B.PEMBAHASAN
1.
Konflik dan Kosensus
a.
Konflik
Konfik secara etimologi
berasal dari kata kerja latin configere
yang berarti saling memukul.[1] Secara
terminologi dalam sudut pandang sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu
proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah
satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau
membuatnya tidak berdaya. Konflik
merupakan suatu gejala yang umumnya muncul sebagai akibat dari interaksi
manusia dalam hidup bermasyarakat. Konflik akan timbul ketika terjadi
persaingan baik individu maupun kelompok. Konflik juga bisa dipicu karena
adanya perbedaan pendapat antara komponen-komponen yang ada di dalam masyarakat
membuatnya saling mempertahankan ego dan memicu timbulnya pertentangan. Bukan
hanya di masyarakat konflik juga bisa terjadi di satuan kelompok masyarakat
terkecil, keluarga, seperti konflik antar saudara atau suami-istri.
Beberapa pengertian
konflik atau definisi konflik yang dikeluarkan oleh beberapa ahli.Dr. Robert
M.Z. Lawang, mengatakan bahwa konflik adalah perjuangan untuk memperoleh nilai,
status, kekuasaan, dimana tujuan dari mereka yang berkonflik, tidak hanya
memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk menundukkan saingannya. Sedangkan menurut Soerjono Soekanto, konflik adalah proses sosial dimana orang atau kelompok berusaha untuk memenuhi
tujuannya dengan jalan menentang pihak lain yang disertai ancaman dan
kekerasan.
Menurut Taquiri dalam
Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang
boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan
ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih
pihak secara berterusan. Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu
dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan.
Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau
lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules,
1994:249).
Teori
Konflik
Teori ini bukanlah suatu teori yang terpadu
ataupun komprehensif. Mungkin karena alasan inilah teori konflik kedengarannya
kurang begitu cocok untuk diangkat sejajar dengan teori- teori sosiologi
lainnya. Fokus kajiannya adalah mengenal dan menganalisis kehadiran konflik
dalam kehidupan sosial, sebab, dan bentuknya, serta akibatnya dalam perubahan
sosial. Namun, sejak tahun 1950-an teori konflik menjadi populer sebagai
oposisi terhadap Teori Fungsional Parsons yang dianggap berat sebelah pada
konsesus nilai, integrasi, dan solidaritas. Menganggap pendekatan Parsons itu
terlalu bersifat normatif, padahal dalam sistem tidak hanya tertib normatif
tetapi juga substratum yang melahirkan konflik- konflik. Keduanya saling
berpadu bergantian antara stabilitas dan insabilitas[2].
Pengabaian kenyataan- kenyataan diatas
pendekatan fungsional dapat dipandang sebagai pendekatan reaksioner, dan
mengabaikan realita sosial yang sebenarnya. Disinalah teori konflik mengusung
beberapa asumsi yang dikembangkannya, antara lain (1) setiap masyarakat
senantiasa berada didalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir, dengan
perkataan lain perubahan sosial merupakan gejala yang merekat pada setiap
masyarakat (2) setiap masyarakat mengandung konflik- konflik didalam dirinya,
atau dengan perkataan lain konflik adalah gejala yang merekat pada masyarakat
Para ahli teori konflik mengakui kebesaran
Marx sebagai pionir dan mewarikan teori ini hanya saja Ralf Dahrendorf, Lewis
Coser, dan Randall Collins, yang dikenal pendukung teori konflik non-Marxis,
memiliki pandangan yang berbeda.
Pendapat penting dari tokoh teori konflik non-
Marxis lainnya, dikemukakan oleh Collins dalam karyanya Conflict Sociology:
Toward an Explanatory Science. Sesungguh
model konfliknya ini lebih komprehensif dari sebelumnya karena kajian
dia tidak hanya membatasi pada konflik ekonomi maupun konflik organisasi
birokrasi. Modelnya ini dapat diterapkan pada bidang- bidang institusional apa
saja, seperti keluarga, organisasi agama, komunitas intelektual ilmiah,
politik, dan militer. Beberapa pernyataan yang terkenal adalah:
Terciptanya solidaritas emosional tidak
menggantikan konflik, melainkan merupakan salah satu alat utama yang digunakan
dalam konflik. Upacara- upacara emosional dapat digunakan untuk untuk dominasi
dalam suatu kelompok atau organisasi, upacara- upacara itu merupakan wahana
dengan persekutuan yang dibentuk dalam perjuangan melawan kelompok- kelompok
lain, upacara- upacara itu dapat digunakan untuk menentukan hierarki prestise
status dimana beberapa kelompok mendominasi kelompok lainnya dengan memberikan
sesuatu yang ideal untuk menyamakan kondisi- kondisi orang bawahan itu[3].
Faktor Penyebab Konflik
1).Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan
perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
2).Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk
pribadi-pribadi yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan
pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang
berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat
memicu konflik.
3).Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok. Manusia
memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda.
Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok
memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal
yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya
perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat
menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan
mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang
pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun
atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian
kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi
pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan.
Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan
kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat.
Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik,
ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau
antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan
pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para
buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan
pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta
volume usaha mereka.
4).Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam
masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
Jenis-Jenis
Konflik
Menurut
Dahrendorf,
konflik dibedakan menjadi 6 macam :
1) konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya
antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role))
2) Konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar
gank).
3) Konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi
melawan massa).
4) Konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara)
5) Konflik antar atau tidak antar agama
6) Konflik antar politik.
Akibat Konflik
Hasil dari
sebuah konflik adalah sebagai berikut :
1) meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang
mengalami konflik dengan kelompok lain.
2) keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
3) perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa
dendam, benci, saling curiga dll.
4) kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
5) dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam
konflik.
Para pakar
teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat memghasilkan
respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap
hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini
akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut:
• Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan
percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
• Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan
percobaan untuk “memenangkan” konflik. Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak
lain hanya akan menghasilkan percobaan yang memberikan “kemenangan” konflik
bagi pihak tersebut
Fungsi
Konflik
Achmad Fedyani Saifudin (1986) menyebutkan
fungsi konflik sebagai berikut:
1) Konflik
berfungsi mencegah dan mempertahankan identitas dan batas-batas kelompok sosial
dan masyarakat.
2)Konflik
dapat melenyapkan unsur-unsur yang memecah belah dan menegakkan kembali
persatuan. Konflik dapat meredakan ketegangan antara pihak-pihak yang
bertentangan sehingga dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa konflik
berfungsi sebagai stabilisator sistem sosial.
3) Konflik
suatu kelompok dengan kelompok lain menghasilkan mobilisasi energi para anggota
kelompok yang bersangkutan sehingga kohesi setiap kelompok ditingkatkan.
4) Konflik
dapat menciptakan jenis-jenis interaksi yang baru diantara pihak-pihak
bertentangan yang sebelumnya tidak ada. Konflik berlaku sebagai rangsangan
untuk menciptakan aturan-aturan dan sistem norma yang baru, yang mampu mengatur
pihak-pihak yang bertentangan sehingga keteraturan sosial kembali
terwujud.
5) Konflik
dapat mempersatukan orang-orang atau kelompok-kelompok yang tadinya tidak
saling berhubungan. Koalisi dan organisasi dapat timbul dimana kepentingan
pragmatik utama dan pelakunya terlibat.
b. Konsensus
Konsensus adalah sebuah frasa untuk menghasilkan atau menjadikan
sebuah kesepakatan yang disetujui secara bersama-sama antar kelompok atau
individu setelah adanya perdebatan dan penelitian yang dilakukan dalam kolektif
intelijen untuk mendapatkan konsensus pengambilan keputusan.[4] Konsensus
yang dilakukan dalam gagasan abstrak, tidak mempunyai implikasi terhadap
konsensus politik praktis akan tetapi tindak lanjut pelaksanaan agenda akan
lebih mudah dilakukan dalam memengaruhi konsensus politik. Konsensus bisa pula
berawal hanya merupakan sebuah pendapat atau gagasan yang kemudian diadopsi
oleh sebuah kelompok kepada kelompok yang lebih besar karena bedasarkan
kepentingan (seringkali dengan melalui sebuah fasilitasi) hingga dapat mencapai
pada tingkat konvergen keputusan yang akan dikembangkan. Kesepakatan kata atau
permufakatan bersama (mengenai pendapat, pendirian, dsb) yg dicapai melalui
kebulatan suara
Konsensus menekankan pendapat bahwa bagian-bagian dari organisasi sosial,
nilai-nilai, norma-norma, peranan-peranan, dan lembaga-lembaga (institusi)
adalah kesatuan yang erat secara keseluruhan. Masyarakat mempunyai tujuan yang
sama sepakat tentang apa yang benar dan apa yang tidak benar, dan digunakan
dalam membantu perangkat kegiatan satu sama lain. Sehingga seseorang dapat
dikatakan penjahat karena dasar-dasar konsensus dan mengancam stabilitas sosial
secara keseluruhan.[5]
Emile Durkheim (1964[1893]) berteori bahwa isi dan sifat umum Undang-undang tumbuh dari semacam “solidaritas” yang
mencirikan masyarakat tersebut.
Undang-undang dibuat berdasarkan kesepakatan bersama dan terbentuk dari
prilaku masyarakat itu sendiri ketika masyarakat melakukan tindakan-tindakan
penyimpangan maka lahirlah aturan-aturan perundang-undangan tersebut untuk
dapat mengontrol prilaku menyimpang yang ditimbulkan oleh masyarakat tersebut.
Maka wajar ketika disuatu daerah atau negara yang masyarakatnya terdapat
banyak penyimpangan maka Undang-undangnya pun banyak mengalami perubahan maupun
penambahan. Menurut Sumner (1906) bahwa pembuatan Undang-undang tidak dapat mengubah adat-istiadat dengan
cepat dan mudah dan bahwa semua hukum mengalir secara langsung dari
adat-istiadat atau bahwa hukum tidak dapat memasukan perubahan sosial manapun.
Jadi Undang-undang yang di buat tidak dapat berpengaruh secara langsung
terhadap adat-istiadat maupun kebiasaan yang telah ada di dalam masyarakat,
namun Undang-undang dapat mengikat setiap anggota dari masyarakat dengan
aturan-aturan yang bersifat normatif sehingga tetap dapat mengontrol masyarakat
secara umum dan luas.
c.
Konflik dan Konsensus di
Indonesia dalam pandangan Antropologi
Konflik-konflik
yang terjadi di Indonesia umumnya berkembang di sekeliling garis
multikulturalitas masyarakat. Nuansa suku bangsa, etnis, agama, dan pelapisan
sosial mewarnai konflik-konflik violence sekaligus vandal. Konflik yang
menyeret wacana primordial umum terjadi dalam konflik di Kalimantan (antara
etnis Madura, Melayu, dan Dayak), di Ambon, Poso, dan Halmahera (kaum migran,
pribumi, Muslim, Nasrani, klien-klien elit politik), kerusuhan sosial dan etnis
Mei 1998 di Jakarta, konflik Aceh, serta pembantaian 1966 di Jawa dan Bali,
adalah sebagian konflik dalam aras ini.[6]
Sebelum
dilakukan pembahasan masing-masing konflik, terlebih dahulu dipaparkan sejumlah
teori yang berupaya menjelaskan aneka alur konflik. Dari teori, sebab musabab
konflik di Indonesia akan lebih mudah dipetakan. Pemahaman atas alur-alur
konflik sekaligus diharapkan mampu memberi sumbangan bahwa kendati integrasi
nasional Indonesia telah dibakukan, di arus bawah (juga level elit) konsensus
nasional sesungguhnya masih terus berproses
Pendekatan
Antropologis
Sesuai namanya,
pendekatan antropologis fokus pada aspek manusia selaku sumber konflik.
Perhatian diberikan pada ada tidaknya mekanisme resolusi konflik dalam
masyarakat. Akar-akar konflik yang diidentifikasi pendekatan ini umumnya adalah
terdiri atas sengketa batas wilayah antarkelompok, kepemilikan sumberdaya, pola
pengairan tanah, kepemimpinan, atau dinamika keluarga (prosedur warisan,
pertikaian rumah tangga, dan hubungan antara laki-laki dan perempuan).
Keuntungan dari
penekanan atas aspek manusia dalam terdiri atas dua. Pertama, fokus pada how to
solve conflict dengan mengajukan pertanyaan langsung seperti apakah faktor
penyebab konflik keragaman agama, etnis, bahasa, distribusi sumber daya, atau
masalah yang berkaitan dengan faktor geografis? Kedua, menolak penjelasan
konflik yang state-centric. Untuk ini, negara diposisikan hanya sebagai fasilitator,
sementara tokoh-tokoh masyarakat dari pihak yang berkonflik diperlakukan
sebagai subyek: Mereka duduk satu meja untuk mencari akar masalah dan
resolusinya. Hal ini misalnya tampak jelas saat proses penyelesaian konflik
Poso dan Maluku lewat Deklarasi Malino I dan II. Yusuf Kalla (wapres saat itu,
mewakili negara) bertindak sebagai fasilitator sementara pihak-pihak yang
dipertemukan adalah wakil-wakil masyarakat yang benar-benar terlibat dan
memahami konflik.
2. Legitimasi dan Dominasi
Secara
etimologi Legitimasi berasal dari bahasa inggris yaitu legitimize yang berarti adalah kualitas
hukum
yang berbasis pada penerimaan putusan dalam peradilan,dapat pula diartikan
seberapa jauh masyarakat mau menerima dan mengakui kewenangan, keputusan
atau kebijakan
yang diambil oleh seorang pemimpin.[7]
Dalam konteks legitimasi, maka hubungan antara pemimpin dan masyarakat yang
dipimpin lebih ditentukan adalah keputusan masyarakat untuk menerima atau menolak
kebijakan yang diambil oleh sang pemimpin. sedangkan Legitimasi tradisional
mengenai seberapa jauh masyarakat mau menerima kewenangan, keputusan atau kebijaksaan
yang diambil pemimpin dalam lingkup tradisional,
seperti dalam kehidupan keraton yang seluruh masyarakatnya terikat akan kewenagan yang
dipegang oleh pimpinan mereka dan juga karena hal tersebut dapat menimbulkan
gejolak dalam nurani mereka bahwa mereka adalah bawahan yang selalu menjadi
alas dari pemimpinnya.
Legitimasi Kekuasaan.
Kekuasaan dapat diartikan sebagai
kemampuan seseorang untuk mempengaruhi tingkah laku orang lain sehingga orang
lain menjadi sesuai dengan yang diinginkan oleh orang yang memiliki kekuasaan
tersebut. Namun dalam mempelajari kehidupan politik, kekuasaan tidak hanya
sebagai kemampuan untuk mempengaruhi orang lain akan tetapi juga dipandang
sebagai kemampuan untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijaksanaan yang
mengikat seluruh anggota masyarakat. Suatu kekuasaan akan memunculkan sebuah
kewenangan. Laswell dan Kaplan menyatakan bahwa wewenang (authority)
merupakan sebuah kekuasaan formal, atau dengan kata lain wewenang merupakan
kekuasaan yang memiliki keabsahan atau legitimasi.
Kewenangan seseorang belum lengkap
jika seseorang belum mendapatkan legitimasi. Legitimasi merupakan penerimaan
dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral pemimpin untuk memerintah, membuat,
dan melaksanakan keputusan politik. Secara garis besar legitimasi
merupakan hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin, hubungan itu lebih
ditentukan oleh yang dipimpin karena penerimaan dan pengakuan atas kewenangan
hanya berasal dari yang diperintah.
Secara umum alasan utama mengapa
legitimasi menjadi penting bagi pemimpin pemerintahan. Pertama, legitimasi akan
mendatangkan kestabilan politik dari kemungkinan-kemungkinan untuk perubahan
sosial. Pengakuan dan dukungan masyarakat terhadap pihak yang berwenang akan
menciptakan pemerintahan yang stabil sehingga pemerintah dapat membuat dan melaksanakan
keputusan yang menguntungkan masyarakat umum. Pemerintah yang memiliki
legitimasi akan lebih mudah mengatasi permasalahan daripada pemerintah yang
kurang mendapatkan legitimasi.
Adanya pengakuan seseorang terhadap
keunggulan orang lain pada hakekatnya menunjukkan adanya keabsahan atas
keunggulan yang dimiliki fihak yang disebut belakangan. Pengakuan tersebut
murni diperlukan karena tanpa adanya pengakuan tersebut, maka keunggulan yang
dimiliki seseorang tidak mempunyai makna apapun. Menurut Gaetano Mosca,
pengakuan terhadap keberadaan elit yang dapat dinyatakan sebagai suatu
legitimasi ini diistilahkan sebagai suatu ‘political formula’ yang
maksudnya adalah terdapatnya suatu keyakinan yang menunjukkan mengapa ‘the
rullers’ dipatuhi kepemimpinannya.
Sehubungan dengan hal tersebut di
atas, Max Weber menyatakan pendapatnya bahwa terdapat tiga macam ‘legitimate
domination’ yang menunjukkan dalam kondisi seperti apa sehingga
seseorang atau sekelompok orang mampu mendominasi sejumlah besar orang lainnya.
Ketiga macam legitimate domination tersebut adalah: (a) traditional
domination, (b) charismatic domination, dan (c) legal-rational
domination.[8]
a. Traditional Domination (Dominasi Tradisional)
Dominasi ini
mendasarkan pada tradisi yang ada dan berlaku di tengah-tengah masyarakat yang
bersangkutan. Dengan demikian legitimasi yang diperoleh elit tentu saja
didasarkan pada tradisi yang ada dan berlaku. Dalam dominasi tradisional dapat
diketemukan massa dengan kepercayaan yang mapan terhadap kesucian tradisi yang
ada. Sehingga pada gilirannya individu-individu yang terpilih sebagai pemimpin
yang berkuasa bukan dilihat dari kharisma atau kemampuan yang dimilikinya,
tetapi semata-mata atas dasar kesepakatan bersama anggota-anggota masyarakat
yang sudah mentradisi.
Dalam
dominasi tradisional ini hubungan yang terjadi antara elit dan massa tidak
jarang merupakan sebuah hubungan yang lebih bernuansa personal. Kesempatan
massa untuk direkrut sebagai staf administrasi dilihat berdasarkan pada
pertimbangan loyalitas pribadi bukan berdasarkan kemampuan yang dimiliki. Hal
ini menunjukkan bahwa massa mempunyai kesetian yang tinggi terhadap penguasa,
dan sebaliknya penguasa juga mempunyai kewajiban untuk memenuhi segala
kebutuhan massa. Akan tetapi walaupun terdapat ikatan yang sangat kuat antara
massa dan elit penguasa, masih saja terdapat keleluasaan bagi penguasa secara
pribadi mempergunakan otoritasnya sesuai dengan kehendaknya.
b. Charismatic Domination (Dominasi Karismatik)
Merupakan
dominasi yang mendasarkan pada kharisma yang melekat pada diri seseorang.
Perihal kharisma, Weber memberi pengertian sebagai “suatu sifat tertentu dari
suatu kepribadian seorang individu berdasarkan mana orang itu dianggap luar
biasa dan diperlakukan sebagai seseorang yang mempunyai sifat unggul atau
paling sedikit dengan kekuatan-kekuatan yang khas dan luar biasa”. Elit atau
penguasa yang kemunculannya didasarkan pada kharisma yang dimiliki, pada
umumnya akan berupaya menunjukkan bukti tentang keelitannya dengan cara
menunjukkan kemampuannya untuk melakukan hal-hal yang tidak mampu dilakukan
oleh orang awam, pada umumnya merupakan hal-hal yang bersifat ajaib. Semakin
mampu seorang individu menunjukkan bukti-bukti yang hebat dan relatif langka,
maka akan semakin tinggi pula legitimasi yang akan diperolehnya sebagai elit
yang berkuasa.
c. Legal-Rational Domination
Dominasi ini
pada hakekatnya didasarkan pada kesepakatan anggota masyarakat terhadap
seperangkat peraturan yang diundangkan secara resmi. Individu yang berperan
sebagai elit di masyarakat yang memberlakukan dominasi tipe ini diakui
keberadaanya atas kemampuan yang dimilikinya dan persyaratan menurut peraturan
yang berlaku. Demikian pula dengan seleksi bagi individu-individu yang dapat
menduduki posisi elit ini juga diatur secara tegas oleh peraturan yang secara
resmi berlaku. Persyaratan-persyaratan yang diajukan untuk menduduki posisi
tertentu belum tentu sama dengan posisi lain yang dibutuhkan, karena semakin
tinggi posisi yang dituju, persyaratan yang harus dipenuhi juga semakin tinggi
pula begitu pula dengan kemampuan yang dimiliki juga harus semakin besar.
Sebagai akibat dari kesepakatan-kesepakatan tersebut, maka individu-individu
yang tidak memiliki kemampuan akan sulit untuk dapat menduduki posisi tertentu
sebagai elit. Hanya individu-individu yang mempunyai kemampuan dan dipandang
telah memenuhi persyaratan yang bisa mendapatkan legitimasi.
Dalam
tradisi teori kritik, adalah Jurgen Habermas (1975), salah satu tokoh penting
yang menekankan amat pentingnya eksistensi keteraturan normatif sebagai sumber
stratifikasi. Karena itu, kedudukan Habermas dalam teori-teori antropologi
semakin disadari pentingnya semenjak 1980-an. Meski Habermas menyadari benar
pentingnya norma-norma sebagai sumber stratifikasi dan dominasi, seperti halnya
Durkheim dan Parsons, ia mengakui peranan legitimasi dalam melestarikan
norma-norma tersebut. Daripada membungkus norma-norma tersebut dengan otoritas
moral, Habermas memandang legitimasi sebagai bentuk-bentuk kekuasaan.
Ideologi
legitimasi yang lain akhir-akhir ini semakin menonjol adalah ilmu pengetahuan.
Analisis Habermas mengenai peranan ilmu pengetahuan memberikan pemahaman lebih
lanjut tentang bagaimana ideologi
merupakan bentuk-bentuk kekuasaan. Dalam menekankan fungsi ideologis dari ilmu
pengetahuan, ia mengelaborasi tema sentral dari aliranpemikiran Frankfrurt.
Khususnya semenjak Perang Dunia II keputusan-keputusan politik “ilmiah”. Dengan
istilah ini Habermas mencakupi baik dampak yang luas dari ilmu pengetahuan dan
teknologi dan kemauan spesifik kaum politisi untuk menerima nasihat ilmuwan.
Ilmu alamiah dan teknologi telah begitu sukses dalam mengungkapkan tingkat
materi yang kaum politisi dan warga negara berkeinginanuntuk mendengar pendapat
ilmuwan. Masalahnya adalah bahwa yang terkandung dalam rekomendasi ilmiah tidak
hanya sarana atau cara mencapai tujuan tetapi tujuan itu sendiri. Namun, tujuan
yang diupayakan oleh ilmuwan, menurut Habermas, tidak dibicarakan secara
menyeluruh dan eksplisit dalam forum-forum politik. Sebagai akibatnya, timbullah
konflik kepentingan satu sama lain. Rahasia militer, misalnya, menentukan
sistem untuk melakukan pengujian senjata nuklir. Juga, teknologi ruang angkasa
menentukan kebutuhannya sendiri. Secara mnenyeluruh, teknologi ilmiah didorong
kepada pertumbuhan kemajuan materi dan turut mengabadikan kapitalisme secara
tersamar.
Ilmu
pengetahuan dan teknologi lainnya adalah bentuk-bentuk kekuasaan.Ilmu pengetahuan
dan teknologi lainnya adalah kekuasaan sejauh keduanya mampu mencegah meningkatnya
pertanyaan, seperti pertanyaan seseorang, misalnya, distribusi yang tidak setara
mengenai ganjaran dan kesempatan.Dengan menyajikan gambaran yang kacau mengenai
realitas sosial yang meredam konflik-konflik di antarakepentingan-kepentingan
di bawah consensus yang tidak autentik, ilmu pengetahuan dan kekuasaan mendorong
lestarinya sistem kelas dan menghalangi kesadaran akan alternatif. Keduanyanya
mematikan keinginan untuk berubah ke
arah kehidupan yang lebih baik. Sejauh keduanya menutup kemungkinan, ideologi
membekukan status quo yang tidak berakar dalam konsensus yang absah yang
muncul dari diskusi rasional. Analisis ini berada dalam tradisi Marxis mengenai
distorsi ideologi dan kesadaran yang keliru. Habermas mengukur sistem politik
dari masyarakat kapitalis terhadap standar warga masyarakat yang berbasis
kemauan rasional dan menemukan mereka memiliki kemauan itu.[9]
Faktor-faktor
yang menghambat ekspresi atau mencegah pembicara dari menjadi sadar akan
kepentingan mereka membentuk prasangka wacana rasional dan menghasilkan konsensus
yang dipaksakan. Ketika tiba pada kepentingan bersama, orang harus menyadari
apa yang sesungguhnya mereka inginkan. Ideologi kapitalis mencegah tercapainya
konsensus rasional dengan cara menekan kesadaran akan kepentingan individu yang
sebenarnya. Mereka memfasilitasi kesadaran yang salah. Masyarakat kapitalis
memperkuat, dalam apa yang disebut Habermas, sebagai “model supresif dari
kepentingan yang dapat digeneralisasi”. Tatkala tradisi yang lebih tua seperti
hukum alam dan privatisme sipil mengalami kemerosotan, kapitalisme maju dapat
mengalami krisis legitimasi. Dalam krisis seperti itu negara tidak akan
menerima kesetiaan massal yang dibutuhkan untuk pengendalian ekonomi.
Dalam
menggeser landasan legitimasi dari nilai-nilai substansif ke prosedur linguistik,
Habermas terdorong kepada kondisi konflik dengan sumber utama legitimasi
fungsionalisme. Bagi Parsons, legitimasi dari negara demokrasi
didasarkan pada aktivisme instrumental, yang legitimasi itu sendiri meruakan
refleksi dari protetantisme (Parsons, 1965). Namun, menurut Habermas, sistem
filosofis religius pada rezim masa lampau menjadi kurang efektif. Ideologi
pencapaian, misalnya, yang menyatakan bahwa ganjaran disebarkan menurut
distribusi individual (distributive justice), kehilangan kekuatannya
melalui perubahan sosial. Juga, norma-norma prosedural dari demokrasi sebagai
landasan justifikasi tidaklah memadai. Legitimasi dominasi politik tidak dapat
disetarakan dengan norma-norma bagi organisasi demokratis dari dominasi. Melainkan,
landasan legitimasi harus diupayakan dalam semacam bentuk interaksi komunikatif
yang mampu menghasilkan konsensus rasional.
3. Integrasi Sosial dan Nasional dalam Perbedaan Multikulturalisme
Integrasi berasal dari bahasa inggris “integration” yang berarti
kesempurnaan atau keseluruhan. integrasi sosial dimaknai sebagai proses
penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan
masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memilki
keserasian fungsi.[10]
Definisi lain mengenai integrasi adalah suatu keadaan di mana
kelompok-kelompok etnik beradaptasi dan bersikap komformitas terhadap
kebudayaan mayoritas masyarakat, namun masih tetap mempertahankan kebudayaan
mereka masing-masing. Integrasi memiliki 2 pengertian, yaitu :
1)
Pengendalian
terhadap konflik dan penyimpangan sosial dalam suatu sistem sosial tertentu
2)
Membuat
suatu keseluruhan dan menyatukan unsur-unsur tertentu
a.
Integrasi Sosial
Integrasi sosial adalah jika yang dikendalikan, disatukan, atau
dikaitkan satu sama lain itu adalah unsur - unsur sosial atau
kemasyarakatan.Suatu integrasi sosial diperlukan agar masyarakat tidak bubar
meskipun menghadapi berbagai tantangan, baik berupa tantangan fisik maupun
konflik yang terjadi secara sosial budaya. Suatu pola hubungan yang mengakui
adanya perbedaan ras dalam masyarakat, tetapi tidak memberikan makna penting
pada perbedaan ras tersebut.
Menurut pandangan para penganut fungsionalisme structural, system
social senantiasa terintegrasi di atas dua landasan berikut: (1)Suatu
masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya consensus di antara
sebagian besar anggota masyarakat tentang nilai-nilai kemasyarakatan yang
bersifat fundamental. (2)Masyarakat terintegrasi karena berbagai anggota
masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan social
(cross-cutting affiliations).
Suatu integrasi sosial di perlukan agar masyarakat tidak bubar
meskipun menghadapi berbagai tantangan, baik merupa tantangan fisik maupun
konflik yang terjadi secara sosial budaya.Penganut konflik berpendapat bahwa
masyarakat terintegtrasi atas paksaan dan karena adanya saling ketergantungan
di antara berbagai kelompok.
Syarat-Syarat Integrasi Sosial
Integrasi social akan terbentuk di masyarakat apabila sebagian
besar anggota masyarakat tersebut memiliki kesepakatan tentang batas-batas
territorial dari suatu wilayah atau Negara tempat mereka tinggal.
Selain itu, sebagian besar masyarakat tersebut bersepakat mengenai
struktur kemasyarakatan yang di bangun, termasuk nilai-nilai, norma-norma, dan
lebih tinggi lagi adalah pranata-pranata sosisal yang berlaku dalam
masyarakatnya, guna mempertahankan keberadaan masyarakat tersebut. Selain itu,
karakteristik yang di bentuk sekaligus manandai batas dan corak masyarakatnya.
Menurut William F. Ogburn da Mayer Nimkoff, syarat berhasilnya suatu integrasi
social adalah:
Anggota-anggota masyarakat merasa bahwa mereka berhasil saling
mengisi kebutuhan-kebutuhan satu dengan yang lainnya. Hal ini berarti kebutuhan
fisik berupa sandang dan pangan serta kebutuhan sosialnya dapat di penuhi oleh
budayanya. Terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan ini menyebabkan masyarakat perlu
saling menjaga keterikatan antara satu dengan lainnya. Masyarakat berhasil
menciptakan kesepakatan (consensus) bersama mengenai norma-norma dan
nilai-nilai social yang di lestarikan dan di jadikan pedoman dalam berinteraksi
satu dengan yang lainnya, termasuk menyepakati hal-hal yang di larag menurut
kebudayaannya.
Norma-norma dan nilai social itu berlaku cukup lama dan di jalankan
secara konsisten serta tidak mengalami perubahan sehingga dapat menjadi aturan
baku dalam melangsungkan proses interaksi social. kesepakatan tentang
batas-batas teritorial, nilai-nilai, norma-norma, dan pranata-pranata sosial.
Bentuk Integrasi Sosial terbagi menjadi 2 yaitu :
1)
Asimilasi
: pembauran kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan
asli.
2)
Akulturasi
: penerimaan sebagian unsur-unsur asing tanpa menghilangkan kebudayaan asli.
Integrasi sosial akan terbentuk apabila sebagian besar masyarakat
memiliki kesepakatan tentang batas-batas teritorial, nilai-nilai, norma-norma,
dan pranata-pranata sosial.
Faktor-Faktor Pendorong Integrasi:
Faktor Internal terdiri dari (kesadaran diri sebagai makhluk sosial,
tuntutan kebutuhandan jiwa dan semangat gotong royong)
Faktor External terdiri dari :
Ø tuntutan perkembangan zaman,
Ø persamaan kebudayaan
Ø terbukanya kesempatan berpartisipasi dalam kehidupan bersama
Ø persaman visi, misi, dan
tujuan
Ø sikap toleransi
Ø adanya kosensus nilai
Ø adanya tantangan dari luar
b.
Integrasi Nasional
Istilah integrasi nasional berasal dari dua kata yaitu integrasi
dan nasional. Istilah integrasi mempunya arti pembaruan/penyatuan sehingga
menjadi kesatuan yang utuh/bulat. Istilah nasional mempunyai pengertian
kebangsaan, bersifat bangsa sendiri, meliputi suatu bangsa seperti cita - cita
nasional, tarian nasional, perusahaan nasional(kamus besar bahasa indonesia :
1989 dalam suhady 2006 : 36). Hal - hal yang menyangkut bangsa dapat berupa
adat istiadat, suku, warna kulit, keturunan, agama, budaya, wilayah/daerah, dan
sebagainya.[11]
Sehubungan dengan penjelesan kedua istilah di atas maka integrasi
nasional identik dengan integrasi bangsa yang mempunyai pengertian suatu proses
penyatuan atau pembaruan berbagai aspek sosial budaya kedalam kesatuan wilayah
dan pembukaan identitas nasional atau bangsa(kamus besar bahasa indonesia :
1989 dalam suhady 2006 : 36-37) yang harus dapat menjamin terwujudnya
keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam mencapai tujuan bersama sebagai
suatu bangsa. Integrasi nasional sebagai suatu konsep dalam kaitan dengan
wawasan kebangsaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berlandaskan pada
aliran pemikiran/paham integralistik yang dicetuskan oleh G.W.F Hegl (1770-1831
dalam suhady 2006:38) yang berhubungan dengan paham idealisme untuk mengenal
dan memahami sesuatu harus dicari kaitannya dengan yang lain dan untuk mengenal
manusia harus dicari dikaitkan dengan yang lain dan untuk mengenal manusia
harus dikaitkan dengan masyarakat di sekitarnya dan untuk mengenal suatu
masyarakat harus dicari kaitannya dengan proses multikulturalisme.
c.
Integrasi Sosial Dan Nasional Dalam Perspektif Antropologi
Mengapa dalam sebuah integrasi nasional di Indonesia membutuhkan
integrasi sosial? Jawabannya mudah saja, karena negara Indonesia sebagai negara
multikultur memerlukan sebuah keselarasan sosial dalam membangun sebuah
keselarasan nasional. Dalam hal ini, saya mengambil sudut pandang
multikultural, yakni sikap saling menghormati atau menjaga kestabilan hubungan
sosial dengan saling menghormati antar suku, etnis, atau agama.
Kerap kali kita menemukan kasus perang antar suku-etnis, ataupun
pembantaian atas nama agama, hal ini sebenarnya disebabkan oleh kurangnya rasa
toleransi serta berkembanganya sikap entosentrisme, yaitu melakukan pembenaran
atas diri sendiri dan menganggap suku, etnis, atau agama lain sebagai hal yang
rendah. Ini sesungguhnya yang amat salah. Hal tersebut tentunya akan menjauhkan
kita dari proses integrasi sosial yang kita idamkan.
Sebuah sikap multikultural akan menjaga kita untuk tetap hidup
dengan harmoni yang senantiasa terjaga. Sikap saling menghargai ini tentunya
akan menjaga sebuah hubungan sosial contohnya pada Kota Jakarta yang notabene
kota dengan berbagai macam suku, etnis, dan agama, ke arah kehidupan madani.
Dan oleh karena sikap multikulturalisme itulah integrasi sosial terwujud.
Kesempurnaan hubungan sosial yang dibalut oleh rasa saling menghargai.
Dari sebuah integrasi sosial, tentunya hal ini akan membentuk
sebuah inetgrasi nasional yang impelemntasinya akan menjaga keutuhan NKRI.
Integrasi dalam masyarakat yang telah tertata dan terjaga tentunya akan membuat
sebuah kehidupan bernegara akan mengalami tingkat yang sempurna dalam proses
kehiudpan sosial-budaya serta bidang lainya.
Dan sebuah akhir kata, dimana agar tiap-tiap indiidu masyarakat
dapat menjaga keutuhan NKRI, dengan memulai sikap multikultural yang tak lagi
melakukan pelecehan yang berbau SARA. Karena sebuah proses kehancuran bangsa
dimulai ketika rakyatnya tak lagi merasa bersatu dibawah naungan negara
tersebut.
C.Analisis
Analisis dari kelompok kami mengenai penjelasan konflik, konsensus,
legitimasi, dan integrasi adalah pertama, konflik merupakan sebuah proses yang
ada didalam masyarakat. Gejala umum yang terjadi karena interaksi sosial. Ada
banyak faktor yang menyebabkan konflik, perbedaan yang ada di masyarakat.
Setiap masyarakat pasti selalu bergerak dalam proses perubahan yang tidak
pernah berakhir. Salah satu penyebab konflik adalah perbedaan budaya, hal ini sangat cocok dengan
pembahasan dari mata kuliah ini yang memandang dari segi Antropologi mengenai
kebudayaan yang ada di dalam masyarakat. Perbedaan latar belakang budaya inilah
yang terkadang menimbulkan konflik, karena banyak pemikiran individu yang
dipengaruhi oleh kelompok-kelompoknya. Selain itu konflik mempunya bebarapa
fungsi yang menguntung masyarakat.
Kedua, kosensus dalam konflik adalah sebuah kesepakatan bersama
yang diambil untuk sebuah keputusan. Hal ini membentuk sebuah pemahaman
masyarakat dalam satu kesepakatan nilai dan norma serta aturan yang harus
ditaati. Seperti sebuah undang-undang.
Ketiga, legitimasi. Dalam pengertiannya legitimasi adalah kualitas
hukum hubungan antara pemimpin dengan kekuasaannya, dapat diartikan pula
seberapa jauh masyarakat mau menerima dan mengakui kewenangan, keputusan atau
kebijakan yang diambil seorang pemimpin. Jadi legitimasi menurut analisis kami,
merupakan kekuasaan yang dijalankan oleh seorang penguasa, dan cara penguasa
mendominasi masyarakat yang ada dibawahnya.
Terakhir tentang integrasi. Dalam integrasi sosial dan nasional
sangat dibutuhkan guna meredam dan menyatukan kembali unsur-unsur yang berbeda.
Suatu integrasi sosial diperlukan agar masyarakat tidak bubar meskipun
menghadapi berbagai tantangan, baik berupa tantangan fisik maupun konflik yang
terjadi secara sosial budaya. Sedangkan integrasi nasional identik dengan
integrasi bangsa yang mempunyai pengertian suatu proses penyatuan atau
pembaruan berbagai aspek sosial budaya kedalam kesatuan wilayah dan pembukaan
identitas nasional atau bangsa.
D.Kesimpulan
1.
Konflik
merupakan suatu gejala yang umumnya muncul sebagai akibat dari interaksi
manusia dalam hidup bermasyarakat. Konflik akan timbul ketika terjadi
persaingan baik individu maupun kelompok. Faktor penyebab konflik, perbedaan
individu, perbedaan latar belakang kebudayaan, perbedaan kepentingan dan perubahan nilai. Fungsi konflik (1)Konflik
berfungsi mencegah dan mempertahankan identitas dan batas-batas kelompok sosial
dan masyarakat, (2) Konflik dapat melenyapkan unsur-unsur yang memecah belah
dan menegakkan kembali persatuan, (3) Konflik dapat menciptakan jenis-jenis
interaksi yang baru diantara pihak-pihak bertentangan yang sebelumnya tidak ada,
(4) Konflik dapat mempersatukan orang-orang atau kelompok-kelompok yang tadinya
tidak saling berhubungan.
Konsensus menekankan pendapat bahwa bagian-bagian dari organisasi sosial,
nilai-nilai, norma-norma, peranan-peranan, dan lembaga-lembaga (institusi)
adalah kesatuan yang erat secara keseluruhan. Masyarakat mempunyai tujuan yang
sama sepakat tentang apa yang benar dan apa yang tidak benar, dan digunakan
dalam membantu perangkat kegiatan satu sama lain. Antopologi menganalisi
konflik dari segi manusianya.
2. Legitimasi berasal dari bahasa inggris yaitu legitimize yang berarti adalah
kualitas hukum yang berbasis pada penerimaan putusan dalam peradilan,dapat pula
diartikan seberapa jauh masyarakat mau menerima dan mengakui kewenangan, keputusan
atau kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpin. Max Weber menyatakan
pendapatnya bahwa terdapat tiga macam ‘legitimate domination’
yang menunjukkan dalam kondisi seperti apa sehingga seseorang atau sekelompok
orang mampu mendominasi sejumlah besar orang lainnya. Ketiga macam legitimate
domination tersebut adalah: (a) traditional domination, (b) charismatic
domination, dan (c) legal-rational domination.
3. Integrasi berasal dari bahasa inggris “integration” yang berarti
kesempurnaan atau keseluruhan. integrasi sosial dimaknai sebagai proses
penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan
masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memilki
keserasian fungsi. integrasi nasional identik dengan integrasi bangsa yang
mempunyai pengertian suatu proses penyatuan atau pembaruan berbagai aspek
sosial budaya kedalam kesatuan wilayah dan pembukaan identitas nasional atau
bangsa.
Daftar Rujukan
1.
id.wikipedia.org/wiki/Konflik
2. id.wikipedia.org/wiki/Legitimasi
5. Dadang Supardan.PENGANTAR ILMU
SOSIAL Sebuah Kajian Pendekatan Struktural (Jakarta: Bumi Aksara, 2007)hal:
126
6. Ritzer, G. dan Goodman, DJ., Teori
Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana, 2003. Hal 45
8. Prof.Dr.Damsar. Pengantar
Sosiologi Politik. (Jakarta: Predana Media Group.2010)hal.68
[1] id.wikipedia.org/wiki/Konflik
[2]
Dadang
Supardan.PENGANTAR ILMU SOSIAL Sebuah Kajian Pendekatan Struktural (Jakarta:
Bumi Aksara, 2007)hal: 126
[3]
Ibid hal:128
[4]id.wikipedia.org/wiki/konsensus
[5] Ritzer, G. dan Goodman, DJ., Teori
Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana, 2003. Hal 45
[6] http://setabasri01.blogspot.com/2012/05/pendekatan-pendekatan-dalam.html
[8]
Prof.Dr.Damsar.
Pengantar Sosiologi Politik. (Jakarta: Predana Media Group.2010)hal.68
[9]
Achmad Fedyani
Saifudin. Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma
[11] http://theperspectiveofanthropology.wordpress.com/2011/02/10/integrasi-sosial-dan-integrasi-nasional-dalam-perspektif-antropologi/