Diberdayakan oleh Blogger.

Labels

Blogger news

Blogger templates

RSS

catatan perjalan menempuh S1

cacatan perjalanan menempuh S1

sejarah munculnya demokrasi


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Demokrasi
Demokrasi terdiri atas dua kata berasal dari bahasa Yunani, yaitu “Demos” berarti rakyat atau penduduk dan “Cratein” atau “Cratos” berarti kekuasaan atau kedaulatan. Dari dua kata tersebut terbentuklah suatu istilah “ demoscratein” atau “demokratia” yang berarti negara dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat, atau pemerintahan negara rakyat yang berkuasa.
Secara terminologi demokrasi adalah sebagai berikut.
1)      Joseph A. Schmeter mengatakan, demokrasi merupakan suatu perencaan instutisional untuk mencapai keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.
2)       Sidney Hook berpendapat, demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintahyang penting secara bebas dari rakyat biasa.
3)       Philippe C. Schmitter, demokrasi merupakan sebagai suatu sistem pemerintahan di mana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para wakil mereka yang telah terpilih.
4)       Henry B. Mayo mengatakan, demokrasi sebagai sistem politik merupakan suatu sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnnya kebebasan politik.
5)       Menurut Harris Soche, demokrasi adalah bentuk pemerintahan rakyat, karena itu kekuasaan pemerintahan itu melekat pada diri rakyat diri orang banyak dan merupakan hak bagi rakyat atau orang banyak untuk menagtur, mempertahankan dan melindungi dirinya dari paksaan dan pemerkosaan orang lain atau badan yang diserahi untuk memerintah.
6)       Menurut C.F Strong,  demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dalam mana mayoritas anggota dewasa dari masyarakat politik ikut serta dalam atas dasar sistem perwakilan yang menjamin bahwa pemerintah akhirna mempertanggung jawabkan tindakan- tindakan kepada mayoritas itu.[1]
Dalam kehidupan bernegara istilah demokrasi mengandung pengertian bahwa rakyat yang memberikan ketentuan dalam masalah-masalah menegenali kehidupannya, termasuk menilai kebijakan negara, karena kebijakan tersebut akan menentukan kehidupan rakyatnya. Dengan demikian negara yang menganut sistem demokrasi maka pemerintahannya diselenggarakan atas kehendak rakyatnya.
Pemerintahan demokrasi adalah suatu pemerintahan yang melaksanakan kehendak rakyat, akan tetapi kemudian ditafsirkan dengan suara terbanyak dari rakyat banyak. Jadi tidak melaksanakan kehendak seluruh rakyat, karena selalu mengalahkan kehendak golongan yang sedikit anggotanya. Dalam pemerintahan demokrasi dijamin hak-hak kebebasan setiap orang dalam suatu negara.
Demokrasi dapat dipandang sebagai suatu mekanisme dan cita-cita hidup berkelompok sesuai kodrat manusia hidup bersama dengan manusia lain yang disebut kerakyatan, yaitu bersama dengan rakyat banyak atau masyarakat. Oleh karena itu, demokrasi adalah mementingkan atau mengutamakan kehendak rakyat.
Demokrasi dapat dikatakan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, yaitu adanya tuntutan atau dukungan dari rakyat sebagai masukan, kemudian tuntutan itu dipertimbangkan dan dimusyawarahkan oleh rakyat yang duduk di lembaga legeslatif sebagai proses konversi, dan hasilnya berupa kebijaksanaan atau aturan untuk rakyat sebagai keluaran atau produk untuk rakyat. Hasil keluaran dapat mempengaruhi tuntutan baru, jika tidak sesuai dengan apa yang dituntut. Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat digambarkan dalam bentuk diagram dibawah ini.

                                                      Umpan balik
Demokrasi atau kerakyatan merupakan pola hidup berkelompok didalam organisasi negara yang sesuai dengan keinginan dan tuntutan orang hidup berkelompok. Keinginan dan tuntutan orang-orang yang hidup berkelompok terutama ditentukan oleh pandangan hidup (weltanschauung), filsafat hidup (filosofiche grondslag), dan ideologi bangsa yang bersangkutan, yang menjadi aksioma kehidupan dalam bermasyarakat berbangsa dan bernegara.[2]
Demokrasi atau kerakyatan muncul sebagai akibat suatu sistem pemerintahan diktator yang otoriter yang membawa akibat buruk bagi orang banyak sebagai rakyatnya. Akibat-akibat buruk tersebut antara lain adalah:
Ø  Penindasan dan eksploitasi terhadap rakyat, terutama eksploitasi tenaga dan pikiran rakyat sehingga rakyat hanya kewajiban tanpa hak.
Ø  Kondisi kehidupan masyarakat seperti diatas selalu mengakibatkan timbulnya konflik dengan korban yang lebih banyak dipihak rakyat.
Ø  Kesejahteraan bertumpu pada para penguasa dan pemimpin sedangkan rakyat dibiarkan hidup melarat tanpa jaminan masa depan.
Faktor-faktor diatas melatarbelakangi ide pemerintah yang demokratis untuk menjamin kesejahteraan rakyat banyak secara merata(Sumarno dkk, 2001)
Hakikat demokrasi  sebagai suatu sistem bermasyarakat dan bernegara serta pemerintahan memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaan di tangan rakyat baik dalam penyelenggaraan negara maupun pemerintahan. Kekuasaan pemerintah berada di tangan rakyat mengandung pengertian: pemerintahan dari rakyat, pemerintahan oleh rakyat, dan pemerintahan untuk rakyat. Suatu pemerintahan dikatakan demokratis, bila ketiga hal di atas dapat dijalankan dan ditegakkan dalam tata pemerintahan (Dede Rosyada dkk, 2003).[3]
B.     Sejarah Munculnya Demokrasi
1.      Dalam pandangan Sejarah Dunia
Demokrasi dalam sejarah peradaban muncul sejak jamam Yunani Kuno di mana rakyat  memandang kediktatoran sebagai bentuk pemerintahan terburuk. Capaian praktis dari pemikiran demokrasi Yunani adalah munculnya “negara kota”.  Dengan Polis adalah bentuk demokrasi pertama. Demokrasi berasal dari taka tain yaitu demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan).
Peradaban Yunani menunjukkan bahwa masyarakat Yunani dipecah menjadi kota-negara bagian yang kecil-kecil (tidak lebih dari 10.000 warga).  Setiap orang menyuarakan pendapatnya atas persoalan-persoalan pemerintahan. Istilah demokrasi sendiri pertama kali di kemukakan pada pertengahan abad 5 M di Athena.
Dari Wikipedia :
The term democracy first appeared in ancient Greek political and philosophical thought. The philosopher Plato contrasted democracy, the system of "rule by the governed", with the alternative systems of monarchy (rule by one individual), oligarchy (rule by a small élite class) and timocracy.  (Political Analysis in Plato's Republic at the Stanford Encyclopedia of Philosophy)
Although Athenian democracy is today considered by many to have been a form of direct democracy, originally it had two distinguishing features: firstly the allotment (selection by lot) of ordinary citizens to government offices and courts, and secondarily the assembly of all the citizens. All the male Athenian citizens were eligible to speak and vote in the Assembly, which set the laws of the city-state; citizenship was not granted to women, or slaves. Of the 250,000 inhabitants only some 30,000 on average were citizens. Of those 30,000 perhaps 5,000 might regularly attend one or more meetings of the popular Assembly. Most of the officers and magistrates of Athenian government were allotted; only the generals (strategoi) and a few other officers were elected.
Uraian di atas memberi gambaran terhadap kita bahwa dari semua manusia yang ada dikerajaan itu hanya 2% yang berperan dalam menentukan pergerakan pemerintahan. Dan diantara 2% itu hanya segelintir orang yang dapat mengakses kekuasaan.[4]
Konsep demokrasi memang sedikit sulit untuk dipahami karena banyak memiliki kesamaan makna  yaitu variatif, evolotif dan dinamis. Untuk itu tidak begitu mudah membuat definisi yang baku tentang demokrasi. Banyak Negara yang mengklaim bahwa negaranya merupakan negara demokrasi, walaupun nilai-nilai demokrasi dalam pemerintahannya banyak yang dilanggar.
Demokrasi diakui banyak orang dan negara sebagai system nilai kemanusiaan yang paling menjanjikan masa depan umat manusia di dunia. Abraham Lincoln adalah presiden Amerika Serikat pertama yang pernah mengatakan, bahwa demokrasi adalah memerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Hilang dan munculnya kembali paham demokrasi
Baron de La Brède et de Montesquieu (18 Januari 1689 – 10 Februari 1755)
Demokrasi di Yunani sendiri akhirnya menghilang. Baru setelah ratusan bahkan ribuan tahun kemudian paham demokrasi muncul kembali. Tapatnya di Perancis saat terjadi revolosi Perancis. Ia adalah Baron de La Brède et de Montesquieu (lahir 18 Januari 1689 – meninggal 10 Februari 1755) yang lebih dikenal dengan Montesquieu.  Momtesquieu terkenal dengan teorinya mengenai pemisahan kekuasaan yaitu Trias Politika dimana kekuasaan dibagi menjadi Legeslatif, Eksekutif dan Yudikatif. Ia juga yang mempopulerkan istilah “feodalisme” dan kekaisaran Bizantium”.[5]
Peristiwa diserangnya Penjara Bastille memulai runtuhnya kerajaan dan masyarakat meruntuhkan kerajaan tersebut, melakukan rapat besar untuk membuat suatu bentuk dari pemerintahan yang berbeda dari Kerajaan mereka mengatakan bahwa setiap orang berhak menjadi pemimpin tidak hanya para keluarga Raja. Ide yang sangat bagus dan enak ditelinga membuat masyarakat mendapatkan angan-angan bahwa suatu saat mereka dapat mempunyai kesempatan menjadi penguasa layaknya raja. Akhirnya semua lapisan masyarakat menyutujuinya dan Memilih orang-orang yang dapat berperan dalam tiga unsur demokrasi tersebut.
Perjuangan demokrasi di Perancis sendiri juga tidak mudah karena raja tidak ingin menyerahkan kekuasaannya begitu saja. Walau demikian perubahan di Perancis ini telah mempengaruhi banyak Negara tetangganya.  Hingga muncullah sistem Monarki Parlementari di Inggris, German, Italia, dan Eropa barat.
Setelah revolosi Perancis, krisis akibat perebutan kekuasaan masih terus berlangsung. Pada akhirnya perancis kembali dengan system monarki dengan Napoleon Bonaparte sebagai kaisarnya.
Kegagalan demokrasi di Perncis ternyata tidak menyurutkan keinginan sebagian besar masyarakat di Eropa untuk menjadikan demokrasi sebagai sistem yang berkeadilan. Setidaknya mereka ingin terbebas dari tirani gereja dan pemerintah negaranya. Dengan ditemukannya benua Amerika, di mana di benua tersebut tidak ada kekuasaan kaisar dan penduduk aslinyapun peradabannya dianggap masih primitive, maka masyarakat Eropa yang ingin mendapatkan kebebasan berbondong-bondong ke Amerika untuk membangun negara baru dengan dasar kebebasan. Perancis kemudian menghadiahkan patung Liberty (kebebasan) yang dibangun di New York sebagai simbol penyambutan kepada para pencari kebebasan.
C.    Pemikiran dan Teori-Teori Demokrasi
Sejarah pemikiran dan praktik demokrasi bisa digambarkan dalam tiga fase utama: Fase Klasik (Demokrasi Athena), Fase Pra-Pencerahan, Fase Modern dan Fase Kontemporer (Paska Perang Dingin).[6]
1.      Fase Klasik
Fase Klasik ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran filosofis dan praksis politik dan ketatanegaraan sekitar abad ke 5 SM yang menjadi kebutuhan dari negara-negara kota (city states) di Yunani, khususnya Athena. Munculnya pemikiran yang mengedepankan demokrasi (democratia, dari demos + kratos) disebabkan gagalnya sistem politik yang dikusai para Tyrants atau autocrats untuk memberikan jaminan keberlangsungan terhadap Polis dan perlindungan terhadap warganya. Filsuf-filsuf seperti Thucydides (460-499 SM), Socrates (469-399 SM), Plato (427-347SM), Aristoteles (384-322 SM) merupakan beberapa tokoh terkemuka yang mengajukan pemikiran-pemikiran mengenai bagaimana sebuah Polis seharusnya dikelola sebagai ganti dari model kekuasaan para autocrats dan tyrants. Dari buah pikiran merekalah prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi, yaitu persamaan (egalitarianism) dan kebebasan (liberty) individu diperkenalkan dan dianggap sebagai dasar sistem politik yang lebih baik ketimbang yang sudah ada waktu itu. Tentu saja para filsuf Yunani tersebut memiliki pandangan berbeda terhadap kekuatan dan kelemahan sistem demokrasi itu sendiri. Plato, misalnya, dapat dikatakan sebagai pengritik sistem demokrasi yang paling keras karena dianggap dapat mendegenerasi dan mendegradasi kualitas sebuah Polis dan warganya. Kendati Plato mendukung gagasan kebebasan individu tetapi ia lebih mendukung sebuah sistem politik dimana kekuasaan mengatur Polis diserahkan kepada kelompok elite yang memiliki kualitas moral, pengetahuan, dan kekuatan fisik yang terbaik atau yang dikenal dengan nama “the philosopher Kings”. Sebaliknya, Aristoteles memandang justru sistem demokrasi yang akan memberikan kemungkinan Polis berkembang dan bertahan karena para warganya yang bebas dan egaliter dapat terlibat langsung dalam pembuatan keputusan publik, dan secara bergiliran mereka memegang kekuasaan yang harus dipertanggungjawabkan kepada warga.
Demokrasi klasik di Athena, baik dari dimensi pemikiran dan praksis, jelas bukan sebuah demokrasi yang memenuhi kriteria sebagai demokrasi substantif, karena pengertian warga (citizens) yang “egaliter” dan “bebas” pada kenyataannya sangat terbatas. Mereka ini adalah kaum pria yang berusia di atas 20 th, bukan budak, dan bukan kaum pendatang (imigran). Demikian pula demokrasi langsung di Athena dimungkinkan karena wilayah dan penduduk yang kecil (60000-80000 orang). Warga yang benar-benar memiliki hak dan berpartisipasi dalm Polis kurang dari sepertiganya dan selebihnya adalah para budak, kaum perempuan dan anak-anak, serta pendatang atau orang asing! Demikian pula, para warga dapat sepenuhnya berkiprah dalam proses politik karena mereka tidak tergantung secara ekonomi, yang dijalankan sepenuhnya oleh para budak, kaum perempuan, dan imigran.
2.      Pada fase Pencerahan (Abad 15 sampai awal 18M)
Yang mengemuka adalah gagasan alternatif terhadap sistem Monarki Absolut yang dijalankan oleh para raja Eropa dengan legitimasi Gereja. Tokoh-tokoh pemikir era ini antara lain adalah Niccolo Machiavelli (1469-1527), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), dan Montesquieu (1689-1755). Era ini ditandai dengan munculnya pemikiran Republikanisme (Machiavelli) dan liberalisme awal (Locke) serta konsep negara yang berdaulat dan terpisah dari kekuasan eklesiastikal (Hobbes). Lebih jauh, gagasan awal tentang sistem pemisahan kekuasaan (Montesquieu) diperkenalkan sebagai alternative dari model absolutis. Pemikiran awal dalam sistem demokrasi modern ini merupakan buah dari Pencerahan dan Revolusi Industri yang mendobrak dominasi Gereja sebagai pemberi legitimasi sistem Monarki Absolut dan mengantarkan pada dua revolusi besar yang membuka jalan bagi terbentuknya sistem demokrasi modern, yaitu Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Perancis (1789). Revolusi Amerika melahirkan sebuah sistem demokrasi liberal dan federalisme (James Madison) sebagai bentuk negara, sedangkan Revolusi Perancis mengakhiri Monarki Absolut dan meletakkan dasar bagi perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia secara universal.
Trias politica atau teori mengenai pemisahan kekuasaan, di latar belakangi pemikiran bahwa kekuasaan-kekuasaan pada sebuah pemerintahan yang berdaulat tidak dapat diserahkan kepada orang yang sama dan harus dipisahkan menjadi dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara dapat lebih terjamin.
Dalam bukunya yang berjudul L’esprit des Louis Montesquieu membagi kekuatan negara menjadi tiga kekuasaan agar kekuasaan dalam negara tidak terpusat pada tangan seorang raja penguasa tunggal, yaitu sebagai berikut.
a)      Legislatif, yaitu kekuasaan untuk membentuk undang-undang.
b)       Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk menjalankan undang-undang.
c)      Legislatif, yaitu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang (mengadili).
Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa satu orang atau lembaga akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat padanya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya.[7]
3.      Fase Modern (awal abad 18-akhir abad 20)
Menyaksikan bermunculannya berbagai pemikiran tentang demokrasi berkaitan dengan teori-teori tentang negara, masalah kelas dan konflik kelas, nasionalisme, ideologi, hubungan antara negara dan masyarakat dsb. Disamping itu, terjadi perkembangan dalam sistem politik dan bermunculannya negara-negara baru sebagai akibat Perang Dunia I dan II serta pertikaian ideologi khusunya antara kapitalisme dan komunisme.
Pemikir-pemikir demokrasi modern yang paling berpengaruh termasuk JJ Rousseau (1712-1778), John S Mill (1806-1873), Alexis de Tocqueville (1805-1859), Karl Marx (1818-1883), Friedrich Engels (1820-1895), Max Weber (1864-1920), dan J. Schumpeter (1883-1946). Rousseau membuat konsepsi tentang kontrak sosial antara rakyat dan penguasa dengan mana legitimasi pihak yang kedua akan diberikan, dan dapat dicabut sewaktu-waktu apabila ia dianggap melakukan penyelewengan. Gagasan dan praktik pembangkangan sipil (civil disobedience) sebagai suatu perlawanan yang sah kepada penguasa sangat dipengaruhi oleh pemikiran Rousseau. Mill mengembangkan konsepsi tentang kebebasan (liberty) yang menjadi landasan utama demokrasi liberal dan sistem demokrasi perwakilan modern (Parliamentary system) di mana ia menekankan pentingnya menjaga hak-hak individu dari intervensi negara/pemerintah. Gagasan pemerintahan yang kecil dan terbatas merupakan inti pemikiran Mill yang kemudian berkembang di Amerika dan Eropa Barat. De Toqcueville juga memberikan kritik terhadap kecenderungan negara untuk intervensi dalam kehidupan sosial dan individu sehingga diperlukan kekuatan kontra yaitu masyarakat sipil yang mandiri.
Marx dan Engels merupakan pelopor pemikir radikal dan gerakan sosialis-komunis yang menghendaki hilangnya negara dan munculnya demokrasi langsung. Negara dianggap sebagai “panitia eksekutif kaum burjuis” dan alat yang dibuat untuk melakukan kontrol terhadap kaum proletar. Sejauh negara masih merupakan alat kelas burjuis, maka keberadaannya haruslah dihapuskan (withering away of the state) dan digantikan dengan suatu model pemerintahan langsung di bawah sebuah diktator proletariat. Dengan mendasari analisa mereka mengikuti teori perjuangan kelas dan materialism dialektis, Marx dan Engels menganggap sistem demokrasi perwakilan yang diajukan oleh kaum liberal adalah alat mempertahankan kekuasaan kelas burjuis dan karenanya bukan sebagai wahana politik yang murni (genuine) serta mampu mengartikulasikan kepentingan kaum proletar. Max Weber dan Schumpeter adalah dua pemikir yang menolak gagasan demokrasi langsung ala Marx dan lebih menonjolkan sistem demokrasi perwakilan. Mereka berdua mengemukakan demokrasi sebagai sebuah sistem kompetisi kelompok elite dalam masyarakat, sesuai dengan roses perubahan masyarakat modern yang semakin terpilah-pilah menurut fungsi dan peran. Dengan makin berkembangnya birokrasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sistem pembagian kerja modern, maka tidak mungkin lagi membuat suatu sistem pemerintahan yang betul-betul mampu secara langsung mengakomodasi kepentingan rakyat. Demokrasi yang efektif adalah melalui perwakilan dan dijalankan oleh mereka yang memiliki kemampuan, oleh karenanya pada hakekatnya demokrasi modern adalah kompetisi kaum elit.
4.       Era Kontemporer
Perkembangan pemikiran demokrasi dan praksisnya pada era kontemporer menjadi semakin kompleks, apalagi dengan bermunculannya negara-negara bangsa dan pertarungan ideologis yang melahirkan blok Barat dan Timur, kapitalisme dan sosialisme/komunisme. Demokrasi menjadi jargon bagi kedua belah pihak dan hampir semua negara dan masyarakat pada abad keduapuluh, kenbdatipun variannya sangat besar dan bahkan bertentangan satu dengan yang lain. Demokrasi kemudian menjadi alat legitimasi para penguasa, baik totaliter maupun otoriter di seluruh dunia. Di negara-negara Barat seperti Amerika dan Eropa, pemahaman demokrasi semakin mengarah kepada aspek prosedural, khususnya tata kelola pemerintahan (governance). Pemikir seperti Robert Dahl umpamanya menyebutkan bahwa teori demokrasi bertujuan memahami bagaimana warganegara melakukan control terhadap para pemimpinnya. Dengan demikian focus pemikiran dan teori demokrasi semakin tertuju pada masalah proses-proses pemilihan umum atau kompetisi partai-partai politik, kelompok kepentingan, dan pribadi-pribadi tertentu yan memiliki pengaruh kekuasaan. Praktik demokrasi pada fase-fase tersebut tidak berarti selalu berjalan berkesinambungan, tetapi bisa terjadi overlapping dan bahkan ruptures, sehingga perkembangan tersebut tidaklah berjalan linear. Demikian pula, harus diingat bahwa selalu ada diskrepansi atau gap antara “pemikiran”,“gagasan (ideas)” dengan praksis dan realitas yang sedang berkembang. Dengan demikian tidak berarti bahwa dalam fase klasik realitas politik di Athena merupakan pengejawantahan total gagasan demokrasi yang ada. Bisa jadi bahwa gagasan yang muncul pada suatu era ternyata masih merupakan gagasan yang belum terealisasi sebelumnya, atau kalaupun terealisasi ternyata mengalami berbagai penyimpangan atau perbedaan.

D.    Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Semenjak kemerdekaan 17 agustus 1945, Undang Undang Dasar 1945 memberikan penggambaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi.Dalam mekanisme kepemimpinannya Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR dimana MPR adalah sebuah badan yang dipilih dari Rakyat. Sehingga secara hirarki seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan negara melalui mekanisme perwakilan yang dipilih dalam pemilu. Indonesia sempat mengalami masa demokrasi singkat pada tahun 1956 ketika untuk pertama kalinya diselenggarakan pemilu bebas di indonesia, sampai kemudian Presiden Soekarno menyatakan demokrasi terpimpin sebagai pilihan sistem pemerintahan. Setelah mengalami masa Demokrasi Pancasila, sebuah demokrasi semu yang diciptakan untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto, Indonesia kembali masuk kedalam alam demokrasi pada tahun 1998 ketika pemerintahan junta militer Soeharto tumbang. Pemilu demokratis kedua bagi Indonesia terselenggara pada tahun 1999 yang menempatkan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan sebagai pemenang Pemilu.
1.      Periodesasi dan Macam-macam Demokrasi di Indonesia
a.       Periode 1945-1959 (demokrasi Parlementer)
Demokrasi dimasa ini dikenal dengan sebutan demokrasi parlementer. Sistem parlementer ini mulai berlaku sebulan sesudah kemerdekaan diproklamirkan. Namun demikian model demokrasi ini dianggap kurang cocok untuk Indonesia. Lemahnya budaya demokrasi untuk mempraktikkan demokrasi model barat ini telah memberi peluang sangat besar kepada partai-partai politik untuk mendominasi kehidupan social politik.[8]
Ketiadaan budaya demokrasi yang sesuai dengan system demokrasi parlementer ini akhirnya melahirkan fragmentasi politik berdasarkan afiliasi kesukuan dan agama. Akibatnya, pemerintahan yang berbasis pada koalisi politik pada masa ini jarang dapat bertahan lama. Koalisi yang dibangun dengan sangat mudah pecah. Hal ini mengakibatkan destabilisasi politik nasional yang mengancam integrasi nasional yang sedang dibangun. Persaingan tidak sehat antara faksi-faksi politik dan pemberontakan daerah terhadap pemerintah pusat telah mengancam berjalanya demokrasi itu sendiri.
Factor-faktor dissintegrasi diatas, ditambah dengan kegagalan partai-partai dalam majelis konstituante untuk mencapai consensus mengenai dasar Negara untuk undang-undang dasar baru, mendorong presiden Soekarno untuk mengeluarakan dekrit presiden pada 5 juli 1959 yang menegaskan berlakunya kembali undang-undang dasar 1945. Dengan demikian masa demokrasi berdasarkan system parlementer berakhir, diganti oleh demokrasi terpimpin yang memosisikan presiden Soekarno menjadi pusat kekuasaan Negara.

2.      Periode 1959-1965 (Demokrasi Terpimpin)
Periode ini di kenal dengan sebutan demokrasi terpimpin. Ciri-ciri demokrasi ini adalah dominasi politik presiden dan berkembangnya pengaruh komunis dan peranan tentara ABRI dalam panggung politik nasional. Hal ini di sebabkan oleh lahirnya dekrit presiden 5 juli 1959 sebagai usaha untuk mencari jalan keluar dari kebuntuan politik melalui pembentukan kepemimpinan nasioanal personal yang kuat. Sekalipun UUD 1945 memberi peluang presiden untuk memimpin pemerintahan selama lima tahun ketetapan MPRS No.III/1963 mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup dengan lahirnya ketetapan MPRS ini secara otomatis telah membatalkan pembatasan waktu lima tahun sebagaimana ketetapan UUD 1945.
Kepemimpinan presiden tanpa batas ini terbukti melakukan tindakan dan kebijakan yang menyimpang dari ketentuan UUD 1945. Misalnya pada tahun 1960 presiden Soekarno membubarkan dewan perwakilan rakyat hasil pemilihan umum, padahaldalampenjelasan UUD 1945 secara eksplisit ditentukan bahwa presiden tidak memiliki wewenang untuk berbuuat demikian. Dengan kata lain, sejak diberlakukan dekrit presiden 1959 telah terjadi penyimpangan konstitusi oleh presiden.
Dalam pandangan sejarawan Ahmad Syafii Ma’arif, demokrasi terpimpin sebenarnya ingin menempatkan presiden Soekarno ibarat seorang ayah ibarat dalam sebuah keluarga besar yang bernama Indonesia dengan kekuasaan terpusat berada ditanganya. Dengan demikian, kekeliruan yang sangat besar dalam demokrasi terpimpin dalam model Soekarno adalah pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi, yakni lahirnya absolutisme dan terpusatnya kekuasaan pada diri pemimpin, dan pada saat yang sama hilangnya kontrol social dan check and balance dan legislative terhadap eksekutif.
Dalam kehidupan politik Partai Komunis Indonesia (PKI) sangatlah menonjol. Bersandar pada dekrit presiden 5 juli sebagai sumber hukum didirikan banyak badan ekstrakonstitusional seperti front nasional yang digunakan oleh PKI sebagai kegiatan wadah politik. Front nasional telah dimanipulasi oleh PKI untuk menjadi bagian strategi taktik komunisme internasional yang menggariskan pembentukan front nasional sebagai persiapan kearah terbentuknya demokrasi rakyat. Strategi politik PKI untuk mendulang keuntungan dari charisma kepemimpinan presiden Soekarno dengan cara mendukung pemberedelan pers dan partai politik misalnya  Masyumi yang dinilai tidak sejalan dengan kebijakan pemerintahan.
Perilaku politik PKI yang berhaluan sosialis marxis  tentu tidak dibiarkan begitu saja oleh partai politik islam dan kalangan militer (TNI) yang pada waktu itu merupakan salah satu komponen politik penting presiden Soekarno. Akhir dari demokrasi terpimpin presiden Soekarno yang berakibat dari perseteruan politik ideologi santara PKI dan TNI adalah peristiwa berdarah yang dikenal dengan gerakan 30 september 1965.

3.      Periode 1965-1998( Demokrasi Orde Baru)
Periode ini merupakan masa pemerintahan presiden Soeharto dengan orde barunya. Sebutan orde baru merupakan kritik terhadap periode sebelumnya, orde lama. Orde lama, sebagaimana dinyatakan oleh pendukungnya, adalah upaya untuk meluruskan kembali penyelewengan terhadap undang-undang dasar 1945 yang terjadi dalam masa demokrasi terpimpin. Seiring pergantian kepemimpinan nasional, demokrasi terpimpin ala Soekarno telah diganti oleh elite ordebaru dengan demokrasi pancasila.
Beberapa kebijakan pemerintah sebelumnya yang menetapkan masa jabatan presiden seumur hidup untuk presiden Soekarno telah dihapuskan dan diganti dengan pembatasan jabatan presiden lima tahun dan dapat dipilih kembali melalui proses pemilu.
Demokrasi pancasila secara garis besar menawarkan tiga komponen demokrasi.Pertama,demokrasi dalam bidang politik pada hakikatnya adalah menegakkan kembali asas-asas Negara hokum dan kepastian hokum. Kedua, demokrasi dalam bidang ekonomi pada hakikatnya adalah kehidupan yang layak bagi semua warga Negara. Ketiga, demokrasi dalam bidang hokum pada hakikatnya bahwa pengakuan dan perlindungan HAM, peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Hal yang sangat disayangkan adalah, alih-alih pelaksanaan ajaran pancasila secara murni dan konsekuen, demokrasi pancasila yang dikampanyekan oleh orde baru, baru sebatas retorika politik belaka. Dalam praktik kenegaraan dan kepemerintahanya, penguasa orde baru bertindak jauh dari prinsip-prinsip demokrasi. Seperti dikatakan oleh M. RusliKarim, ketidak demokratisan penguasa orde baru ditandai oleh:
(1) dominannya peranan militer (ABRI);
(2) birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik;
(3) pengembirian peran dan fungsi partai politik;
(4) campur tangan pemerintah dalam berbagai urusan partai politik dan publik;
(5) politik masa mengambang;
(6) monolitisasi ideologi;
(7) inkorporasi lembaga non pemerintah.
4.      Periode pasca orde baru
Periode pasca orde baru sering disebut era reformasi. Periode ini erat hubunganya dengan gerakan reformasi rakyat yang menuntut pelaksannaan demokrasi dan HAM secara konsekuen. Tuntutan ini ditandai oleh lengsernya presiden Soeharto dari tumpuk kekuasaan orde baru pada mei 1998. Setelah lebih dari tiga puluh tahun berkuasa dengan demokrasi pancasilanya. Penyelewengan atas dasar Negara pancasila oleh penguasa orde baru berdampak pada sikap antipasti sebagian masyarakat terhadap dasar Negara tersebut.
Pengalaman pahit yang menimpa pancasila, yang pada dasarnya sangat terbuka, inklusif dan penuh nuansa HAM, berdampak pada keengganan kalangan tokoh reformasi untuk menambahkan atribut tertentu pada kata demokrasi. Bercermin pada pengalaman manipulasi atas pancasila oleh penguasa orde baru, demokrasi yang hendak dikembangkan setelah kejatuhan oleh rezim orde baru adalah demokrasi tanpa nama atau demokrasi tanpa embel-embel dimana hak rakyat merupakan komponen inti dalam mekanisme dan pelaksanaan pemerintahan yang demokratis. Wacana demokrasi pasca orde baru erat kaitanya dengan pemberdayaan masyarakat madanai dan penegakan HAM secara sungguh-sungguh.




























KESIMPULAN
1.      Pengertian Demokrasi
Demokrasi terdiri atas dua kata berasal dari bahasa Yunani, yaitu “Demos” berarti rakyat atau penduduk dan “Cratein” atau “Cratos” berarti kekuasaan atau kedaulatan. Dari dua kata tersebut terbentuklah suatu istilah “ demoscratein” atau “demokratia” yang berarti negara dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat, atau pemerintahan negara rakyat yang berkuasa. Pemerintahan demokrasi adalah suatu pemerintahan yang melaksanakan kehendak rakyat, akan tetapi kemudian ditafsirkan dengan suara terbanyak dari rakyat banyak. Jadi tidak melaksanakan kehendak seluruh rakyat, karena selalu mengalahkan kehendak golongan yang sedikit anggotanya. Dalam pemerintahan demokrasi dijamin hak-hak kebebasan setiap orang dalam suatu negara.
2.      Sejarah Munculnya Demokrasi
Demokarsi muncul pertama kali di Yunani. Peradaban Yunani menunjukkan bahwa masyarakat Yunani dipecah menjadi kota-negara bagian yang kecil-kecil (tidak lebih dari 10.000 warga).  Setiap orang menyuarakan pendapatnya atas persoalan-persoalan pemerintahan. Istilah demokrasi sendiri pertama kali di kemukakan pada pertengahan abad 5 M di Athena. Muncul kembali abad pertengahan di Perancis. Hingga lahirnya piagam Magna Charta serta pembuatan Patung Liberty sebagai simbol Kebebasan( Demokrasi
3.      Pemikiran dan Teori Demokrasi
Sejarah pemikiran dan praktik demokrasi bisa digambarkan dalam tiga fase utama: Fase Klasik (Demokrasi Athena), Fase Pra-Pencerahan, Fase Modern dan Fase Kontemporer (Paska Perang Dingin).

4.      Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Ø  Periode 1945-1959 (demokrasi Parlementer)
Ø  Periode 1959-1965 (Demokrasi Terpimpin)
Ø  Periode 1965-1998( Demokrasi Orde Baru)
Ø  Periode pasca orde baru























Daftar Rujukan
Referensi: http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi
Noor Ms Bakry. 2009. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Budiardjo, Mirriam, 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama
Hidayat, Komaruddin dan  Aryumardi Azra. 2008. Pendidikandan Kewarganegaraan. Jakarta:ICC UIN Syarif Hidayatulloh





[1] Referensi: http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi

[2] Noor Ms Bakry. 2009. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
[3] Ibid hal 3
[4] Ibid hal 2
[6] Budiardjo, Mirriam, 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama

[7] Ubaedillah, A, 2008. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta. Kencana Prenada Media Group

[8] Hidayat, KomaruddindanAryumardiAzra. 2008. PendidikandanKewarganegaraan. Jakarta:ICC UIN SyarifHidayatulloh)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

4 komentar:

Ti Yau mengatakan...

demokrasi yang punya uang bakal menang

Anonim mengatakan...

bang bolehsaya copy gx ????

Anonim mengatakan...

kalau gx boleh gx pp

Unknown mengatakan...

Bila melihat perkembangan lahirnya Demokrasi sekaligus Perlindungan HAM, hampir barangkali Kerajaan Wajo di Sulawesi selatan dapat dikatakan sebagai sebuah Negara yang berdaulat pertama di dunia yang menganut sistim Demokrasi dan HAM yang di declarasikan pada tahun 1476 atau 300 tahun sebelum bangsa Amerika mengumandangkan Declaration of Independent pada tahun 1776. Dalam declarasi tersebut landasan Demokrasi dan HAM disebutkan bahwa "MARADEKA TO WAJO'E RILALENG TAMPU MOPI NAMARADEKA, NAJAJIANG ALENA MARADEKA, ADE' YASSIMATURUSIMI I POPUANG" Artinya : Orang Wajo adalah orang merdeka masih dalam kandungan sudah merdeka, dilahirkan sebagai orang merdeka, hanya hukum yang dipertuan" Untuk lebih mengetahui lebih jauh anda dapat membuka blog saya tomalebbirisanisyam@go.id

Posting Komentar