BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Alhamdulillah, puji
syukur saya haturkan kehadirat ALLAH SWT. Dengan nikmat, rahmat, serta hidayah-Nya. Kami dari
kelas P.IPS/B dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “Fokus Analisis, Klasifikasi Kenyataan Sosial, dan Perspektif Dominan
dalam Sosiologi” untuk memenuhi tugas mata kuliah teori sosiologi di semester 4
dari Ibu Ni’matuz Zuhroh,M.Si serta kami ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak
yang telah terkait dalam pembuatan makalah ini dan tak lupa kepada teman-teman
atas kejasamanya. Dalam makalah ini kami menjelaskan tentang teori sosiologi
dan perspektif dominan di dalamnya. Mungkin
dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum kami ketahui.Maka
dari itu kami mohon saran & kritik dari teman-teman maupun dosen, demi
tercapainya makalah yang sempurna.
Perubahan
masyarakat yang begitu cepat menimbulkan berbagai dampak dari kemajuan dalam
science dan teknologi, membawa akibat positif dan negatif bagi kehidupan.
Berbagai teori telah dikemukakan oleh para ahli sosiologi berkaitan dengan
perilaku dan fenomena pada masyarakat. Perhatian utamanya adalah dalam hubungan
sosial, perilaku manusia seperti diwujudkan sendiri dalam perkembangan fungsi
dari kelompok dan institusi. Untuk memudahkan pemahaman fokus kajian dalam
sosiologi cakupannya dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu sosiologi makro
dan mikro.
Makalah
ini membahas tentang teori-teori dalam sosiologi makro. Menjelaskan tentang
teori yang telah dikemukakan oleh para ahli sosiologi. Dengan demikian, jelas
dalam sosiologi makro tersebut struktur kajian masyarakatnya berskala luas dan
mempertanyakan bagaimana mereka berhubungan satu sama lain.
2.
Rumusan Masalah
a.
Bagaimana penjelaskan
fokus kajian analisis dalam sosiologi ?
b.
Bagaimana penjelasan
klasifikasi kenyataan sosial?
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Fokus
Kajian Analisis dalam Sosiologi
Untuk
memudahkan pemahaman fokus kajian dalam sosiologi, menurut sosiolog[1]
cakupannya dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sosiologi makro dan sosiologi
mikro. Sosiologo makro sebagai”... the student of the large scale
structures of society and how they relate to one another”.[2],
jelas dalam sosiologi makro tersebut struktur kajian masyarakatnya bersekala
luas dan mempertanyakan bagaimana mereka berhubungan satu sama lain.
Sosiologi
mikro ini adalah versi yang sangat riuh dan sangat banyak menggunakan berbagai
konsep, teori, dan temuan dari dua ilmu sosial yang berbeda, yaitu antropologi
dan sejarah.[3]
Selanjutnya, sunderson mengemukakan bahwa paling tidak terdapat enam strategi
teoritis berkaitan dengan luasnya kajian sosiologi makro.
- Materialisme, mengasumsikan bahwa kondisi- kondisi material dari eksistensi manusia, seperti tingkat teknologi, pola kehidupan ekonomi, dan ciri- ciri lingkungan alamiah merupakan penyebab yang menentukan pengorganisasian masyarakat manusia dan berbagai perubahan penting yang terjadi didalamnya.
- Idealisme, menegaskan signifikansi pikiran manusia dan kreasinya, seperti pemikiran, gagasan, kode simbolik, bahasa, dan seterusnya dalam menentukan pengorganisasian masyarakat dan perubahan sosial.
- Fungsionalisme, berusaha menjelaskan ciri- ciri dasar kehidupan manusia sebagai respons terhadap kebutuhan dan permintaan masyarakat sebagai sistem sosial yang pernah tetap. Mengasumsikan bahwa trait- trait sosial yang ada memberikan kontribusi yang penting dalam mempertahankan kehidupan dan kesejahteraan seluruh masyarakat atau subsistem utamanya.
- Strategi konflik, memandang masyarakat sebagai arena dimana masing- masing individu dan kelompok bertarung untuk memenuhi berbagai kebutuhan dan keinginannya. Konflik dan pertentangan menimbulkan dominasi dan subordinasi, kelompok yang dominan memanfaatkan kekuasaan mereka untuk menentukan struktur masyarakat sehingga menguntungkan bagi kelompok- kelompok mereka sendiri. Teori konflik Marxian adalah teori konflik materialis dan menekankan pertentangan kelas, sementara teori konflik Weberian lebih luas sifatnya dan menekankan sifat multidimensional dari konflik dan dominasi.
- Strategi Evolusioner, memutuskan perhatian kepada upaya mendeskripsikan dan menjelaskan transformasi sosial jangka panjang, yang diasumsikan akan memperlihatkan arah transformasi untuk seluruh perubahan dalam masyarakat manusia. Teori- teori fungsionalis evolusioner memusatkan perhatian kepada kompleksitas masyarakat yang selalu berkembang. Teori- teori evolusi materialis menekankan evolusi sosial yang merespons terhadap kondisi- kondisi material yang berubah, dan bersikap spektis terhadap persamaan evolusi dan kemajuan.
- Strategi elektisisme, memberikan toleransi kepada semua sudut pandang yang ada, yang dalam prakteknya berarti menggunakan bagian- bagian dari setiap yang ada untuk menjelaskan banyak keadaan kehidupan sosial. Klaim bahwa kenyataan tertentu harus dijelas dengan satu pendekatan yang berbeda[4].
“...The
study of the individual as social being[5]”.
Dalam arti lebih memfokuskan pada kajian individual sebagai makhluk sosial.
Sosiologi mikro tersebut sering disebut sebagai the sosiology of everiday
life[6]
yang bersifat mikro, khususnya dalam keluarga.
Para
ahli sosiologi makro melihat unit masyarakat yang besar- besar, seperti
organisasi, intitusi, masyarakat, dan negara- negara. Memerhatikan proses-
proses sosial, seperti urbanisasi dan sistem kepercayaan, seperti kapitalisme
dan sosialisme. Para ahli sosiologi makro memegang dasar- dasar pendapat
tertentu tentang tingkah laku manusia. Mereka memiliki perhatian bahwa kelompok
itu adalah riil dalam diri mereka sendiri dan tidak dapat direduksi menjadi
individu yang tersusun atas mereka. Mereka cenderung untuk melihat perilaku
individu sebagai produk dari struktur sosial dan memaksa bahwa hal itu bukanlah
milik individu yang membuatnya. Pendapat seperti itu memperkecil pendapat
berkemauan bebas dan menekankan kekuasaan masyarakat diatas pemikiran dan
perilaku individu.
Para
ahli sosiologi mikro melihat orang- orang seperti lebih memiliki kebebasan
dalam tindakan, lebih bebas dari batasan masyarakat, dari pada yang dilakukan
para ahli sosiologi makro. Dengan kata lain, sosiologi mikro tidak melihat
masyarakat sebagai yang mengendalikan kekuatanya. Mereka menekankan bahwa
orang- orang itu selalu sedang dalam proses menciptakan dan mengubah dunia
sosial mereka. Mereka adalah seperti tertarik akan orang- orang yang berpikir
dan merasakan, seperti bagaimana mereka bertindak. Para ahli sosiologi mikro
menyelidiki motif- motif, harapan- harapan, tujuan mereka, serta cara mereka
menyikapi merasakan dunia itu.
Metode
riset sosiologi makro dan sosiologi mikro pun sangat berbeda. Sebab mereka
tertarik akan pikiran dan perasaan orang- orang, sosiologi mikro sering
menggunakan metode kualitatif. Metode ini adalah untuk mendisain dan mengamati
orang- orang dalam situasi yang naturalistik, sedangkan sosiologi makro menjadi
lebih memungkinkan untuk menggunakan metode kuantitatif, seperti halnya secara
hati- hati dikontrol melalui kajian statistik.
Kita
dapat mengilustrasikan fokus sosiologi mikro dengan pergi kembali kekampus
perguruan tinggi kita. Memandang kampus itu dalam kaitanya dengan tindakan
kooperatif maupun konflik, para ahli sosiologi mikro akan memutuskan pada
pertanyaan- pertanyaan, bagaimana para mahasiswa tingkat pertama merasakan
kampus itu ketika mereka pertama tiba? Apa yang perguruan tinggi lakukan kepada
para mahasiswa? Dan bagaimana mengembangkan intrraksi sosial di asramanya? Hal
itu para ahli sosiologi mikro tidak demikian banyak terkait dengan tindakan dan
organisasi kampus, seperti halnya dengan kampus dipandang oleh para mahasiswa,
staf pengajar, dan para administratifnya. Para ahli sosiologi mikro tidak
berasumsi bahwa suatu kampus adalah sesuatu organisasi tertentu untuk para
anggotanya harus menyesuaikan perilaku mereka sendiri. Melainkan, mereka
melihat organisasi kampus itu sebagai sesuatu yang meningkatkan dan mengubah
melalui interaksi peserta.
B. Klasifikasi
Kenyataan Sosial
Sedangkan
untuk memudahkan pemahaman dalam mengklasifikasikan berbagai tingkatan dalam
kenyataan sosial, dapat dibedakan menjadi 4(empat) tingkatan, yaitu tingkat
budaya, individu, interpersonal, dan struktur sosial[7].
- Tingkat Budaya
Kebudayaan
merupakan keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni
moral, hukum, kebiasaan, dan kemampuan- kemampuan, serta tata cara lainnya yang
diperoleh manusia sebagai seorang anggota masyarakat[8].
Dengan demikian, fokus kajiannya meliputi nilai, simbol, norma, dan pandangan
hidup umu yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat. Sehingga dalam arti
luas, kebudayaan terdiri atas produk- produk tindakan dan interaksi manusia,
termasuk benda- benda materi maupun nonmateri.
- Tingkat Individual
Tingkat
ini menempatkan individu sebagai pusat perhatian untuk analisis utama. Sebagai
contoh Weber sangat tertarik pada masalah- masalah sosiologis yang luas
mengenai struktur sosial dan kebudayaan tetapi dia melihat bahwa kenyataan
sosial secara mendasar terdiri atas individu- invidu dan tindakan- tindakan
sosialnya yang bermakna[9].
Weber mendefinisikan sosiologi sebagai:
... suatu ilmu pengetahuan yang
berusaha memperoleh pemahaman interpretatif mengenai tindakan sosial agar
dengan demikian dapat sampai kesuatu penjelasan kausal mengenai arah dan akbat-
akibatnya. Dengan tindakan dimaksudkan semua perilaku manusia, apabila atau
sepanjang individu yang bertindak itu memberikan arti subjektif kepada tindakan
itu... Tindakan itu disebut sosial karena arti subjektif tadi dihubungkan
dengannya oeh invidu yang bertindak,... Memengaruhi perilaku orang lain dan
karena itu diarahkan ketujuannya.
Penjelasan
dan tekanan pendirian Weber tersebut berbeda dengan pendirian Durkheim yang
mengemukakan bahwa sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari fakta sosial yang
bersifat eksternal, memaksa individu, dan bahwa fakta sosial harus dijelaskan
dengan fakta sosial lainnya. Dalam hal ini Durkheim melihat kenyataan sosial
sebagai sesuatu yang mengatasi individu, berada pada suatu tingkat yang bebas,
sedangkan Weber melihat bahwa kenyataan sosial sebagai sesuatu yang didasarkan
pada motivasi individu dan tindakan- tindakan sosial. Adanya perbedaan
pandangan antara Weber dan Durkheim tersebut dapat dipahami karena dilihat dari
persepektif kenyataan sosial yang berlawanan.
Perlu
diketahui bahwa dunia budaya tidaklah dipandang sebagai sesuatu yang sesuai
dengan pemahaman yang dimengerti menurut hukum- hukum ilmu alam saja yang
memiliki hubungan kausal. Kenyataannya , dunia budaya dilihatnya sebagai
sesuatu dunia kebebasan dan dalam hubungannya dengan pengalaman serta pemahaman
internal diman arti- arti subjektif itu ditangkap. Selalu penetahuan objektif
tentan tipe yang dicari dalm ilmu- ilmu alam tidaklah cukup. Pandangan yang menempatkan ilmu sosial budaya itu
bersifat serba relatif, dikembangkan oleh pembimbing Weber, seorang sejarawan
budaya yang bernama Wilhem Dilthey. Pemgaruh tokoh filsuf historisme tersebut
demikian kuat pada pribadi Weber. Denagan demikian wajar, jika terdapat
perbedaan mendasar jika dibandingkan Durkheim yang dipengaruhi Comte bersifat
positivistik.
- Tingkat Interpersonal
Kenyataan
sosial pada tingkat ini meliputi interaksi antara individu dengan individu
maupun dengan kelompok, dalam arti yang berhubungan dengan komunikasi simbolis,
penyesuaian timbal balik, negosiasi tindakan yang saling tergantung, kerja
sama, maupun konflik. Dua persepektif teoretis utama yang menekankan tingkatan
ini adalah teori interaksionisme simbolik dan teori pertukaran[10].
George
Herbett Mead yang merintis teori interaksi simbolik tersebut, pada dasarnya
teori tersebut berhubungan dengan media simbol, dimana kemampuan manusia sangat
tinggi untuk menciptakan dan memanipulasi simbol- simbol. Kemapuan tersebut
sangat diperlukan untuk berkomunikasi antar pribadi dan pemikiran- pemikiran
subjektif lainnya. Disinilah penekanan para ahli teori interaksi simbol
menegaskan bahwa kenyataan sosial yang muncul dari interaksi simbol menegaskan
bahwa kenyataan sosial yang muncul dari interaksi dilihatnya sebagai suatu
kenyataan yang dibangun dan bersifat simbolik[11].
Pandangan
Mead, persepektifnya merupakan behaviorisme sosial yang merupakan perluasan
dari bahivorisme Watson. Dalam usaha menegakkan psikologi sebagai suatu dasar
yang ilmiah dan kokoh, Watson secara tekun memusatkan perhatiannya pad perilaku
nyata(over behavior) yang dapat diukur melalui gerak- gerak refleks yang
dipelajari atau yang sudah menjadi kebiasaan. Namun dalam pandangan Mead
penelitian Watson tersebut tidaklah lengkap. Mead tidak sependapat jika
penelaah perilaku manusia hanya berupa stimilus response, atau gerak-
gerak refleks yang dipelajari atau hal itu menurutnya adalah dangkal. Pikiran
atau kesadaran muncul dalam proses tindakan. Namun demikian, individu- individu
tidak bertindak sebagai organisme yang bersaing. Sebaliknya, tindakan- tindakan
mereka saling berhubungan dan saling tergantung. Proses komunikasi dan
interaksi dan interaksi dimana individu- individu saling memengaruhi dan saling
menyesuaikan diri.
Menurut
Homans ada tiga konsep utama dalam kelompok kecil, yaitu kegiatan, interaksi,
dan perasaan(sentiment). Kegiatan adalah perilaku aktual yang digambarkan pada
pada tingkat yang sangat konkret. Individu- individu dan kelompok-
kelompok dapat dibandingkan menurut
persamaan dan perbedaan dalam kegiatan- kegiatan mereka, dan dalam tingkat
penampilan dari berbagai kegiatan itu. Interaksi adalah kegiatan apa saja yang
merangsang atau dirangsang oleh kegiatan orang lain. Individu- individu atau
kelompok dapat dibandingkan menurut frekuensi interaksi menurut siapa yang
mulai interaksi dengan siapa, menurut saluran- saluran dimana interaksi itu
terjadi. Sedangan perasaan, tidak hanya didefinisikan sebagai suatu keadaan
subjektif(kebiasaan penafsiran atas akal sehat), tetapi sebagai suatu tanda
bersifat eksternal atau yang bersifat perilaku yang menunjukkan suatu keadaan
internal, seperti kelelahan, kelaparan, reaksi positif atau negatif trhadap
suatu peristiwa, dan sebagainya.
Ketiga
elemen ini(kegiatan, interaksi, dan perasaan) membentuk suatu keseluruhan yang
terorganisasi dan berhubungan secara timbal balik[12].
Artinya, kegiatan akan memengaruhi dan dipengaruhi oleh pola- pola interaksi
dan perasaan- perasaan. Interaksi akan memengaruhi dan dipengaruhi oleh kegiatn
dan perasaan, perasaan akan berhubungan timbal balik dengan kegiatan dan
interaksi. Jika salah satu berubah maka kedua lainnya mungkin akan berubah.
- Tingkat Struktur Sosial
Jika
dibanding dengan sebelumnya, tingkatan struktur sosial ini jauh lebih abstrak.
Perhatiannya bukan pada individu- individu, tindakan- tindakan, serta interaksi
sosial, melainkan pada pola- pola tindakan dan jaringan- jaringan interaksi
yang disimpulkan dari pengamatan terhadap keteraturan dan keseragaman yang
terdapat dalam waktu dan ruang tertentu. Tekanannya terletak pada struktur-
struktur sosial yang kecil maupun besar. Dua aliran utama yang berhubungan
dengan tingkatan ini adalah teori fungsional dan teori konflik.
- Teori Fungsional
Teori
yang terkenal ini diantaranya digagas oleh Talcott Parsons yang dilahirkan
tahun 1902 di Kolese Amherst. Karya Parsons mula- mula dimaksudkan untuk
mengambangkan suatu model tindakan sosial yang bersifat voluntaristik yang
didasarkan pada sintesisnya dari teori Marshall, Pareto, Durkheim, dan Weber.
Pada dasarnya mereka suda menegakkan landasan untuk mendamaikan pandangan-
pandangan yang bertentangan antara positivisme dan idealisme. Suatu prinsip
utama dalam teori Parsons tersebut bahwa tindakan sosial itu diarahkan pada
tujuannya yang normatif. Bahwa masyarakat dilihatnya sebagai suatu sistem,
bukan elemen- elemen yang tidak terintegrasikan, walupun integrasi bangsa
bangsa yang sempurna tidak akan tercapai, namun secara fundamental sistem
sosial selalu cenderung bergerak kearah equilibrium yang bersifat dinamis.
Kemudian Persons dan kawan- kawannnya memeperluas strategi analisis
fungsionalisnya sehingga dapat diterpkan pad sistem mikro maupun makro.
Hasilnya adalah model A-G-I-L(Adaptation-Goal-Integration-Latent Pattern
Maintenance)
Teori
Fungsional Parsons memfokuskan pada mekanisme yang meningkatkan stabilitas dan
keteraturan dalam sistem sosial, terutama menyangkut konsep keseimbangan
sosial, yakni kelangsungan pola- pola sosial, bukanlah sesuatu yang sulit dan
problematis dan tidak membutuhkan penjelasan. Akhirnya, Parsons mengalihkan
mengalihkan perhatiannya pada suatu analisis mengenai perubahan historis yang
besar dengan mengembangkan suatu model evolusi yang sangat menekankan proses
diferensiasi struktural. Perubahan yang teratur dan normatif tersebut yang
menjamin kemajuan sosial selanjutnya.
- Teori Konflik
Teori
ini bukanlah suatu teori yang terpadu ataupun komprehensif. Mungkin karena
alasan inilah teori konflik kedengarannya kurang begitu cocok untuk diangkat
sejajar dengan teori- teori sosiologi lainnya. Fokus kajiannya adalah mengenal
dan menganalisis kehadiran konflik dalam kehidupan sosial, sebab, dan
bentuknya, serta akibatnya dalam perubahan sosial. Namun, sejak tahun 1950-an
teori konflik menjadi populer sebagai oposisi terhadap Teori Fungsional Parsons
yang dianggap berat sebelah pada konsesus nilai, integrasi, dan solidaritas.
Menganggap pendekatan Parsons itu terlalu bersifat normatif, padahal dalam
sistem tidak hanya tertib normatif tetapi juga substratum yang melahirkan
konflik- konflik. Keduanya saling berpadu bergantian antara stabilitas dan
insabilitas[13].
Pengabaian
kenyataan- kenyataan diatas pendekatan fungsional dapat dipandang sebagai
pendekatan reaksionaer, dan mengabaikan realita sosial yang sebenarnya.
Disinalah teori konflik mengusung beberapa asumsi yang dikembangkannya, antara
lain (1) setiap masyarakat senantias berada didalam proses perubahan yang tidak
pernah berakhir, dengan perkataan lain perubahan sosial merupakan gejala yang
merekat pada setiap masyarakat (2) setiap masyarakat mengandung konflik-
konflik didalam dirinya, atau dengan perkataan lain konflik adalah gejala yang
merekat pada masyarakat[14].
Para
ahli teori konflik mengakui kebesaran Marx sebagai pionir dan mewarikan teori ini
hanya saja Ralf Dahrendorf, Lewis Coser, dan Randall Collins, yang dikenal
pendukung teori konflik non-Marxis, memiliki pandangan yang berbeda.
Pendapat
penting dari tokoh teori konflik non- Marxis lainnya, dikemukakan oleh Collins
dalam karyanya Conflict Sociology: Toward an Explanatory Science.
Sesungguh model konfliknya ini lebih
komprehensif dari sebelumnya karena kajian dia tidak hanya membatasi pada
konflik ekonomi maupun konflik organisasi birokrasi. Modelnya ini dapat
diterapkan pada bidang- bidang institusional apa saja, seperti keluarga,
organisasi agama, komunitas intelektual ilmiah, politik, dan militer. Beberapa
pernyataan yang terkenal adalah:
Terciptanya
solidaritas emosional tidak menggantikan konflik, melainkan merupakan salah
satu alat utama yang digunakan dalam konflik. Upacara- upacara emosional dapat
digunakan untuk untuk dominasi dalam suatu kelompok atau organisasi, upacara-
upacara itu merupakan wahana dengan persekutuan yang dibentuk dalam perjuangan
melawan kelompok- kelompok lain, upacara- upacara itu dapat digunakan untuk
menentukan hierarki prestise status dimana beberapa kelompok mendominasi
kelompok lainnya dengan memberikan sesuatu yang ideal untuk menyamakan kondisi-
kondisi orang bawahan itu[15].
Faktor
Penyebab Konflik
1).Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan
perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
2).Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk
pribadi-pribadi yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan
pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang
berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat
memicu konflik.
3).Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok. Manusia
memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda.
Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok
memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal
yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya
perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat
menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan
mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang
pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun
atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian
kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi
pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus
dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu
kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di
masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang
politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok
atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh
dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya.
Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan
pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta
volume usaha mereka.
4).Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam
masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
Jenis-Jenis Konflik
Menurut
Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 4 macam :
• konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara
peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role))
• Konflik
antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
• Konflik
kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
• Koonflik
antar satuan nasional (kampanye, perang saudara)
• Konflik
antar atau tidak antar agama
• Konflik
antar politik.
Akibat
Konflik
Hasil dari
sebuah konflik adalah sebagai berikut :
• meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami
konflik dengan kelompok lain.
• keretakan
hubungan antar kelompok yang bertikai.
• perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam,
benci, saling curiga dll.
• kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
• dominasi
bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat
memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi;
pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan
pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut:
• Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan
percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
• Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan
percobaan untuk “memenangkan” konflik. Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak
lain hanya akan menghasilkan percobaan yang memberikan “kemenangan” konflik
bagi pihak tersebut
Stuktural
Konflik dan Implikasinya Terhadap Pendidikan
Memahami Marx menegani startifikasi sosial tidak lain harus melihat teori
klas yaitu “Sejarah peradaban umat manusia dari dahulu sampai sekarang adalah
sejarah pertikaian dan konflik antar klas.” Marx selalu melihat bahwa hubungan
manusia terjadi dari adanya hubungan posisi masing-masing terhadap sarana
produksi. Marx berkeyakinan bahwa posisi dalam struktur sangat mendorong dalam
upaya memperbaiki nasib mereka dengan ditunjukkan adanya klas borjuis dan klas
buruh.
Dari penjelasan tersebut menurut sosiolog pendidikan beraliran Marxian
menawarkan bahwa masalah pertentangan klas menjadi objek kajia (pendidikan).
Dari mereka ada poin-poin yang diajukan, pertama bahwa pendidikan difokuskan
pada perubahan yang dibangun dan tumbuh tanpa adanya tekanan dari klas dominan
atau penguasa, yaitu dengan perubahan akan penyadaran atas klas dominan. Kedua
pendidikan diarahkan sebagai arena perjuangan klas, mengajarkan pembebasan,
kesadaran klas, dan perlawanan terhadap kaum borjuis. Masyarakat Pendidikan
Prioritas Kebijakan Strategi Perencanaan
1. Konflik
dan eksploitasi
2. Kekuasaan
dan kekuatan untuk
3. Memelihara
tertib sosial
4.
Perjuanagan terus menerus antara kelompok dominan dan subordinat
5. Pendidikan
sebagai kepanjangan kekuatan kelompok dominan
6. Memutuskan
hubungan antara organisasi /struktur sekolah dan kekuatan ekonomi
7. Pendidikan
terciptakan terti social yang hirarkis
8.
Pengembagan kesadaran dan perlawanan diajarkan di sekolah
9. Ubah
struktur sekolah/ kerja/ masyarakat
10. Bebaskan
kurikulum dari ideologi dominas
11.
Kembangkan pendidikan sebagai embebasan
Dalam teori konflik ini begitu jelas dominasi kaum Borjuis pemegang
kendali dan kebijakan, mereka dengan gampang memperoleh status sosial dalam
masyarakat. Sebagai contoh ditahun 90-an ada sebuah penelitian yang
menyimpulkan bahwa selama tahun 90-an kebelakang teryata pendidikan ditentukan
o leh status ekonomi para orangtua. Sehingga paling tidak fakta bahwa teori
konflik berlaku di Indonesia.
Di dalam buku “Sosiologi Pendidikan” juga disebutkan bahwa kelas bawah
tidak akan sama memperoleh pendidikan di banding dengan klas menegah dan atas,
sebagai misal pembelajaran yang pernah dimiliki oleh klas tengah tidak akan
pernah dimenegrti oleh klas bawah, karna adaya perbedaan pengalaman yang dia
daaptkan. Kedua, dalam realitasnya klas bawah tidak akan semudah memperoleh
pendidikan dibading klas menengah yang dengan gampang tanpa alih-alih taggung
jawab lain dalam mempeolehnya. Ketiga, realitas Negara bahwa segala pengetahuan
ditentukan oleh penguasa, karenanya klas proletar yang notabenya sebagai objek
dari kebijakan mendapatkan keilmuan tidak sesuai dengan fakta yang ada,
sekaligus merupakan bukan termasuk bukan bagain dari keinginan siswa dan
keahliannya.
Kebijaksanaan Sosial Masyarakat dalam Perspektif Struktural Konflik
Upaya-upaya masyarakat dalam meredam benturan di dalam masyarakatnya seringkali dihargai sebagai sebuah kebijaksanaan yang harus dihargai. Seringkali muncul asumsi bahwa di dalam setiap kebijaksanaan yang dibuat terdapat nilai-nilai gotong royong dan kekeluargaan dalam masyarakat dan oleh karenanya hal tersebut selayaknya dilestarikan. Namun tersirat, di dalam dinamika kehidupan masyarakat seringkali ditemui fakta adanya gurat-gurat kekecewaan dari mereka yang terpangkas hak-haknya. Meski secara realita tidak menunjukkan adanya sebuah masalah, namun dalam realita seringkali muncul lisan yang menyinggung ketidakpuasan terhadap apa yang diperoleh. Kondisi tersebut menempatkan mereka berada dalam posisi berlawanan, berhadap-hadapan dengan konsensus masyarakat secara keseluruhan.
Upaya-upaya masyarakat dalam meredam benturan di dalam masyarakatnya seringkali dihargai sebagai sebuah kebijaksanaan yang harus dihargai. Seringkali muncul asumsi bahwa di dalam setiap kebijaksanaan yang dibuat terdapat nilai-nilai gotong royong dan kekeluargaan dalam masyarakat dan oleh karenanya hal tersebut selayaknya dilestarikan. Namun tersirat, di dalam dinamika kehidupan masyarakat seringkali ditemui fakta adanya gurat-gurat kekecewaan dari mereka yang terpangkas hak-haknya. Meski secara realita tidak menunjukkan adanya sebuah masalah, namun dalam realita seringkali muncul lisan yang menyinggung ketidakpuasan terhadap apa yang diperoleh. Kondisi tersebut menempatkan mereka berada dalam posisi berlawanan, berhadap-hadapan dengan konsensus masyarakat secara keseluruhan.
Keadaan demikian dapat dimaknai dalam dua hal. Pertama, potensi konflik
sudah masuk dalam dinamika kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut dapat dilihat
dari perubahan keadaan yang disebut “normal” dalam masyarakat, kualitas
hubungan antar masyarakat menurun dan muncul pengelompokan-pengelompokan dalam
masyarakat. Makna kedua adalah telah terjadi konflik laten. Kelompok-kelompok
dalam masyarakat berdiri karena adanya pertentangan wacana dan pandangan dalam
melihat sebuah isu. Untuk memahami realitas tersebut menarik untuk membawanya
dalam bahasan strategi konflik guna merumuskan kebijaksanaan dalam arti yang
sebenarnya.
Pruitt and Rubin (2004) menyebutkan adanya lima stategi yang dapat
diambil untuk menyelesaikan konflik, yaitu contending (menyerang),yielding
(mengalah), problem solving, withdrawing(menarik diri) dan inaction(diam). Ketika
diambil sebagai kesepakatan, strategi apa yang diambil oleh masyarakat yang
seharusnya menerima bantuan dan oleh mereka yang memperjuangkan bantuan atas
nama keadilan dalam arti sempit? Contending dijelaskan sebagai sebuah usaha
memperjuangkan haknya dengan jalan memaksakan kehendak kepada pihak lain,
asumsinya ketika konflik berakhir hanya akan ada satu pemenang.
Yielding merupakan satu keputusan mengalah dalam sebuah konflik, namun
hal tersebut bukan berarti menyerah, melainkan mengulur waktu untuk memperoleh
sebuahproblem solving yang lebih menguntungkan bagi semua pihak. Withdrawing
daninaction berada dalam satu garis dimana salah satu pihak melakukan
penghentian dalam aksi, namun bedanya adalah strategi pertama bersifat
permanen, sementara yang kedua tetap membuka kemungkinan untuk mencari
alternatif pemecahan masalah. Dalam kasus distribusi bantuan, mereka yang
mendapatkan prioritas adalah orang yang tidak mampu secara material maupun
intelektual. Kondisi tersebut membatasi akses dan peluang mereka untuk berjuang
melalui caracontending. Asumsinya, wilayah diskusi dan penguasaan sumber daya
akan dikuasai oleh mereka yang mempunyai kemampuan material dan intelektual
lebih baik. Apalagi secara kuantitatif terdapat perbedaan yang signifikan
antara mereka yang seharusnya mendapatkan bantuan dengan mereka yang tidak
masuk dalam daftar penerima bantuan. Menarik diri atau diam juga bukan merupakan
pilihan karena menafikkan hak yang seharusnya mereka terima.
Problem solving pada akhirnya menjadi pilihan walau sebenarnya tidak
berjalan dengan adil bagi mereka. Penguasaan forum sebagaimana disebutkan
diatas pada akhirnya memaksa mereka untuk menerima keputusan yang “adil” untuk
memuaskan kepentingan semua pihak. Adanya gejolak laten yang muncul di
masyarakat hendaknya dipahami bahwa kesepakatan-kesepakatan yang muncul selama
ini seringkali merupakan bentuk serangan, strategicontending dari pihak-pihak yang
merasa dirugikan dengan kebijakan yang diperoleh pemerintah. Demi memperoleh
hak yang mereka inginkan, legitimasi forum warga digunakan untuk mengalahkan
penerima bantuan yang seharusnya.
Setiap kebijakan adalah pilihan untuk memperoleh tujuan tertentu. Dalam
kasus distribusi bantuan, adanya prioritas merupakan bentuk yang dipilih karena
terdapat disparitas dalam kerugian. Kebijaksanaan dalam arti yang sebenarnya
adalah sikap menerima atas pilihan-pilihan kebijakan yang diambil oleh
pemerintah. Diimplementasikan dalam tindakan yang lebih jauh adalah secara
bersama-sama mengawasi kebijakan yang diambil tersebut agar tidak terdapat
penyelewengan di dalamnya. Tulisan ini masih merupakan sebuah abstraksi dari
banyaknya konflik yang tersimpan di dalam masyarakat. Dengan melihat setiap
gejolak yang terjadi hendaknya masyarakat lebih bijak menyikapi
tindakan-tindakan dan kepekakatan yang diambil. Konflik tidak selalu perlu
untuk dimaknai sebagai fenomena negatif, dan melakukan pengelolaan/managemen
konflik terkadang justru akan memberikan sebuah nilai positif bagi masyarakat.
Di dalam pengelolaan konflik terdapat dimensi pembelajaran dan kesadaran.
Hal tersebut dipengaruhi penekanan managemen pada proses yang dibangun, bukan
pada hasil yang ingin dicapai. Kesadaran paling utama yang muncul adalah
perubahan pandangan terhadap nilai-nilai keadilan dan memunculkan sifat anti
kekerasan. Keadilan, sebagai sebuah prinsip yang dijunjung tinggi oleh
masyarakat hendaknya dimaknai sebagai sebuah ketaatan pada komitmen dan aturan
main yang disepakati dalam penyelesaian permasalahan. Namun proses tersebut
harus bersifat tidak membelenggu, bahkan menekan kelompok masyarakat yang lain.
Harus bersifat melindungi, memberdayakan dan membebaskan kesadaran sosial tanpa
menghilangkan prinsip hukum untuk keadilan.
Dengan berbagai macam forum di masyarakat yang memungkinkan adanya
komunikasi rutin, diharapkan masyarakat akan terus terbiasa dalam sebuah dialog
yang mengedepankan perdamaian dan kemanusiaan. Kebijaksanaan masyarakat, sebagai
sebuah modal sosial pembangunan hendaknya tidak lagi dimanfaatkan sebagai
sarana memperoleh keuntungan sepihak dan mengalahkan nilai-nilai positif social
capital.
Kemudian jika ditinjau
dari perspektif dominan dalam sosiologi, dapat dibedakan menjadi empat model,
yakni (1) model struktural- fungsional,(2) model konflik, (3) model
intraksionisme- simbolik, dan(4) model etnometodologi.
(1). Model Struktural- Fungsional
Sama halnya dengan kita
yang hidup, paru- paru, ginjal, dan organ lain berfungsi untuk memelihara tubuh
itu. Mengikuti model ini, jika anda ingin memehami struktur apapun dapat
dilihat dalam komponen- komponen yang ada pada masyarakat, anda harus menemukan
fungsi- fungsinya dalam masyarakat. Dua konsep terkait ini, yakni struktur dan
fungsi, telah digunakan oleh spencer dan Durkheim, sosiologi Amerika, menjadi
penting peranannya terutama pengaruh Talcott Parsons. Beliau telah melahirkan
apa yang saat ini diketahui sebagai model sociology atau struktural
fungsional yang sering disebut dengan fungsionalisme, yaitu kepercayaan suatu
pola sosial adlah hal terbaik untuk dipahami dalam kaitan dengan fungsinya
dalam masyarakat yang ditentukan.
(2). Model Konflik
Menurut ahli teori
konflik, ahli fungsionalis sedang mendukung status quo dengan menguraikan
masyarakat seolah- olah dalam keadaan yang terbaik, sama dengan yang
diharapkan. Padahal dalam perubahan tidaklah selalu berjalan secara normatif.
Sebaliknya, dalam setiap masyarakat apapun konflik senantiasa ada dalam
masyarakat, konflik merupakan bagian integral dalam dinamika kehidupan, baik
yang negatif maupun positif.
Para ahli teori konflik
mengatakan bahwapertanyaan yang sungguh penting dalam tiap- tiap masyarakat
berhubungan dengan isu, siapakah yang mendominasi, dan siapa yang didominasi,
kelompok mana yang berada diatas dan bagaimana cara mereka memelihara agar
tetap berada diatas? Ahli teori konflik berasumsi bahwa sangat sedikit pola
sosial yang bertahan sebab mereka berada dalam suatu sistem yang tidak statis.
Sebagai implikasinya, mereka berasumsi bahwa kapan saja suatu kelompok yang
berbeda, besar kemungkinan akan menguasai kelompok lain.
(3). Model Interaksionisme Simbolik
Istilah interaksionisme simbolis
diciptakan oleh Herbert Blumer, figur yang terkemuka dalam mempromosikan
modelnya sejak 1930-an[16].
Tokoh lainnya adalah George Herbert Mead yang mengatakan bahwa manusia memiliki
kemampuan untuk berinteraksi dengan pihak- pihak lain, dengan perantara
lambang- lambang tertentu yang dimiliki bersama. Dengan perantara lambang-
lambang tersebut maka manusia memberikan arti pad kegiatan- kegiatannya. Mereka
dapat menafsirkan keadaan dan perilaku dengan mempergunakan lambang- lambang
tersebut. Manusiapun membentuk perspektif- perspektif tertentu melalui suatu
proses sosial dimana mereka memberikan rumusan hal- hal tertentu bagi pihak-
pihak lainnya. Selanjutnya, mereka berperilaku menurut hal- hal yang diartikan
secara sosial.
Manusia mungkin saja berbicara dengan
dirinya sendiri, dan menjawab pertanyaan- pertanyaannya sendiri. Dengan cara
demikian, seseorang dapat menyesuaikan perilakunya dengan pihak lain.
(4). Model Etnometodologi
Hal lain yang berkaitan erat dengan
interaksionisme simbolis adalah model mikro yang telah menjadi populer selama
beberapa tahun yang lampau, yaitu etnometodologi yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari fenomenologi.
Dalam pendahuluan bukunya yang berjudul
Studies in Ethnomethodologhy Garfinkel menjawab suatu pertanyaan apa yang
disebut etnometodologi itu? Etnometodologi
merupakan bentuk fenomenologi dan fokusnya mirip dengan versi tradisi
fenomenologi. Dalam kajian ini memfokuskan pada studi empirik terhadap
aktivitas- aktivitas keseharian dan fenomena- fenomena yang bersifat umum.
Sebagaimana kaum fenomenologis lainnya, memfokuskan pada makna itu secara
intersubjektif dan dikomunikasikan meliputi:
1). Perbincangan keseharian secara umum
memaparkan sesuatu yang lebih memilki makna dari pada kata- kata formal itu
sendiri.
2). Perbincangan merupakan praduga
konteks makna umum
3). Pemahaman secara umum yang menyertai
atau yang dihasilkan dan perbincangan tersebut mengandung suatu proses
penafsiran terus- menerus secara intersujektif
4). Pertukaran dan kejadian sehari- hari
memiliki metodologi yang terencana dan rasional
Dengan demikian, dari kejadian sehari-
hari tersebut, seorang peneliti akan mendapatkan suatu pengertian atau makna
ucapan orang lain melalui pemahaman aturan itu sendiri dengan kaidah- kadahnya[17].
Banyak orang berpendidikan telah
dipengaruhi oleh pendekatan ini. Pekerjaan mereka kadang- kadang sukar dipisahkan
dari pekerjaan peneliti kualitatif lainnya, mereka cenderung melakukan
pekerjaan- pekerjaan tentang isu yang bersifat mikro dengan mengungkapkan kosa
kata khusus, serta dengan tindakan yang mendeteil yang dilengkapi dengan
pengertian. Pengertian yang demikian menggunakan istilah- istilah pengertian
common sense, kehidupan sehari- hari, dan penyeleseian sehari- hari. Menurut
etnometodologi, penelitian bukanlah hanya merupakan usaha ilmiah yang
unik,melainkan lebih merupakan penyeleseian praktis. Mereka menyarankan agar
kita melihat secara hati- hati pada pengertian common sense tempat pengumpulan
data dilakukan. Mereka mendorong peneliti untuk bekerja dengan cara kualitatif
untuk lebih peka terhadap kebutuhan tertentu menurut mereka atau menangguhkan asumsi
mereka tentang common sense, dan pandangan mereka sendiri dari pada
mempertimbangkannya.
BAB III
STUDY KASUS
Strategi
konflik
Strategi
konflik memandang masyarakat sebagai arena di mana masing-masing individu dan
kelompok bertarung untuk memenuhi berbagai kebutuhan dan keinginannya. Konflik
dan pertentangan menimbulkan dominasi dan subordinasi, kelompok dominan
memanfaatkan kekuasaan mereka untuk menentukan struktur masyarakat sehingga
menguntungkan bagi kelompok mereka sendiri.
Definisi
Konflik
“De Dreu dan Gelfand (2008)
menyatakan bahwa conflict as a process that begins when an individual or group
perceives differences and opposition between itself and another individual or
group about interests and resources, beliefs, values, or practices that matter
to”. Dari definisi tersebut tampak bahwa konflik merupakan proses yang mulai
ketika individu atau kelompok mempersepsi terjadinya perbedaan atau opisisi
antara dirinya dengan individu atau kelompok lain mengenai minat dan sumber
daya, keyakinan, nilai atau paktik-praktik lainnya.
Robbins (2001) menyebut konflik sebagai a process in which an effort is
purposely made by A to offset the efforts of B by some form of blocking that
will result in frustrating B in attaining his or her goals or furthering his or
her interests. Dalam definisi ini tampak bahwa konflik dapat terjadi ketika
usaha suatu kelompok dihambat oleh kelompok lain sehingga kelompok ini
mengalami frustrasi. Kondalkar (2007) yang mengutip pendapat Thomas menyatakan
bahwa konflik sebagai process that begins when one party perceives that another
party has negatively affected something that the first party cares about.
Proses konflik bermula ketika satu partai mempersepsi bahwa partai lain
memiliki afeksi (perasaan) negatif.
Kondalkar (2007) juga melanjutkan bahwa conflict “as a disagreement
between two or more individuals or groups, with each individual or group trying
to gain acceptance of its views or objective over others. Dari pendapat ini
Kondalkar melihat bahwa konfil merupakan ketidaksetujuan (disagreement) antara
dua atau lebih individu atau kelompok yang mana masing-masing individu atau
kelompok tersebut mencoba untuk bisa diterima pandangannya atau tujuannya oleh
individu atau keompok lain.
Dari pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa konflik adalah
suatu hasil persepsi individu ataupun kelompok yang masing-masing kelompok
merasa berbeda dan perdebaan ini menyebabkan adanya pertentangan dalam ide
ataupun kepentingan, sehingga perbedaan ini menyebabkan terhambatnya keinginan
atau tujuan pihak individu atau kelompok lain.
Film
Srigala Terakhir
Serigala Terakhir merupakan film drama kriminal dari Indonesia yang dirilis pada 5 November 2009 yang disutradarai oleh Upi Avianto. Film ini akan
dibintangi antara lain oleh Vino G. Bastian, Al Fathir Muchtar, Dallas
Pratama, Dion Wiyoko, Ali Syakieb, Reza Pahlevi, Fanny Fabriana, dan Zaneta Georgina
Disebuah
pinggiran Jakarta dengan sekelompok remaja laki-laki tumbuh dan menjalin
persahabatan yang kuat. Mereka adalah Ale (Fathir Muchtar), Jarot
(Vino G. Bastian), Lukman (Dion Wiyoko), Sadat (Ali Syakieb), dan Jago
(Dallas
Pratama). Ale adalah sosok yang paling
menonjol di antara mereka. Jiwa pemimpinnya sangat kentara sekali. Sementara
Jarot adalah sosok yang paling tidak banyak omong dan tertutup.
Suatu peristiwa dalam sebuah pertandingan sepak bola yang berakhir dengan
keributan. Pada saat itu Ale tampak terdesak karena lawannya menggunakan pisau.
Mereka semua berusaha membantu Ale. Sampai akhirnya Jarotlah yang berhasil
melumpuhkan lawan dan tanpa diduganya pisau itu tertancap ditubuh lawan, rubuh
bersimbahkan darah, dan mati. Seketika semua diam dan kemudian kabur
meninggalkan Jarot seorang diri yang berdiri terpana tidak percaya.
Persahabatan yang sudah mereka jalin eratpun teruji. Jarot harus
mengalami pengalaman pahit di penjara seorang diri. Tidak ada seorang
sahabatpun yang memperdulikannya. Perasaan sakit hati dan terkhianati mengubah
Jarot menjadi lelaki yang keras. Keputusannya setelah keluar dari penjara untuk
bergabung di kelompok Naga Hitam membuatnya jadi berseberangan dengan kelompok
Ale. Karena kelompok Naga Hitam adalah musuh besar kelompok Ale.
Intrik demi intrik pun semakin rumit. Terlebih lagi ketika Jarot menjalin
cinta lamanya kembali secara diam-diam dengan Aisya (Fanny Fabriana),
adik Ale. Keputusan Jarot ini dianggap membahayakan bagi kedua kelompok yang
berseteru
Disini study kasus yang diambil oleh kelompok kami mengenai konflik yang
terjadi karena perselisihan kelompok, yang kami ambil dari film Srigala
Terakhir yang mana di dalam film tersebut menceritakan tentang geng-geng anak
muda ibu kota yang saling berselisih guna menentukan kekuasaan wilayah yang
mereka kuasai sebagai simbol sebuah harga diri dan kehormatan. Konflik di picu
oleh rasa emosi, ingin menang sendiri dilatarbelakangi dendam antar wilayah
yang mempertahuhkan kehormatan mereka sebagai pemuda jalanan ibu kota.
Konflik
dalam study kasus ini, menggambarkan tentang perselisihan kelompok yang
mengundang bentrok secara fisik. Dalam masyarakat konflik memang wajar adanya
karena konflik adalah bagian menuju kehidupan yang lebih baik. Namun jika
konflik tersebut terjadi secara terus menerus malah akan menimbulkan kerugian.
Disini peran dari sebuah strategi konflik agar konflik yang terjadi dapat
diselesaikan dan menghasilkan sebuah kesepahaman yang nantinya bisa
menggarahkan menuju kehidupan yang lebih baik.
Konflik
dapat berupa perselisihan (disagreement), adanya ketegangan (the presence of
tension), atau munculnya kesulitan-kesulitan lain di antara dua pihak atau
lebih. Konflik sering menimbulkan sikap oposisi antara kedua belah pihak,
sampai kepada tahap di mana pihak-pihak yang terlibat memandang satu sama lain
sebagai penghalang dan pengganggu tercapainya kebutuhan dan tujuan
masing-masing.
Emotional
conflicts terjadi akibat adanya perasaan marah, tidak percaya, tidak simpatik,
takut dan penolakan, serta adanya pertentangan antar pribadi (personality
clashes). Situasi yang terjadi ketika ada perbedaan pendapat atau perbedaan
cara pandang diantara beberapa orang, kelompok atau organisasi. Definisi lain
yaitu sikap saling mempertahankan diri sekurang-kurangnya diantara dua
kelompok, yang memiliki tujuan dan pandangan berbeda, dalam upaya mencapai satu
tujuan sehingga mereka berada dalam posisi oposisi, bukan kerjasama.
Film srigala
terakhir, merupakan sebuah film yang bercerita tentang mimpi segerombolan anak
jalanan. Mereka bermimpi menjadi sukses dengan menjadi kelompok mafia. Gaya
hidup mereka memang sangat dipengaruhi oleh lingkungan ibu kota yang keras yang
memaksa mereka untuk hidup berteman dengan saling menghancurkan satu sama lain.
Mereka sudah terbiasa berlarian, membuat keonaran, berkelahi bahkan tawuran
yang mengundang kematian. Berbagai macam bercampur menjadi satu, masalah
pribadi sampai masalah cinta yang menimbulkan konflik anatar kelompok bahkan
sampai dendam turun temurun.
BAB
IV
ANALISIS
SOLUSI & KESIMPULAN
Dari
study kasus film “srigala terakhir” dapat kami analisis bahwa konflik itu hadir
dalam kehidupan sehari-hari kita. Sering tanpa kita sadari bahwa dalam dunia
persahabatan pun terselip konflik kecil yang dapat menyebabkan permusuhan
bahkan pertikaian yang merusak persahabatan. Perbedaan cara pandang setiap
indivudu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan. Perbedaan pendirian
dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi
faktor penyebab konflik sosial. Seperti dalam cerita srigala terakhir ketika
salah seorang anggota kelompok merasa dikhianati karena perbedaan pendirian,
munculah sebuah konflik bahkan rasa dendam.
Lingkungan
masyarakat juga berpengaruh dalam terjadinya sebuah konflik sosial. Ketika
seseorang atau sekelompok manusia berada dalam lingkungan yang tidak kondusif,
maka dapat dipastikan konflik akan sering ada. Perbedaan-perbedaan yang ada,
yang disebabkn perbadaan latar belakang budaya juga mempengaruhinya. Bayangkan
saja ketika kita berada di wilayah rawan konflik, saat nilai dan norma sudah
tidak diperdulikan, sudah dipastikan lingkungan tersebut rawan konflik.
Perbedaan
kepentingan antar individu bahkan kelompok. Seseorang sedikit banyak akan
terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan
pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu
yang dapat memicu konflik. Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar
belakang kebudayaan yang
berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau
kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat
melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda.
Konflik
akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu,
misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena
perbedaan kepentingan di antara keduanya.
Perubahan-perubahan
nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat. Perubahan adalah sesuatu yang
lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau
bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial.
Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang
mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat
tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi
nilai-nilai masyarakat industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat
atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan
akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap
mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
Solusi
(Strategi penyelesaian Konflik)
a)
Menghindar
Menghindari
konflik dapat dilakukan jika isu atau masalah yang memicu konflik tidak terlalu
penting atau jika potensi konfrontasinya tidak seimbang dengan akibat yang akan
ditimbulkannya. Penghindaran merupakan strategi yang memungkinkan pihak-pihak
yang berkonfrontasi untuk menenangkan diri. Manajer perawat yang terlibat
didalam konflik dapat menepiskan isu dengan mengatakan “Biarlah kedua pihak
mengambil waktu untuk memikirkan hal ini dan menentukan tanggal untuk melakukan
diskusi”
b)
Mengakomodasi
Memberi
kesempatan pada orang lain untuk mengatur strategi pemecahan masalah, khususnya
apabila isu tersebut penting bagi orang lain. Hal ini memungkinkan timbulnya
kerjasama dengan memberi kesempatan pada mereka untuk membuat keputusan.
Perawat yang menjadi bagian dalam konflik dapat mengakomodasikan pihak lain
dengan menempatkan kebutuhan pihak lain di tempat yang pertama.
c)
Mediasi
Meminta
bantuan pihak ketiga untuk menyelasikan konflik yang ada.
d)
Kompromi dan Negosiasi
Masing-masing
memberikan dan menawarkan sesuatu pada waktu yang bersamaan, saling memberi dan
menerima, serta meminimalkan kekurangan semua pihak yang dapat menguntungkan
semua pihak.
e)
Memecahkan masalah atau kolaborasi
Pemecahan
sama-sama menang dimana individu yang terlibat mempunyai tujuan kerja yang
sama. Perlu adanya satu komitmen dari semua pihak yang terlibat untuk saling
mendukung dan saling memperhatikan satu sama lainnya.
Kesimpulan
Perspektif
struktural konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional.
Struktural konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya
perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan
sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, struktural
konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik
kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah
kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang
dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.
Konflik
adalah suatu hasil persepsi individu ataupun kelompok yang masing-masing
kelompok merasa berbeda dan perdebaan ini menyebabkan adanya pertentangan dalam
ide ataupun kepentingan, sehingga perbedaan ini menyebabkan terhambatnya
keinginan atau tujuan pihak individu atau kelompok lain.
Di
dalam buku “Sosiologi Pendidikan” juga disebutkan bahwa kelas bawah tidak akan
sama memperoleh pendidikan di banding dengan klas menegah dan atas, sebagai
misal pembelajaran yang pernah dimiliki oleh klas tengah tidak akan pernah
dimenegrti oleh klas bawah, karna adaya perbedaan pengalaman yang dia daaptkan.
Kedua, dalam realitasnya klas bawah tidak akan semudah memperoleh pendidikan
dibading klas menengah yang dengan gampang tanpa alih-alih taggung jawab lain
dalam mempeolehnya. Ketiga, realitas Negara bahwa segala pengetahuan ditentukan
oleh penguasa, karenanya klas proletar yang notabenya sebagai objek dari
kebijakan mendapatkan keilmuan tidak sesuai dengan fakta yang ada, sekaligus
merupakan bukan termasuk bukan bagain dari keinginan siswa dan keahliannya.
DAFTAR RUJUKAN
Dr.
H. Supardan, Dadang. 2007. PENGANTAR ILMU SOSIAL Sebuah Kajian Pendekatan
Struktural. Jakarta: Bumi Aksara
Ramadhan’
10.Perspektif Struktural Konflik.Online. Diakses pada tanggal 29
februari 2012 pukul 23.15 WIB
Wikipedia
Ensiklopedia Bebas. Fokus Analisis dan Klasifikasi Kenyataan Sosial.
Online. Diakses pada tanggal 1 Maret 2012 pukul 21.53 WIB
[1]
Popenoe(1983:8-9), Sepencer dan Inkeles(1982:20)
[2]
Popenoe(1983:9) dikutip dari Pengantar Ilmu Sosial oleh Dr.H. Dadang Supardan,
M.Pd. hal: 115
[3]
Sanderson(1995:3) dikutip dari Pengantar Ilmu Sosial oleh Dr.H. Dadang
Supardan, M.Pd. hal: 115
[4]
Sanderson(1995 21-22) dikutip dari buku Pengantar Ilmu Sosial oleh Dr.H. Dadang
Supardan, M.Pd. hal: 116
[5]
Popenoe(1983:9) dikutip dari buku Pengantar Ilmu Sosial oleh Dr.H. Dadang
Supardan, M.Pd. hal: 116
[6]
Douglas(1980)
[7]
Johnson(1986:61-62) dikutip dari buku Pengantar Ilmu Sosial oleh Dr.H. Dadang
Supardan, M.Pd. hal: 118
[8]
(Taylor,1942:1) dikutip dari buku Pengantar Ilmu Sosial oleh Dr.H. Dadang
Supardan, M.Pd. hal: 118
[9]
Max Weber(1864-1920) dikutip dari buku Pengantar Ilmu Sosial oleh Dr.H. Dadang
Supardan, M.Pd. hal: 120
[10]
(Johnson,1986:61,Zeitlin,1995:331) dikutip dari buku Pengantar Ilmu Sosial oleh
Dr.H. Dadang Supardan, M.Pd. hal:122
[11]
(Johnson,1986:4,Zeitlin,1995:332)
[12]
(Homans,1961:87) dikutip dari buku Pengantar Ilmu Sosial oleh Dr.H. Dadang
Supardan, M.Pd. hal:124
[13]
Lockwood(1956:284) dikutip dari buku Pengantar Ilmu Sosial oleh Dr.H. Dadang
Supardan, M.Pd. hal: 126
[14]
(Supardan,2004:45) dikutip dari buku Pengantar Ilmu Sosial oleh Dr.H. Dadang Supardan,
M.Pd. hal: 126
[15]
(Collins,1975:58-59) dikutip dari buku Pengantar Ilmu Sosial oleh Dr.H. Dadang
Supardan, M.Pd. hal:128
[16]
(Spencer dan Inkles,1982:16)
[17]
(Zeitlin, 1995:280) dikutip dari buku Pengantar Ilmu Sosial oleh Dr.H. Dadang
Supardan, M.Pd. hal:131
0 komentar:
Posting Komentar