, dan mengabaikan realita sosial yang sebenarnya. Disinalah teori konflik mengusung beberapa asumsi yang dikembangkannya, antara lain (1) setiap masyarakat senantias berada didalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir, dengan perkataan lain perubahan sosial merupakan gejala yang merekat pada setiap masyarakat (2) setiap masyarakat mengandung konflik- konflik didalam dirinya, atau dengan perkataan lain konflik adalah gejala yang merekat pada masyarakat[14].
Para ahli teori konflik mengakui kebesaran Marx sebagai pionir dan mewarikan teori ini hanya saja Ralf Dahrendorf, Lewis Coser, dan Randall Collins, yang dikenal pendukung teori konflik non-Marxis, memiliki pandangan yang berbeda.
Pendapat penting dari tokoh teori konflik non- Marxis lainnya, dikemukakan oleh Collins dalam karyanya Conflict Sociology: Toward an Explanatory Science. Sesungguh  model konfliknya ini lebih komprehensif dari sebelumnya karena kajian dia tidak hanya membatasi pada konflik ekonomi maupun konflik organisasi birokrasi. Modelnya ini dapat diterapkan pada bidang- bidang institusional apa saja, seperti keluarga, organisasi agama, komunitas intelektual ilmiah, politik, dan militer. Beberapa pernyataan yang terkenal adalah:
Terciptanya solidaritas emosional tidak menggantikan konflik, melainkan merupakan salah satu alat utama yang digunakan dalam konflik. Upacara- upacara emosional dapat digunakan untuk untuk dominasi dalam suatu kelompok atau organisasi, upacara- upacara itu merupakan wahana dengan persekutuan yang dibentuk dalam perjuangan melawan kelompok- kelompok lain, upacara- upacara itu dapat digunakan untuk menentukan hierarki prestise status dimana beberapa kelompok mendominasi kelompok lainnya dengan memberikan sesuatu yang ideal untuk menyamakan kondisi- kondisi orang bawahan itu[15].
Faktor Penyebab Konflik
1).Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
2).Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
3).Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok. Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
4).Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
Jenis-Jenis Konflik                                                    
Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 4 macam :
• konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role))
• Konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
• Konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
• Koonflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara)
• Konflik antar atau tidak antar agama
• Konflik antar politik.
Akibat Konflik
Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut :
• meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan kelompok lain.
• keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
• perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga dll.
• kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
• dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut:
• Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
• Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk “memenangkan” konflik. Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan percobaan yang memberikan “kemenangan” konflik bagi pihak tersebut
Stuktural Konflik dan Implikasinya Terhadap Pendidikan
Memahami Marx menegani startifikasi sosial tidak lain harus melihat teori klas yaitu “Sejarah peradaban umat manusia dari dahulu sampai sekarang adalah sejarah pertikaian dan konflik antar klas.” Marx selalu melihat bahwa hubungan manusia terjadi dari adanya hubungan posisi masing-masing terhadap sarana produksi. Marx berkeyakinan bahwa posisi dalam struktur sangat mendorong dalam upaya memperbaiki nasib mereka dengan ditunjukkan adanya klas borjuis dan klas buruh.
Dari penjelasan tersebut menurut sosiolog pendidikan beraliran Marxian menawarkan bahwa masalah pertentangan klas menjadi objek kajia (pendidikan). Dari mereka ada poin-poin yang diajukan, pertama bahwa pendidikan difokuskan pada perubahan yang dibangun dan tumbuh tanpa adanya tekanan dari klas dominan atau penguasa, yaitu dengan perubahan akan penyadaran atas klas dominan. Kedua pendidikan diarahkan sebagai arena perjuangan klas, mengajarkan pembebasan, kesadaran klas, dan perlawanan terhadap kaum borjuis. Masyarakat Pendidikan Prioritas Kebijakan Strategi Perencanaan
1. Konflik dan eksploitasi
2. Kekuasaan dan kekuatan untuk
3. Memelihara tertib sosial
4. Perjuanagan terus menerus antara kelompok dominan dan subordinat
5. Pendidikan sebagai kepanjangan kekuatan kelompok dominan
6. Memutuskan hubungan antara organisasi /struktur sekolah dan kekuatan ekonomi
7. Pendidikan terciptakan terti social yang hirarkis
8. Pengembagan kesadaran dan perlawanan diajarkan di sekolah
9. Ubah struktur sekolah/ kerja/ masyarakat
10. Bebaskan kurikulum dari ideologi dominas
11. Kembangkan pendidikan sebagai embebasan
Dalam teori konflik ini begitu jelas dominasi kaum Borjuis pemegang kendali dan kebijakan, mereka dengan gampang memperoleh status sosial dalam masyarakat. Sebagai contoh ditahun 90-an ada sebuah penelitian yang menyimpulkan bahwa selama tahun 90-an kebelakang teryata pendidikan ditentukan o leh status ekonomi para orangtua. Sehingga paling tidak fakta bahwa teori konflik berlaku di Indonesia.
Di dalam buku “Sosiologi Pendidikan” juga disebutkan bahwa kelas bawah tidak akan sama memperoleh pendidikan di banding dengan klas menegah dan atas, sebagai misal pembelajaran yang pernah dimiliki oleh klas tengah tidak akan pernah dimenegrti oleh klas bawah, karna adaya perbedaan pengalaman yang dia daaptkan. Kedua, dalam realitasnya klas bawah tidak akan semudah memperoleh pendidikan dibading klas menengah yang dengan gampang tanpa alih-alih taggung jawab lain dalam mempeolehnya. Ketiga, realitas Negara bahwa segala pengetahuan ditentukan oleh penguasa, karenanya klas proletar yang notabenya sebagai objek dari kebijakan mendapatkan keilmuan tidak sesuai dengan fakta yang ada, sekaligus merupakan bukan termasuk bukan bagain dari keinginan siswa dan keahliannya.
Kebijaksanaan Sosial Masyarakat dalam Perspektif Struktural Konflik
Upaya-upaya masyarakat dalam meredam benturan di dalam masyarakatnya seringkali dihargai sebagai sebuah kebijaksanaan yang harus dihargai. Seringkali muncul asumsi bahwa di dalam setiap kebijaksanaan yang dibuat terdapat nilai-nilai gotong royong dan kekeluargaan dalam masyarakat dan oleh karenanya hal tersebut selayaknya dilestarikan. Namun tersirat, di dalam dinamika kehidupan masyarakat seringkali ditemui fakta adanya gurat-gurat kekecewaan dari mereka yang terpangkas hak-haknya. Meski secara realita tidak menunjukkan adanya sebuah masalah, namun dalam realita seringkali muncul lisan yang menyinggung ketidakpuasan terhadap apa yang diperoleh. Kondisi tersebut menempatkan mereka berada dalam posisi berlawanan, berhadap-hadapan dengan konsensus masyarakat secara keseluruhan.
Keadaan demikian dapat dimaknai dalam dua hal. Pertama, potensi konflik sudah masuk dalam dinamika kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari perubahan keadaan yang disebut “normal” dalam masyarakat, kualitas hubungan antar masyarakat menurun dan muncul pengelompokan-pengelompokan dalam masyarakat. Makna kedua adalah telah terjadi konflik laten. Kelompok-kelompok dalam masyarakat berdiri karena adanya pertentangan wacana dan pandangan dalam melihat sebuah isu. Untuk memahami realitas tersebut menarik untuk membawanya dalam bahasan strategi konflik guna merumuskan kebijaksanaan dalam arti yang sebenarnya.
Pruitt and Rubin (2004) menyebutkan adanya lima stategi yang dapat diambil untuk menyelesaikan konflik, yaitu contending (menyerang),yielding (mengalah), problem solving, withdrawing(menarik diri) dan inaction(diam). Ketika diambil sebagai kesepakatan, strategi apa yang diambil oleh masyarakat yang seharusnya menerima bantuan dan oleh mereka yang memperjuangkan bantuan atas nama keadilan dalam arti sempit? Contending dijelaskan sebagai sebuah usaha memperjuangkan haknya dengan jalan memaksakan kehendak kepada pihak lain, asumsinya ketika konflik berakhir hanya akan ada satu pemenang.
Yielding merupakan satu keputusan mengalah dalam sebuah konflik, namun hal tersebut bukan berarti menyerah, melainkan mengulur waktu untuk memperoleh sebuahproblem solving yang lebih menguntungkan bagi semua pihak. Withdrawing daninaction berada dalam satu garis dimana salah satu pihak melakukan penghentian dalam aksi, namun bedanya adalah strategi pertama bersifat permanen, sementara yang kedua tetap membuka kemungkinan untuk mencari alternatif pemecahan masalah. Dalam kasus distribusi bantuan, mereka yang mendapatkan prioritas adalah orang yang tidak mampu secara material maupun intelektual. Kondisi tersebut membatasi akses dan peluang mereka untuk berjuang melalui caracontending. Asumsinya, wilayah diskusi dan penguasaan sumber daya akan dikuasai oleh mereka yang mempunyai kemampuan material dan intelektual lebih baik. Apalagi secara kuantitatif terdapat perbedaan yang signifikan antara mereka yang seharusnya mendapatkan bantuan dengan mereka yang tidak masuk dalam daftar penerima bantuan. Menarik diri atau diam juga bukan merupakan pilihan karena menafikkan hak yang seharusnya mereka terima.
Problem solving pada akhirnya menjadi pilihan walau sebenarnya tidak berjalan dengan adil bagi mereka. Penguasaan forum sebagaimana disebutkan diatas pada akhirnya memaksa mereka untuk menerima keputusan yang “adil” untuk memuaskan kepentingan semua pihak. Adanya gejolak laten yang muncul di masyarakat hendaknya dipahami bahwa kesepakatan-kesepakatan yang muncul selama ini seringkali merupakan bentuk serangan, strategicontending dari pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan kebijakan yang diperoleh pemerintah. Demi memperoleh hak yang mereka inginkan, legitimasi forum warga digunakan untuk mengalahkan penerima bantuan yang seharusnya.
Setiap kebijakan adalah pilihan untuk memperoleh tujuan tertentu. Dalam kasus distribusi bantuan, adanya prioritas merupakan bentuk yang dipilih karena terdapat disparitas dalam kerugian. Kebijaksanaan dalam arti yang sebenarnya adalah sikap menerima atas pilihan-pilihan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Diimplementasikan dalam tindakan yang lebih jauh adalah secara bersama-sama mengawasi kebijakan yang diambil tersebut agar tidak terdapat penyelewengan di dalamnya. Tulisan ini masih merupakan sebuah abstraksi dari banyaknya konflik yang tersimpan di dalam masyarakat. Dengan melihat setiap gejolak yang terjadi hendaknya masyarakat lebih bijak menyikapi tindakan-tindakan dan kepekakatan yang diambil. Konflik tidak selalu perlu untuk dimaknai sebagai fenomena negatif, dan melakukan pengelolaan/managemen konflik terkadang justru akan memberikan sebuah nilai positif bagi masyarakat.
Di dalam pengelolaan konflik terdapat dimensi pembelajaran dan kesadaran. Hal tersebut dipengaruhi penekanan managemen pada proses yang dibangun, bukan pada hasil yang ingin dicapai. Kesadaran paling utama yang muncul adalah perubahan pandangan terhadap nilai-nilai keadilan dan memunculkan sifat anti kekerasan. Keadilan, sebagai sebuah prinsip yang dijunjung tinggi oleh masyarakat hendaknya dimaknai sebagai sebuah ketaatan pada komitmen dan aturan main yang disepakati dalam penyelesaian permasalahan. Namun proses tersebut harus bersifat tidak membelenggu, bahkan menekan kelompok masyarakat yang lain. Harus bersifat melindungi, memberdayakan dan membebaskan kesadaran sosial tanpa menghilangkan prinsip hukum untuk keadilan.
Dengan berbagai macam forum di masyarakat yang memungkinkan adanya komunikasi rutin, diharapkan masyarakat akan terus terbiasa dalam sebuah dialog yang mengedepankan perdamaian dan kemanusiaan. Kebijaksanaan masyarakat, sebagai sebuah modal sosial pembangunan hendaknya tidak lagi dimanfaatkan sebagai sarana memperoleh keuntungan sepihak dan mengalahkan nilai-nilai positif social capital.
Kemudian jika ditinjau dari perspektif dominan dalam sosiologi, dapat dibedakan menjadi empat model, yakni (1) model struktural- fungsional,(2) model konflik, (3) model intraksionisme- simbolik, dan(4) model etnometodologi.
(1). Model Struktural- Fungsional                     
Sama halnya dengan kita yang hidup, paru- paru, ginjal, dan organ lain berfungsi untuk memelihara tubuh itu. Mengikuti model ini, jika anda ingin memehami struktur apapun dapat dilihat dalam komponen- komponen yang ada pada masyarakat, anda harus menemukan fungsi- fungsinya dalam masyarakat. Dua konsep terkait ini, yakni struktur dan fungsi, telah digunakan oleh spencer dan Durkheim, sosiologi Amerika, menjadi penting peranannya terutama pengaruh Talcott Parsons. Beliau telah melahirkan apa yang saat ini diketahui sebagai model sociology atau struktural fungsional yang sering disebut dengan fungsionalisme, yaitu kepercayaan suatu pola sosial adlah hal terbaik untuk dipahami dalam kaitan dengan fungsinya dalam masyarakat yang ditentukan.
(2). Model Konflik
Menurut ahli teori konflik, ahli fungsionalis sedang mendukung status quo dengan menguraikan masyarakat seolah- olah dalam keadaan yang terbaik, sama dengan yang diharapkan. Padahal dalam perubahan tidaklah selalu berjalan secara normatif. Sebaliknya, dalam setiap masyarakat apapun konflik senantiasa ada dalam masyarakat, konflik merupakan bagian integral dalam dinamika kehidupan, baik yang negatif maupun positif.
Para ahli teori konflik mengatakan bahwapertanyaan yang sungguh penting dalam tiap- tiap masyarakat berhubungan dengan isu, siapakah yang mendominasi, dan siapa yang didominasi, kelompok mana yang berada diatas dan bagaimana cara mereka memelihara agar tetap berada diatas? Ahli teori konflik berasumsi bahwa sangat sedikit pola sosial yang bertahan sebab mereka berada dalam suatu sistem yang tidak statis. Sebagai implikasinya, mereka berasumsi bahwa kapan saja suatu kelompok yang berbeda, besar kemungkinan akan menguasai kelompok lain.
(3). Model Interaksionisme Simbolik                                                                                             
Istilah interaksionisme simbolis diciptakan oleh Herbert Blumer, figur yang terkemuka dalam mempromosikan modelnya sejak 1930-an[16]. Tokoh lainnya adalah George Herbert Mead yang mengatakan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan pihak- pihak lain, dengan perantara lambang- lambang tertentu yang dimiliki bersama. Dengan perantara lambang- lambang tersebut maka manusia memberikan arti pad kegiatan- kegiatannya. Mereka dapat menafsirkan keadaan dan perilaku dengan mempergunakan lambang- lambang tersebut. Manusiapun membentuk perspektif- perspektif tertentu melalui suatu proses sosial dimana mereka memberikan rumusan hal- hal tertentu bagi pihak- pihak lainnya. Selanjutnya, mereka berperilaku menurut hal- hal yang diartikan secara sosial.
Manusia mungkin saja berbicara dengan dirinya sendiri, dan menjawab pertanyaan- pertanyaannya sendiri. Dengan cara demikian, seseorang dapat menyesuaikan perilakunya dengan pihak lain.
(4). Model Etnometodologi
Hal lain yang berkaitan erat dengan interaksionisme simbolis adalah model mikro yang telah menjadi populer selama beberapa tahun yang lampau, yaitu etnometodologi yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari fenomenologi.
Dalam pendahuluan bukunya yang berjudul Studies in Ethnomethodologhy Garfinkel menjawab suatu pertanyaan apa yang disebut etnometodologi itu? Etnometodologi  merupakan bentuk fenomenologi dan fokusnya mirip dengan versi tradisi fenomenologi. Dalam kajian ini memfokuskan pada studi empirik terhadap aktivitas- aktivitas keseharian dan fenomena- fenomena yang bersifat umum. Sebagaimana kaum fenomenologis lainnya, memfokuskan pada makna itu secara intersubjektif dan dikomunikasikan meliputi:      
1). Perbincangan keseharian secara umum memaparkan sesuatu yang lebih memilki makna dari pada kata- kata formal itu sendiri.
2). Perbincangan merupakan praduga konteks makna umum
3). Pemahaman secara umum yang menyertai atau yang dihasilkan dan perbincangan tersebut mengandung suatu proses penafsiran terus- menerus secara intersujektif
4). Pertukaran dan kejadian sehari- hari memiliki metodologi yang terencana dan rasional
Dengan demikian, dari kejadian sehari- hari tersebut, seorang peneliti akan mendapatkan suatu pengertian atau makna ucapan orang lain melalui pemahaman aturan itu sendiri dengan kaidah- kadahnya[17].
Banyak orang berpendidikan telah dipengaruhi oleh pendekatan ini. Pekerjaan mereka kadang- kadang sukar dipisahkan dari pekerjaan peneliti kualitatif lainnya, mereka cenderung melakukan pekerjaan- pekerjaan tentang isu yang bersifat mikro dengan mengungkapkan kosa kata khusus, serta dengan tindakan yang mendeteil yang dilengkapi dengan pengertian. Pengertian yang demikian menggunakan istilah- istilah pengertian common sense, kehidupan sehari- hari, dan penyeleseian sehari- hari. Menurut etnometodologi, penelitian bukanlah hanya merupakan usaha ilmiah yang unik,melainkan lebih merupakan penyeleseian praktis. Mereka menyarankan agar kita melihat secara hati- hati pada pengertian common sense tempat pengumpulan data dilakukan. Mereka mendorong peneliti untuk bekerja dengan cara kualitatif untuk lebih peka terhadap kebutuhan tertentu menurut mereka atau menangguhkan asumsi mereka tentang common sense, dan pandangan mereka sendiri dari pada mempertimbangkannya.
     

                                       













    BAB III
         STUDY KASUS
Strategi konflik
Strategi konflik memandang masyarakat sebagai arena di mana masing-masing individu dan kelompok bertarung untuk memenuhi berbagai kebutuhan dan keinginannya. Konflik dan pertentangan menimbulkan dominasi dan subordinasi, kelompok dominan memanfaatkan kekuasaan mereka untuk menentukan struktur masyarakat sehingga menguntungkan bagi kelompok mereka sendiri.
Definisi Konflik
 “De Dreu dan Gelfand (2008) menyatakan bahwa conflict as a process that begins when an individual or group perceives differences and opposition between itself and another individual or group about interests and resources, beliefs, values, or practices that matter to”. Dari definisi tersebut tampak bahwa konflik merupakan proses yang mulai ketika individu atau kelompok mempersepsi terjadinya perbedaan atau opisisi antara dirinya dengan individu atau kelompok lain mengenai minat dan sumber daya, keyakinan, nilai atau paktik-praktik lainnya.
Robbins (2001) menyebut konflik sebagai a process in which an effort is purposely made by A to offset the efforts of B by some form of blocking that will result in frustrating B in attaining his or her goals or furthering his or her interests. Dalam definisi ini tampak bahwa konflik dapat terjadi ketika usaha suatu kelompok dihambat oleh kelompok lain sehingga kelompok ini mengalami frustrasi. Kondalkar (2007) yang mengutip pendapat Thomas menyatakan bahwa konflik sebagai process that begins when one party perceives that another party has negatively affected something that the first party cares about. Proses konflik bermula ketika satu partai mempersepsi bahwa partai lain memiliki afeksi (perasaan) negatif.
Kondalkar (2007) juga melanjutkan bahwa conflict “as a disagreement between two or more individuals or groups, with each individual or group trying to gain acceptance of its views or objective over others. Dari pendapat ini Kondalkar melihat bahwa konfil merupakan ketidaksetujuan (disagreement) antara dua atau lebih individu atau kelompok yang mana masing-masing individu atau kelompok tersebut mencoba untuk bisa diterima pandangannya atau tujuannya oleh individu atau keompok lain.
Dari pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa konflik adalah suatu hasil persepsi individu ataupun kelompok yang masing-masing kelompok merasa berbeda dan perdebaan ini menyebabkan adanya pertentangan dalam ide ataupun kepentingan, sehingga perbedaan ini menyebabkan terhambatnya keinginan atau tujuan pihak individu atau kelompok lain.
Film Srigala Terakhir
Serigala Terakhir merupakan film drama kriminal dari Indonesia yang dirilis pada 5 November 2009 yang disutradarai oleh Upi Avianto. Film ini akan dibintangi antara lain oleh Vino G. Bastian, Al Fathir Muchtar, Dallas Pratama, Dion Wiyoko, Ali Syakieb, Reza Pahlevi, Fanny Fabriana, dan Zaneta Georgina
 Disebuah pinggiran Jakarta dengan sekelompok remaja laki-laki tumbuh dan menjalin persahabatan yang kuat. Mereka adalah Ale (Fathir Muchtar), Jarot (Vino G. Bastian), Lukman (Dion Wiyoko), Sadat (Ali Syakieb), dan Jago (Dallas Pratama). Ale adalah sosok yang paling menonjol di antara mereka. Jiwa pemimpinnya sangat kentara sekali. Sementara Jarot adalah sosok yang paling tidak banyak omong dan tertutup.
Suatu peristiwa dalam sebuah pertandingan sepak bola yang berakhir dengan keributan. Pada saat itu Ale tampak terdesak karena lawannya menggunakan pisau. Mereka semua berusaha membantu Ale. Sampai akhirnya Jarotlah yang berhasil melumpuhkan lawan dan tanpa diduganya pisau itu tertancap ditubuh lawan, rubuh bersimbahkan darah, dan mati. Seketika semua diam dan kemudian kabur meninggalkan Jarot seorang diri yang berdiri terpana tidak percaya.
Persahabatan yang sudah mereka jalin eratpun teruji. Jarot harus mengalami pengalaman pahit di penjara seorang diri. Tidak ada seorang sahabatpun yang memperdulikannya. Perasaan sakit hati dan terkhianati mengubah Jarot menjadi lelaki yang keras. Keputusannya setelah keluar dari penjara untuk bergabung di kelompok Naga Hitam membuatnya jadi berseberangan dengan kelompok Ale. Karena kelompok Naga Hitam adalah musuh besar kelompok Ale.
Intrik demi intrik pun semakin rumit. Terlebih lagi ketika Jarot menjalin cinta lamanya kembali secara diam-diam dengan Aisya (Fanny Fabriana), adik Ale. Keputusan Jarot ini dianggap membahayakan bagi kedua kelompok yang berseteru
Disini study kasus yang diambil oleh kelompok kami mengenai konflik yang terjadi karena perselisihan kelompok, yang kami ambil dari film Srigala Terakhir yang mana di dalam film tersebut menceritakan tentang geng-geng anak muda ibu kota yang saling berselisih guna menentukan kekuasaan wilayah yang mereka kuasai sebagai simbol sebuah harga diri dan kehormatan. Konflik di picu oleh rasa emosi, ingin menang sendiri dilatarbelakangi dendam antar wilayah yang mempertahuhkan kehormatan mereka sebagai pemuda jalanan ibu kota.
Konflik dalam study kasus ini, menggambarkan tentang perselisihan kelompok yang mengundang bentrok secara fisik. Dalam masyarakat konflik memang wajar adanya karena konflik adalah bagian menuju kehidupan yang lebih baik. Namun jika konflik tersebut terjadi secara terus menerus malah akan menimbulkan kerugian. Disini peran dari sebuah strategi konflik agar konflik yang terjadi dapat diselesaikan dan menghasilkan sebuah kesepahaman yang nantinya bisa menggarahkan menuju kehidupan yang lebih baik.
Konflik dapat berupa perselisihan (disagreement), adanya ketegangan (the presence of tension), atau munculnya kesulitan-kesulitan lain di antara dua pihak atau lebih. Konflik sering menimbulkan sikap oposisi antara kedua belah pihak, sampai kepada tahap di mana pihak-pihak yang terlibat memandang satu sama lain sebagai penghalang dan pengganggu tercapainya kebutuhan dan tujuan masing-masing.
Emotional conflicts terjadi akibat adanya perasaan marah, tidak percaya, tidak simpatik, takut dan penolakan, serta adanya pertentangan antar pribadi (personality clashes). Situasi yang terjadi ketika ada perbedaan pendapat atau perbedaan cara pandang diantara beberapa orang, kelompok atau organisasi. Definisi lain yaitu sikap saling mempertahankan diri sekurang-kurangnya diantara dua kelompok, yang memiliki tujuan dan pandangan berbeda, dalam upaya mencapai satu tujuan sehingga mereka berada dalam posisi oposisi, bukan kerjasama.
Film srigala terakhir, merupakan sebuah film yang bercerita tentang mimpi segerombolan anak jalanan. Mereka bermimpi menjadi sukses dengan menjadi kelompok mafia. Gaya hidup mereka memang sangat dipengaruhi oleh lingkungan ibu kota yang keras yang memaksa mereka untuk hidup berteman dengan saling menghancurkan satu sama lain. Mereka sudah terbiasa berlarian, membuat keonaran, berkelahi bahkan tawuran yang mengundang kematian. Berbagai macam bercampur menjadi satu, masalah pribadi sampai masalah cinta yang menimbulkan konflik anatar kelompok bahkan sampai dendam turun temurun.
     














BAB IV
ANALISIS SOLUSI & KESIMPULAN

Dari study kasus film “srigala terakhir” dapat kami analisis bahwa konflik itu hadir dalam kehidupan sehari-hari kita. Sering tanpa kita sadari bahwa dalam dunia persahabatan pun terselip konflik kecil yang dapat menyebabkan permusuhan bahkan pertikaian yang merusak persahabatan. Perbedaan cara pandang setiap indivudu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial. Seperti dalam cerita srigala terakhir ketika salah seorang anggota kelompok merasa dikhianati karena perbedaan pendirian, munculah sebuah konflik bahkan rasa dendam.
Lingkungan masyarakat juga berpengaruh dalam terjadinya sebuah konflik sosial. Ketika seseorang atau sekelompok manusia berada dalam lingkungan yang tidak kondusif, maka dapat dipastikan konflik akan sering ada. Perbedaan-perbedaan yang ada, yang disebabkn perbadaan latar belakang budaya juga mempengaruhinya. Bayangkan saja ketika kita berada di wilayah rawan konflik, saat nilai dan norma sudah tidak diperdulikan, sudah dipastikan lingkungan tersebut rawan konflik.
Perbedaan kepentingan antar individu bahkan kelompok. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik. Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda.
Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya.
Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat. Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
Solusi (Strategi penyelesaian Konflik)                  
a)      Menghindar
Menghindari konflik dapat dilakukan jika isu atau masalah yang memicu konflik tidak terlalu penting atau jika potensi konfrontasinya tidak seimbang dengan akibat yang akan ditimbulkannya. Penghindaran merupakan strategi yang memungkinkan pihak-pihak yang berkonfrontasi untuk menenangkan diri. Manajer perawat yang terlibat didalam konflik dapat menepiskan isu dengan mengatakan “Biarlah kedua pihak mengambil waktu untuk memikirkan hal ini dan menentukan tanggal untuk melakukan diskusi”
b)      Mengakomodasi
Memberi kesempatan pada orang lain untuk mengatur strategi pemecahan masalah, khususnya apabila isu tersebut penting bagi orang lain. Hal ini memungkinkan timbulnya kerjasama dengan memberi kesempatan pada mereka untuk membuat keputusan. Perawat yang menjadi bagian dalam konflik dapat mengakomodasikan pihak lain dengan menempatkan kebutuhan pihak lain di tempat yang pertama.
c)      Mediasi
Meminta bantuan pihak ketiga untuk menyelasikan konflik yang ada.
d)     Kompromi dan Negosiasi
Masing-masing memberikan dan menawarkan sesuatu pada waktu yang bersamaan, saling memberi dan menerima, serta meminimalkan kekurangan semua pihak yang dapat menguntungkan semua pihak.
e)      Memecahkan masalah atau kolaborasi
Pemecahan sama-sama menang dimana individu yang terlibat mempunyai tujuan kerja yang sama. Perlu adanya satu komitmen dari semua pihak yang terlibat untuk saling mendukung dan saling memperhatikan satu sama lainnya.
Kesimpulan
Perspektif struktural konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional. Struktural konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, struktural konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.
Konflik adalah suatu hasil persepsi individu ataupun kelompok yang masing-masing kelompok merasa berbeda dan perdebaan ini menyebabkan adanya pertentangan dalam ide ataupun kepentingan, sehingga perbedaan ini menyebabkan terhambatnya keinginan atau tujuan pihak individu atau kelompok lain.
            Di dalam buku “Sosiologi Pendidikan” juga disebutkan bahwa kelas bawah tidak akan sama memperoleh pendidikan di banding dengan klas menegah dan atas, sebagai misal pembelajaran yang pernah dimiliki oleh klas tengah tidak akan pernah dimenegrti oleh klas bawah, karna adaya perbedaan pengalaman yang dia daaptkan. Kedua, dalam realitasnya klas bawah tidak akan semudah memperoleh pendidikan dibading klas menengah yang dengan gampang tanpa alih-alih taggung jawab lain dalam mempeolehnya. Ketiga, realitas Negara bahwa segala pengetahuan ditentukan oleh penguasa, karenanya klas proletar yang notabenya sebagai objek dari kebijakan mendapatkan keilmuan tidak sesuai dengan fakta yang ada, sekaligus merupakan bukan termasuk bukan bagain dari keinginan siswa dan keahliannya.

                                                     DAFTAR RUJUKAN    

Dr. H. Supardan, Dadang. 2007. PENGANTAR ILMU SOSIAL Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: Bumi Aksara
     
Ramadhan’ 10.Perspektif Struktural Konflik.Online. Diakses pada tanggal 29 februari 2012 pukul 23.15 WIB
Wikipedia Ensiklopedia Bebas. Fokus Analisis dan Klasifikasi Kenyataan Sosial. Online. Diakses pada tanggal 1 Maret 2012 pukul 21.53 WIB





[1] Popenoe(1983:8-9), Sepencer dan Inkeles(1982:20)
[2] Popenoe(1983:9) dikutip dari Pengantar Ilmu Sosial oleh Dr.H. Dadang Supardan, M.Pd. hal: 115
[3] Sanderson(1995:3) dikutip dari Pengantar Ilmu Sosial oleh Dr.H. Dadang Supardan, M.Pd. hal: 115
[4] Sanderson(1995 21-22) dikutip dari buku Pengantar Ilmu Sosial oleh Dr.H. Dadang Supardan, M.Pd. hal: 116
[5] Popenoe(1983:9) dikutip dari buku Pengantar Ilmu Sosial oleh Dr.H. Dadang Supardan, M.Pd. hal: 116
[6] Douglas(1980)                                                                                                                                                                           
[7] Johnson(1986:61-62) dikutip dari buku Pengantar Ilmu Sosial oleh Dr.H. Dadang Supardan, M.Pd. hal: 118
[8] (Taylor,1942:1) dikutip dari buku Pengantar Ilmu Sosial oleh Dr.H. Dadang Supardan, M.Pd. hal: 118
[9] Max Weber(1864-1920) dikutip dari buku Pengantar Ilmu Sosial oleh Dr.H. Dadang Supardan, M.Pd. hal: 120
[10] (Johnson,1986:61,Zeitlin,1995:331) dikutip dari buku Pengantar Ilmu Sosial oleh Dr.H. Dadang Supardan, M.Pd. hal:122
[11] (Johnson,1986:4,Zeitlin,1995:332)
[12] (Homans,1961:87) dikutip dari buku Pengantar Ilmu Sosial oleh Dr.H. Dadang Supardan, M.Pd. hal:124
[13] Lockwood(1956:284) dikutip dari buku Pengantar Ilmu Sosial oleh Dr.H. Dadang Supardan, M.Pd. hal: 126
[14] (Supardan,2004:45) dikutip dari buku Pengantar Ilmu Sosial oleh Dr.H. Dadang Supardan, M.Pd. hal: 126          
[15] (Collins,1975:58-59) dikutip dari buku Pengantar Ilmu Sosial oleh Dr.H. Dadang Supardan, M.Pd. hal:128
[16] (Spencer dan Inkles,1982:16)
[17] (Zeitlin, 1995:280) dikutip dari buku Pengantar Ilmu Sosial oleh Dr.H. Dadang Supardan, M.Pd. hal:131

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar