BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Demokrasi
Demokrasi terdiri atas dua kata berasal
dari bahasa Yunani, yaitu “Demos” berarti rakyat atau penduduk dan “Cratein”
atau “Cratos” berarti kekuasaan atau kedaulatan. Dari dua kata tersebut
terbentuklah suatu istilah “ demoscratein” atau “demokratia” yang berarti
negara dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat,
kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, pemerintahan rakyat
dan kekuasaan oleh rakyat, atau pemerintahan negara rakyat yang berkuasa.
Secara terminologi demokrasi adalah sebagai berikut.
1) Joseph A.
Schmeter mengatakan, demokrasi merupakan suatu perencaan instutisional untuk
mencapai keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk
memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.
2) Sidney Hook berpendapat, demokrasi
adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintahyang penting
secara bebas dari rakyat biasa.
3) Philippe C. Schmitter, demokrasi
merupakan sebagai suatu sistem pemerintahan di mana pemerintah dimintai tanggung
jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang
bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para
wakil mereka yang telah terpilih.
4) Henry B. Mayo mengatakan, demokrasi
sebagai sistem politik merupakan suatu sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan
umum ditentukan atas dasar mayoritas wakil-wakil yang diawasi secara efektif
oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip
kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnnya kebebasan
politik.
5) Menurut Harris Soche, demokrasi
adalah bentuk pemerintahan rakyat, karena itu kekuasaan pemerintahan itu
melekat pada diri rakyat diri orang banyak dan merupakan hak bagi rakyat atau
orang banyak untuk menagtur, mempertahankan dan melindungi dirinya dari paksaan
dan pemerkosaan orang lain atau badan yang diserahi untuk memerintah.
6) Menurut C.F Strong, demokrasi
adalah suatu sistem pemerintahan dalam mana mayoritas anggota dewasa dari
masyarakat politik ikut serta dalam atas dasar sistem perwakilan yang menjamin
bahwa pemerintah akhirna mempertanggung jawabkan tindakan- tindakan kepada
mayoritas itu.[1]
Dalam kehidupan bernegara istilah
demokrasi mengandung pengertian bahwa rakyat yang memberikan ketentuan dalam
masalah-masalah menegenali kehidupannya, termasuk menilai kebijakan negara,
karena kebijakan tersebut akan menentukan kehidupan rakyatnya. Dengan demikian
negara yang menganut sistem demokrasi maka pemerintahannya diselenggarakan atas
kehendak rakyatnya.
Pemerintahan demokrasi adalah suatu
pemerintahan yang melaksanakan kehendak rakyat, akan tetapi kemudian
ditafsirkan dengan suara terbanyak dari rakyat banyak. Jadi tidak melaksanakan
kehendak seluruh rakyat, karena selalu mengalahkan kehendak golongan yang
sedikit anggotanya. Dalam pemerintahan demokrasi dijamin hak-hak kebebasan
setiap orang dalam suatu negara.
Demokrasi dapat dipandang sebagai suatu
mekanisme dan cita-cita hidup berkelompok sesuai kodrat manusia hidup bersama
dengan manusia lain yang disebut kerakyatan, yaitu bersama dengan rakyat banyak
atau masyarakat. Oleh karena itu, demokrasi adalah mementingkan atau
mengutamakan kehendak rakyat.
Demokrasi dapat dikatakan pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, yaitu adanya tuntutan atau dukungan
dari rakyat sebagai masukan, kemudian tuntutan itu dipertimbangkan dan
dimusyawarahkan oleh rakyat yang duduk di lembaga legeslatif sebagai proses
konversi, dan hasilnya berupa kebijaksanaan atau aturan untuk rakyat sebagai
keluaran atau produk untuk rakyat. Hasil keluaran dapat mempengaruhi tuntutan
baru, jika tidak sesuai dengan apa yang dituntut. Pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat, untuk rakyat digambarkan dalam bentuk diagram dibawah ini.
Umpan
balik
Demokrasi atau kerakyatan merupakan pola
hidup berkelompok didalam organisasi negara yang sesuai dengan keinginan dan
tuntutan orang hidup berkelompok. Keinginan dan tuntutan orang-orang yang hidup
berkelompok terutama ditentukan oleh pandangan hidup (weltanschauung), filsafat
hidup (filosofiche grondslag), dan ideologi bangsa yang bersangkutan, yang
menjadi aksioma kehidupan dalam bermasyarakat berbangsa dan bernegara.[2]
Demokrasi atau kerakyatan muncul sebagai
akibat suatu sistem pemerintahan diktator yang otoriter yang membawa akibat
buruk bagi orang banyak sebagai rakyatnya. Akibat-akibat buruk tersebut antara
lain adalah:
Ø Penindasan
dan eksploitasi terhadap rakyat, terutama eksploitasi tenaga dan pikiran rakyat
sehingga rakyat hanya kewajiban tanpa hak.
Ø Kondisi
kehidupan masyarakat seperti diatas selalu mengakibatkan timbulnya konflik
dengan korban yang lebih banyak dipihak rakyat.
Ø Kesejahteraan
bertumpu pada para penguasa dan pemimpin sedangkan rakyat dibiarkan hidup
melarat tanpa jaminan masa depan.
Faktor-faktor
diatas melatarbelakangi ide pemerintah yang demokratis untuk menjamin
kesejahteraan rakyat banyak secara merata(Sumarno dkk, 2001)
Hakikat demokrasi sebagai suatu sistem bermasyarakat dan
bernegara serta pemerintahan memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaan di
tangan rakyat baik dalam penyelenggaraan negara maupun pemerintahan. Kekuasaan
pemerintah berada di tangan rakyat mengandung pengertian: pemerintahan dari
rakyat, pemerintahan oleh rakyat, dan pemerintahan untuk rakyat. Suatu
pemerintahan dikatakan demokratis, bila ketiga hal di atas dapat dijalankan dan
ditegakkan dalam tata pemerintahan (Dede Rosyada dkk, 2003).[3]
B.
Sejarah
Munculnya Demokrasi
1.
Dalam
pandangan Sejarah Dunia
Demokrasi dalam sejarah peradaban muncul sejak jamam
Yunani Kuno di mana rakyat memandang kediktatoran sebagai bentuk
pemerintahan terburuk. Capaian praktis dari pemikiran demokrasi Yunani adalah
munculnya “negara kota”. Dengan Polis adalah bentuk demokrasi pertama.
Demokrasi berasal dari taka tain yaitu demos (rakyat) dan kratos
(pemerintahan).
Peradaban Yunani menunjukkan bahwa masyarakat Yunani
dipecah menjadi kota-negara bagian yang kecil-kecil (tidak lebih dari 10.000
warga). Setiap orang menyuarakan pendapatnya atas persoalan-persoalan
pemerintahan. Istilah demokrasi sendiri pertama kali di kemukakan pada
pertengahan abad 5 M di Athena.
Dari Wikipedia :
The term democracy
first appeared in ancient Greek political and philosophical thought. The
philosopher Plato contrasted democracy, the system of "rule by the
governed", with the alternative systems of monarchy (rule by one
individual), oligarchy (rule by a small élite class) and timocracy.
(Political Analysis in Plato's Republic at the Stanford Encyclopedia of
Philosophy)
Although Athenian
democracy is today considered by many to have been a form of direct democracy,
originally it had two distinguishing features: firstly the allotment (selection
by lot) of ordinary citizens to government offices and courts, and secondarily
the assembly of all the citizens. All the male Athenian citizens were eligible
to speak and vote in the Assembly, which set the laws of the city-state;
citizenship was not granted to women, or slaves. Of the 250,000 inhabitants
only some 30,000 on average were citizens. Of those 30,000 perhaps 5,000 might
regularly attend one or more meetings of the popular Assembly. Most of the
officers and magistrates of Athenian government were allotted; only the
generals (strategoi) and a few other officers were elected.
Uraian di atas memberi gambaran terhadap kita bahwa
dari semua manusia yang ada dikerajaan itu hanya 2% yang berperan dalam
menentukan pergerakan pemerintahan. Dan diantara 2% itu hanya segelintir orang
yang dapat mengakses kekuasaan.[4]
Konsep demokrasi memang sedikit sulit untuk dipahami
karena banyak memiliki kesamaan makna yaitu variatif, evolotif dan
dinamis. Untuk itu tidak begitu mudah membuat definisi yang baku tentang
demokrasi. Banyak Negara yang mengklaim bahwa negaranya merupakan negara
demokrasi, walaupun nilai-nilai demokrasi dalam pemerintahannya banyak yang
dilanggar.
Demokrasi diakui banyak orang dan negara sebagai
system nilai kemanusiaan yang paling menjanjikan masa depan umat manusia di
dunia. Abraham Lincoln adalah presiden Amerika Serikat pertama yang pernah mengatakan,
bahwa demokrasi adalah memerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Hilang dan munculnya kembali paham demokrasi
Baron de La Brède et de Montesquieu (18 Januari 1689 –
10 Februari 1755)
Demokrasi di Yunani sendiri akhirnya menghilang. Baru
setelah ratusan bahkan ribuan tahun kemudian paham demokrasi muncul kembali.
Tapatnya di Perancis saat terjadi revolosi Perancis. Ia adalah Baron de La
Brède et de Montesquieu (lahir 18 Januari 1689 – meninggal 10 Februari 1755)
yang lebih dikenal dengan Montesquieu. Momtesquieu terkenal dengan
teorinya mengenai pemisahan kekuasaan yaitu Trias Politika dimana kekuasaan
dibagi menjadi Legeslatif, Eksekutif dan Yudikatif. Ia juga yang mempopulerkan
istilah “feodalisme” dan kekaisaran Bizantium”.[5]
Peristiwa diserangnya Penjara Bastille memulai
runtuhnya kerajaan dan masyarakat meruntuhkan kerajaan tersebut, melakukan
rapat besar untuk membuat suatu bentuk dari pemerintahan yang berbeda dari
Kerajaan mereka mengatakan bahwa setiap orang berhak menjadi pemimpin tidak
hanya para keluarga Raja. Ide yang sangat bagus dan enak ditelinga membuat
masyarakat mendapatkan angan-angan bahwa suatu saat mereka dapat mempunyai
kesempatan menjadi penguasa layaknya raja. Akhirnya semua lapisan masyarakat
menyutujuinya dan Memilih orang-orang yang dapat berperan dalam tiga unsur
demokrasi tersebut.
Perjuangan demokrasi di Perancis sendiri juga tidak
mudah karena raja tidak ingin menyerahkan kekuasaannya begitu saja. Walau
demikian perubahan di Perancis ini telah mempengaruhi banyak Negara
tetangganya. Hingga muncullah sistem Monarki Parlementari di Inggris, German,
Italia, dan Eropa barat.
Setelah revolosi Perancis, krisis akibat perebutan
kekuasaan masih terus berlangsung. Pada akhirnya perancis kembali dengan system
monarki dengan Napoleon Bonaparte sebagai kaisarnya.
Kegagalan demokrasi di Perncis ternyata tidak
menyurutkan keinginan sebagian besar masyarakat di Eropa untuk menjadikan
demokrasi sebagai sistem yang berkeadilan. Setidaknya mereka ingin terbebas dari
tirani gereja dan pemerintah negaranya. Dengan ditemukannya benua Amerika, di
mana di benua tersebut tidak ada kekuasaan kaisar dan penduduk aslinyapun
peradabannya dianggap masih primitive, maka masyarakat Eropa yang ingin
mendapatkan kebebasan berbondong-bondong ke Amerika untuk membangun negara baru
dengan dasar kebebasan. Perancis kemudian menghadiahkan patung Liberty
(kebebasan) yang dibangun di New York sebagai simbol penyambutan kepada para
pencari kebebasan.
C. Pemikiran dan Teori-Teori Demokrasi
Sejarah pemikiran dan praktik demokrasi
bisa digambarkan dalam tiga fase utama: Fase Klasik (Demokrasi Athena), Fase
Pra-Pencerahan, Fase Modern dan Fase Kontemporer (Paska Perang Dingin).[6]
1. Fase Klasik
Fase Klasik ditandai
dengan munculnya pemikiran-pemikiran filosofis dan praksis politik dan
ketatanegaraan sekitar abad ke 5 SM yang menjadi kebutuhan dari negara-negara
kota (city states) di Yunani, khususnya Athena. Munculnya pemikiran yang
mengedepankan demokrasi (democratia, dari demos + kratos) disebabkan gagalnya
sistem politik yang dikusai para Tyrants atau autocrats untuk memberikan
jaminan keberlangsungan terhadap Polis dan perlindungan terhadap warganya.
Filsuf-filsuf seperti Thucydides (460-499 SM), Socrates (469-399 SM), Plato
(427-347SM), Aristoteles (384-322 SM) merupakan beberapa tokoh terkemuka yang
mengajukan pemikiran-pemikiran mengenai bagaimana sebuah Polis seharusnya
dikelola sebagai ganti dari model kekuasaan para autocrats dan tyrants. Dari
buah pikiran merekalah prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi, yaitu persamaan
(egalitarianism) dan kebebasan (liberty) individu diperkenalkan dan dianggap
sebagai dasar sistem politik yang lebih baik ketimbang yang sudah ada waktu
itu. Tentu saja para filsuf Yunani tersebut memiliki pandangan berbeda terhadap
kekuatan dan kelemahan sistem demokrasi itu sendiri. Plato, misalnya, dapat
dikatakan sebagai pengritik sistem demokrasi yang paling keras karena dianggap
dapat mendegenerasi dan mendegradasi kualitas sebuah Polis dan warganya.
Kendati Plato mendukung gagasan kebebasan individu tetapi ia lebih mendukung
sebuah sistem politik dimana kekuasaan mengatur Polis diserahkan kepada
kelompok elite yang memiliki kualitas moral, pengetahuan, dan kekuatan fisik
yang terbaik atau yang dikenal dengan nama “the philosopher Kings”. Sebaliknya,
Aristoteles memandang justru sistem demokrasi yang akan memberikan kemungkinan
Polis berkembang dan bertahan karena para warganya yang bebas dan egaliter
dapat terlibat langsung dalam pembuatan keputusan publik, dan secara bergiliran
mereka memegang kekuasaan yang harus dipertanggungjawabkan kepada warga.
Demokrasi klasik di
Athena, baik dari dimensi pemikiran dan praksis, jelas bukan sebuah demokrasi
yang memenuhi kriteria sebagai demokrasi substantif, karena pengertian warga
(citizens) yang “egaliter” dan “bebas” pada kenyataannya sangat terbatas.
Mereka ini adalah kaum pria yang berusia di atas 20 th, bukan budak, dan bukan
kaum pendatang (imigran). Demikian pula demokrasi langsung di Athena
dimungkinkan karena wilayah dan penduduk yang kecil (60000-80000 orang). Warga
yang benar-benar memiliki hak dan berpartisipasi dalm Polis kurang dari
sepertiganya dan selebihnya adalah para budak, kaum perempuan dan anak-anak,
serta pendatang atau orang asing! Demikian pula, para warga dapat sepenuhnya
berkiprah dalam proses politik karena mereka tidak tergantung secara ekonomi,
yang dijalankan sepenuhnya oleh para budak, kaum perempuan, dan imigran.
2. Pada fase Pencerahan (Abad 15
sampai awal 18M)
Yang mengemuka adalah
gagasan alternatif terhadap sistem Monarki Absolut yang dijalankan oleh para
raja Eropa dengan legitimasi Gereja. Tokoh-tokoh pemikir era ini antara lain
adalah Niccolo Machiavelli (1469-1527), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke
(1632-1704), dan Montesquieu (1689-1755). Era ini ditandai dengan munculnya
pemikiran Republikanisme (Machiavelli) dan liberalisme awal (Locke) serta
konsep negara yang berdaulat dan terpisah dari kekuasan eklesiastikal (Hobbes).
Lebih jauh, gagasan awal tentang sistem pemisahan kekuasaan (Montesquieu)
diperkenalkan sebagai alternative dari model absolutis. Pemikiran awal dalam
sistem demokrasi modern ini merupakan buah dari Pencerahan dan Revolusi
Industri yang mendobrak dominasi Gereja sebagai pemberi legitimasi sistem
Monarki Absolut dan mengantarkan pada dua revolusi besar yang membuka jalan
bagi terbentuknya sistem demokrasi modern, yaitu Revolusi Amerika (1776) dan
Revolusi Perancis (1789). Revolusi Amerika melahirkan sebuah sistem demokrasi
liberal dan federalisme (James Madison) sebagai bentuk negara, sedangkan
Revolusi Perancis mengakhiri Monarki Absolut dan meletakkan dasar bagi
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia secara universal.
Trias politica atau teori mengenai pemisahan
kekuasaan, di latar belakangi pemikiran bahwa kekuasaan-kekuasaan pada sebuah
pemerintahan yang berdaulat tidak dapat diserahkan kepada orang yang sama dan
harus dipisahkan menjadi dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas untuk mencegah
penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak
asasi warga negara dapat lebih terjamin.
Dalam bukunya yang berjudul L’esprit des Louis
Montesquieu membagi kekuatan negara menjadi tiga kekuasaan agar kekuasaan dalam
negara tidak terpusat pada tangan seorang raja penguasa tunggal, yaitu sebagai
berikut.
a)
Legislatif, yaitu kekuasaan untuk membentuk
undang-undang.
b)
Eksekutif,
yaitu kekuasaan untuk menjalankan undang-undang.
c)
Legislatif, yaitu kekuasaan untuk mengawasi
pelaksanaan undang-undang (mengadili).
Ide pemisahan kekuasaan tersebut,
menurut Montesquieu dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik, yang tidak
akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat dalam negeri.
Montesquieu menekankan bahwa satu orang atau lembaga akan cenderung untuk
mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan
terpusat padanya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan
kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah
adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya.[7]
3. Fase Modern (awal abad 18-akhir
abad 20)
Menyaksikan
bermunculannya berbagai pemikiran tentang demokrasi berkaitan dengan
teori-teori tentang negara, masalah kelas dan konflik kelas, nasionalisme,
ideologi, hubungan antara negara dan masyarakat dsb. Disamping itu, terjadi
perkembangan dalam sistem politik dan bermunculannya negara-negara baru sebagai
akibat Perang Dunia I dan II serta pertikaian ideologi khusunya antara
kapitalisme dan komunisme.
Pemikir-pemikir demokrasi modern yang paling berpengaruh termasuk JJ Rousseau (1712-1778), John S Mill (1806-1873), Alexis de Tocqueville (1805-1859), Karl Marx (1818-1883), Friedrich Engels (1820-1895), Max Weber (1864-1920), dan J. Schumpeter (1883-1946). Rousseau membuat konsepsi tentang kontrak sosial antara rakyat dan penguasa dengan mana legitimasi pihak yang kedua akan diberikan, dan dapat dicabut sewaktu-waktu apabila ia dianggap melakukan penyelewengan. Gagasan dan praktik pembangkangan sipil (civil disobedience) sebagai suatu perlawanan yang sah kepada penguasa sangat dipengaruhi oleh pemikiran Rousseau. Mill mengembangkan konsepsi tentang kebebasan (liberty) yang menjadi landasan utama demokrasi liberal dan sistem demokrasi perwakilan modern (Parliamentary system) di mana ia menekankan pentingnya menjaga hak-hak individu dari intervensi negara/pemerintah. Gagasan pemerintahan yang kecil dan terbatas merupakan inti pemikiran Mill yang kemudian berkembang di Amerika dan Eropa Barat. De Toqcueville juga memberikan kritik terhadap kecenderungan negara untuk intervensi dalam kehidupan sosial dan individu sehingga diperlukan kekuatan kontra yaitu masyarakat sipil yang mandiri.
Marx dan Engels merupakan pelopor pemikir radikal dan gerakan sosialis-komunis yang menghendaki hilangnya negara dan munculnya demokrasi langsung. Negara dianggap sebagai “panitia eksekutif kaum burjuis” dan alat yang dibuat untuk melakukan kontrol terhadap kaum proletar. Sejauh negara masih merupakan alat kelas burjuis, maka keberadaannya haruslah dihapuskan (withering away of the state) dan digantikan dengan suatu model pemerintahan langsung di bawah sebuah diktator proletariat. Dengan mendasari analisa mereka mengikuti teori perjuangan kelas dan materialism dialektis, Marx dan Engels menganggap sistem demokrasi perwakilan yang diajukan oleh kaum liberal adalah alat mempertahankan kekuasaan kelas burjuis dan karenanya bukan sebagai wahana politik yang murni (genuine) serta mampu mengartikulasikan kepentingan kaum proletar. Max Weber dan Schumpeter adalah dua pemikir yang menolak gagasan demokrasi langsung ala Marx dan lebih menonjolkan sistem demokrasi perwakilan. Mereka berdua mengemukakan demokrasi sebagai sebuah sistem kompetisi kelompok elite dalam masyarakat, sesuai dengan roses perubahan masyarakat modern yang semakin terpilah-pilah menurut fungsi dan peran. Dengan makin berkembangnya birokrasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sistem pembagian kerja modern, maka tidak mungkin lagi membuat suatu sistem pemerintahan yang betul-betul mampu secara langsung mengakomodasi kepentingan rakyat. Demokrasi yang efektif adalah melalui perwakilan dan dijalankan oleh mereka yang memiliki kemampuan, oleh karenanya pada hakekatnya demokrasi modern adalah kompetisi kaum elit.
Pemikir-pemikir demokrasi modern yang paling berpengaruh termasuk JJ Rousseau (1712-1778), John S Mill (1806-1873), Alexis de Tocqueville (1805-1859), Karl Marx (1818-1883), Friedrich Engels (1820-1895), Max Weber (1864-1920), dan J. Schumpeter (1883-1946). Rousseau membuat konsepsi tentang kontrak sosial antara rakyat dan penguasa dengan mana legitimasi pihak yang kedua akan diberikan, dan dapat dicabut sewaktu-waktu apabila ia dianggap melakukan penyelewengan. Gagasan dan praktik pembangkangan sipil (civil disobedience) sebagai suatu perlawanan yang sah kepada penguasa sangat dipengaruhi oleh pemikiran Rousseau. Mill mengembangkan konsepsi tentang kebebasan (liberty) yang menjadi landasan utama demokrasi liberal dan sistem demokrasi perwakilan modern (Parliamentary system) di mana ia menekankan pentingnya menjaga hak-hak individu dari intervensi negara/pemerintah. Gagasan pemerintahan yang kecil dan terbatas merupakan inti pemikiran Mill yang kemudian berkembang di Amerika dan Eropa Barat. De Toqcueville juga memberikan kritik terhadap kecenderungan negara untuk intervensi dalam kehidupan sosial dan individu sehingga diperlukan kekuatan kontra yaitu masyarakat sipil yang mandiri.
Marx dan Engels merupakan pelopor pemikir radikal dan gerakan sosialis-komunis yang menghendaki hilangnya negara dan munculnya demokrasi langsung. Negara dianggap sebagai “panitia eksekutif kaum burjuis” dan alat yang dibuat untuk melakukan kontrol terhadap kaum proletar. Sejauh negara masih merupakan alat kelas burjuis, maka keberadaannya haruslah dihapuskan (withering away of the state) dan digantikan dengan suatu model pemerintahan langsung di bawah sebuah diktator proletariat. Dengan mendasari analisa mereka mengikuti teori perjuangan kelas dan materialism dialektis, Marx dan Engels menganggap sistem demokrasi perwakilan yang diajukan oleh kaum liberal adalah alat mempertahankan kekuasaan kelas burjuis dan karenanya bukan sebagai wahana politik yang murni (genuine) serta mampu mengartikulasikan kepentingan kaum proletar. Max Weber dan Schumpeter adalah dua pemikir yang menolak gagasan demokrasi langsung ala Marx dan lebih menonjolkan sistem demokrasi perwakilan. Mereka berdua mengemukakan demokrasi sebagai sebuah sistem kompetisi kelompok elite dalam masyarakat, sesuai dengan roses perubahan masyarakat modern yang semakin terpilah-pilah menurut fungsi dan peran. Dengan makin berkembangnya birokrasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sistem pembagian kerja modern, maka tidak mungkin lagi membuat suatu sistem pemerintahan yang betul-betul mampu secara langsung mengakomodasi kepentingan rakyat. Demokrasi yang efektif adalah melalui perwakilan dan dijalankan oleh mereka yang memiliki kemampuan, oleh karenanya pada hakekatnya demokrasi modern adalah kompetisi kaum elit.
4. Era Kontemporer
Perkembangan pemikiran
demokrasi dan praksisnya pada era kontemporer menjadi semakin kompleks, apalagi
dengan bermunculannya negara-negara bangsa dan pertarungan ideologis yang
melahirkan blok Barat dan Timur, kapitalisme dan sosialisme/komunisme.
Demokrasi menjadi jargon bagi kedua belah pihak dan hampir semua negara dan masyarakat
pada abad keduapuluh, kenbdatipun variannya sangat besar dan bahkan bertentangan
satu dengan yang lain. Demokrasi kemudian menjadi alat legitimasi para
penguasa, baik totaliter maupun otoriter di seluruh dunia. Di negara-negara
Barat seperti Amerika dan Eropa, pemahaman demokrasi semakin mengarah kepada
aspek prosedural, khususnya tata kelola pemerintahan (governance). Pemikir
seperti Robert Dahl umpamanya menyebutkan bahwa teori demokrasi bertujuan
memahami bagaimana warganegara melakukan control terhadap para pemimpinnya.
Dengan demikian focus pemikiran dan teori demokrasi semakin tertuju pada
masalah proses-proses pemilihan umum atau kompetisi partai-partai politik,
kelompok kepentingan, dan pribadi-pribadi tertentu yan memiliki pengaruh
kekuasaan. Praktik demokrasi pada fase-fase tersebut tidak berarti selalu
berjalan berkesinambungan, tetapi bisa terjadi overlapping dan bahkan ruptures,
sehingga perkembangan tersebut tidaklah berjalan linear. Demikian pula, harus
diingat bahwa selalu ada diskrepansi atau gap antara “pemikiran”,“gagasan
(ideas)” dengan praksis dan realitas yang sedang berkembang. Dengan demikian
tidak berarti bahwa dalam fase klasik realitas politik di Athena merupakan
pengejawantahan total gagasan demokrasi yang ada. Bisa jadi bahwa gagasan yang
muncul pada suatu era ternyata masih merupakan gagasan yang belum terealisasi
sebelumnya, atau kalaupun terealisasi ternyata mengalami berbagai penyimpangan
atau perbedaan.
D. Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Semenjak kemerdekaan 17 agustus 1945, Undang Undang Dasar 1945 memberikan
penggambaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi.Dalam mekanisme
kepemimpinannya Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR dimana MPR adalah
sebuah badan yang dipilih dari Rakyat. Sehingga secara hirarki seharusnya
rakyat adalah pemegang kepemimpinan negara melalui mekanisme perwakilan yang
dipilih dalam pemilu. Indonesia sempat mengalami masa demokrasi singkat pada
tahun 1956 ketika untuk pertama kalinya diselenggarakan pemilu bebas di
indonesia, sampai kemudian Presiden Soekarno menyatakan demokrasi terpimpin
sebagai pilihan sistem pemerintahan. Setelah mengalami masa Demokrasi
Pancasila, sebuah demokrasi semu yang diciptakan untuk
melanggengkan kekuasaan Soeharto, Indonesia kembali masuk kedalam alam
demokrasi pada tahun 1998 ketika pemerintahan junta militer Soeharto tumbang.
Pemilu demokratis kedua bagi Indonesia terselenggara pada tahun 1999 yang
menempatkan Partai
Demokrasi Indonesia-Perjuangan sebagai pemenang
Pemilu.
1.
Periodesasi
dan Macam-macam Demokrasi di Indonesia
a. Periode
1945-1959 (demokrasi Parlementer)
Demokrasi dimasa ini dikenal dengan sebutan demokrasi
parlementer. Sistem parlementer ini mulai berlaku sebulan sesudah kemerdekaan
diproklamirkan. Namun demikian model demokrasi ini dianggap kurang cocok untuk Indonesia.
Lemahnya budaya demokrasi untuk mempraktikkan demokrasi model barat ini telah memberi
peluang sangat besar kepada partai-partai politik untuk mendominasi kehidupan
social politik.[8]
Ketiadaan budaya demokrasi yang sesuai dengan system
demokrasi parlementer ini akhirnya melahirkan fragmentasi politik berdasarkan afiliasi
kesukuan dan agama. Akibatnya, pemerintahan yang berbasis pada koalisi politik pada
masa ini jarang dapat bertahan lama. Koalisi yang dibangun dengan sangat mudah pecah.
Hal ini mengakibatkan destabilisasi politik nasional yang mengancam integrasi nasional
yang sedang dibangun. Persaingan tidak sehat antara faksi-faksi politik dan pemberontakan
daerah terhadap pemerintah pusat telah mengancam berjalanya demokrasi itu sendiri.
Factor-faktor dissintegrasi diatas, ditambah dengan kegagalan
partai-partai dalam majelis konstituante untuk mencapai consensus mengenai dasar
Negara untuk undang-undang dasar baru, mendorong presiden Soekarno untuk mengeluarakan
dekrit presiden pada 5 juli 1959 yang menegaskan berlakunya kembali undang-undang
dasar 1945. Dengan demikian masa demokrasi berdasarkan system parlementer berakhir,
diganti oleh demokrasi terpimpin yang memosisikan presiden Soekarno menjadi pusat
kekuasaan Negara.
2. Periode
1959-1965 (Demokrasi Terpimpin)
Periode ini di kenal dengan sebutan demokrasi terpimpin.
Ciri-ciri demokrasi ini adalah dominasi politik presiden dan berkembangnya pengaruh
komunis dan peranan tentara ABRI dalam panggung politik nasional. Hal ini di
sebabkan oleh lahirnya dekrit presiden 5 juli 1959 sebagai usaha untuk mencari jalan
keluar dari kebuntuan politik melalui pembentukan kepemimpinan nasioanal
personal yang kuat. Sekalipun UUD 1945 memberi peluang presiden untuk memimpin pemerintahan
selama lima tahun ketetapan MPRS No.III/1963 mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden
seumur hidup dengan lahirnya ketetapan MPRS ini secara otomatis telah membatalkan
pembatasan waktu lima tahun sebagaimana ketetapan UUD 1945.
Kepemimpinan presiden tanpa batas ini terbukti melakukan
tindakan dan kebijakan yang menyimpang dari ketentuan UUD 1945. Misalnya pada tahun
1960 presiden Soekarno membubarkan dewan perwakilan rakyat hasil pemilihan umum,
padahaldalampenjelasan UUD 1945 secara eksplisit ditentukan bahwa presiden tidak
memiliki wewenang untuk berbuuat demikian. Dengan kata lain, sejak diberlakukan
dekrit presiden 1959 telah terjadi penyimpangan konstitusi oleh presiden.
Dalam pandangan sejarawan Ahmad Syafii Ma’arif,
demokrasi terpimpin sebenarnya ingin menempatkan presiden Soekarno ibarat seorang
ayah ibarat dalam sebuah keluarga besar yang bernama Indonesia dengan kekuasaan
terpusat berada ditanganya. Dengan demikian, kekeliruan yang sangat besar dalam
demokrasi terpimpin dalam model Soekarno adalah pengingkaran terhadap nilai-nilai
demokrasi, yakni lahirnya absolutisme dan terpusatnya kekuasaan pada diri pemimpin,
dan pada saat yang sama hilangnya kontrol social dan check and balance dan legislative terhadap eksekutif.
Dalam kehidupan politik Partai Komunis Indonesia
(PKI) sangatlah menonjol. Bersandar pada dekrit presiden 5 juli sebagai sumber hukum
didirikan banyak badan ekstrakonstitusional seperti front nasional yang
digunakan oleh PKI sebagai kegiatan wadah politik. Front nasional telah dimanipulasi
oleh PKI untuk menjadi bagian strategi taktik komunisme internasional yang
menggariskan pembentukan front nasional sebagai persiapan kearah terbentuknya demokrasi
rakyat. Strategi politik PKI untuk mendulang keuntungan dari charisma
kepemimpinan presiden Soekarno dengan cara mendukung pemberedelan pers dan partai
politik misalnya Masyumi yang dinilai tidak
sejalan dengan kebijakan pemerintahan.
Perilaku politik PKI yang berhaluan sosialis marxis tentu tidak dibiarkan begitu saja oleh partai
politik islam dan kalangan militer (TNI) yang pada waktu itu merupakan salah satu
komponen politik penting presiden Soekarno. Akhir dari demokrasi terpimpin presiden
Soekarno yang berakibat dari perseteruan politik ideologi santara PKI dan TNI
adalah peristiwa berdarah yang dikenal dengan gerakan 30 september 1965.
3. Periode
1965-1998( Demokrasi Orde Baru)
Periode ini merupakan masa pemerintahan presiden Soeharto
dengan orde barunya. Sebutan orde baru merupakan kritik terhadap periode sebelumnya,
orde lama. Orde lama, sebagaimana dinyatakan oleh pendukungnya, adalah upaya untuk
meluruskan kembali penyelewengan terhadap undang-undang dasar 1945 yang terjadi
dalam masa demokrasi terpimpin. Seiring pergantian kepemimpinan nasional,
demokrasi terpimpin ala Soekarno telah diganti oleh elite ordebaru dengan demokrasi
pancasila.
Beberapa kebijakan pemerintah sebelumnya yang
menetapkan masa jabatan presiden seumur hidup untuk presiden Soekarno telah dihapuskan
dan diganti dengan pembatasan jabatan presiden lima tahun dan dapat dipilih kembali
melalui proses pemilu.
Demokrasi pancasila secara garis besar menawarkan tiga
komponen demokrasi.Pertama,demokrasi dalam
bidang politik pada hakikatnya adalah menegakkan kembali asas-asas Negara hokum
dan kepastian hokum. Kedua, demokrasi
dalam bidang ekonomi pada hakikatnya adalah kehidupan yang layak bagi semua warga
Negara. Ketiga, demokrasi dalam bidang
hokum pada hakikatnya bahwa pengakuan dan perlindungan HAM, peradilan yang bebas
dan tidak memihak.
Hal yang sangat disayangkan adalah, alih-alih pelaksanaan
ajaran pancasila secara murni dan konsekuen, demokrasi pancasila yang
dikampanyekan oleh orde baru, baru sebatas retorika politik belaka. Dalam praktik
kenegaraan dan kepemerintahanya, penguasa orde baru bertindak jauh dari prinsip-prinsip
demokrasi. Seperti dikatakan oleh M. RusliKarim, ketidak demokratisan penguasa orde
baru ditandai oleh:
(1) dominannya peranan militer (ABRI);
(2) birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan
politik;
(3) pengembirian peran dan fungsi partai politik;
(4) campur tangan pemerintah dalam berbagai urusan partai
politik dan publik;
(5) politik masa mengambang;
(6) monolitisasi ideologi;
(7) inkorporasi lembaga non pemerintah.
4. Periode
pasca orde baru
Periode pasca orde baru sering disebut era
reformasi. Periode ini erat hubunganya dengan gerakan reformasi rakyat yang
menuntut pelaksannaan demokrasi dan HAM secara konsekuen. Tuntutan ini ditandai
oleh lengsernya presiden Soeharto dari tumpuk kekuasaan orde baru pada mei
1998. Setelah lebih dari tiga puluh tahun berkuasa dengan demokrasi pancasilanya.
Penyelewengan atas dasar Negara pancasila oleh penguasa orde baru berdampak pada
sikap antipasti sebagian masyarakat terhadap dasar Negara tersebut.
Pengalaman pahit yang menimpa pancasila, yang pada dasarnya
sangat terbuka, inklusif dan penuh nuansa HAM, berdampak pada keengganan kalangan
tokoh reformasi untuk menambahkan atribut tertentu pada kata demokrasi. Bercermin
pada pengalaman manipulasi atas pancasila oleh penguasa orde baru, demokrasi
yang hendak dikembangkan setelah kejatuhan oleh rezim orde baru adalah demokrasi
tanpa nama atau demokrasi tanpa embel-embel dimana hak rakyat merupakan komponen
inti dalam mekanisme dan pelaksanaan pemerintahan yang demokratis. Wacana demokrasi
pasca orde baru erat kaitanya dengan pemberdayaan masyarakat madanai dan penegakan
HAM secara sungguh-sungguh.
KESIMPULAN
1. Pengertian
Demokrasi
Demokrasi terdiri atas dua kata berasal
dari bahasa Yunani, yaitu “Demos” berarti rakyat atau penduduk dan “Cratein”
atau “Cratos” berarti kekuasaan atau kedaulatan. Dari dua kata tersebut
terbentuklah suatu istilah “ demoscratein” atau “demokratia” yang berarti negara
dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan
tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, pemerintahan rakyat dan
kekuasaan oleh rakyat, atau pemerintahan negara rakyat yang berkuasa. Pemerintahan
demokrasi adalah suatu pemerintahan yang melaksanakan kehendak rakyat, akan
tetapi kemudian ditafsirkan dengan suara terbanyak dari rakyat banyak. Jadi
tidak melaksanakan kehendak seluruh rakyat, karena selalu mengalahkan kehendak
golongan yang sedikit anggotanya. Dalam pemerintahan demokrasi dijamin hak-hak
kebebasan setiap orang dalam suatu negara.
2. Sejarah
Munculnya Demokrasi
Demokarsi muncul pertama kali di Yunani. Peradaban
Yunani menunjukkan bahwa masyarakat Yunani dipecah menjadi kota-negara bagian
yang kecil-kecil (tidak lebih dari 10.000 warga). Setiap orang
menyuarakan pendapatnya atas persoalan-persoalan pemerintahan. Istilah
demokrasi sendiri pertama kali di kemukakan pada pertengahan abad 5 M di Athena.
Muncul kembali abad pertengahan di Perancis. Hingga lahirnya piagam Magna
Charta serta pembuatan Patung Liberty sebagai simbol Kebebasan( Demokrasi
3.
Pemikiran dan Teori Demokrasi
Sejarah pemikiran dan praktik demokrasi
bisa digambarkan dalam tiga fase utama: Fase Klasik (Demokrasi Athena), Fase
Pra-Pencerahan, Fase Modern dan Fase Kontemporer (Paska Perang Dingin).
4.
Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Ø Periode
1945-1959 (demokrasi Parlementer)
Ø Periode
1959-1965 (Demokrasi Terpimpin)
Ø Periode
1965-1998( Demokrasi Orde Baru)
Ø Periode
pasca orde baru
Daftar Rujukan
Referensi: http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi
Noor Ms Bakry. 2009. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Budiardjo, Mirriam, 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik.
Jakarta. Gramedia Pustaka Utama
Hidayat,
Komaruddin dan Aryumardi Azra. 2008. Pendidikandan Kewarganegaraan.
Jakarta:ICC UIN Syarif Hidayatulloh
[1] Referensi: http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi
[2] Noor Ms
Bakry. 2009. Pendidikan Kewarganegaraan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
[3] Ibid hal
3
[4] Ibid hal
2
[6] Budiardjo, Mirriam, 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta.
Gramedia Pustaka Utama
[7] Ubaedillah, A, 2008. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)
Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta. Kencana
Prenada Media Group
[8]
Hidayat, KomaruddindanAryumardiAzra. 2008. PendidikandanKewarganegaraan.
Jakarta:ICC UIN SyarifHidayatulloh)
4 komentar:
demokrasi yang punya uang bakal menang
bang bolehsaya copy gx ????
kalau gx boleh gx pp
Bila melihat perkembangan lahirnya Demokrasi sekaligus Perlindungan HAM, hampir barangkali Kerajaan Wajo di Sulawesi selatan dapat dikatakan sebagai sebuah Negara yang berdaulat pertama di dunia yang menganut sistim Demokrasi dan HAM yang di declarasikan pada tahun 1476 atau 300 tahun sebelum bangsa Amerika mengumandangkan Declaration of Independent pada tahun 1776. Dalam declarasi tersebut landasan Demokrasi dan HAM disebutkan bahwa "MARADEKA TO WAJO'E RILALENG TAMPU MOPI NAMARADEKA, NAJAJIANG ALENA MARADEKA, ADE' YASSIMATURUSIMI I POPUANG" Artinya : Orang Wajo adalah orang merdeka masih dalam kandungan sudah merdeka, dilahirkan sebagai orang merdeka, hanya hukum yang dipertuan" Untuk lebih mengetahui lebih jauh anda dapat membuka blog saya tomalebbirisanisyam@go.id
Posting Komentar