BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
metode pembelajaran Contextual Teaching Learning, penerapannya serta hasil dari
penerapan CTL bagi siswa dan guru
1.1
Contextual
Teaching Learning
Pendekatan kontektual
atau sering disebut dengan Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan
konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan
dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai
anggota keluarga dan masyarakat.
Dengan
konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses
pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami,
bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih
dipentingkan daripada hasil
Dalam kelas
kontektual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya,
guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas
guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan
sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari
menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola
dengan pendekatan.
Contextual
Teaching and Learning (CTL) adalah sistem pembelajaran yang cocok dengan
kinerja otak, untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna, dengan cara
menghubungkan muatan akademis dengan konteks kehidupan sehari-hari peserta
didik. Hal ini penting diterapkan agar informasi yang diterima tidak hanya
disimpan dalam memori jangka pendek, yang mudah dilupakan, tetapi dapat
disimpan dalam memori jangka panjang sehingga akan dihayati dan diterapkan
dalam tugas pekerjaan.
CTL disebut
pendekatan kontektual karena konsep belajar yang membantu guru mengaitkan
antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong
siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya
dalam kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat.
Menurut
teori pembelajran kontekstual, pembelajaran terjadi hanya ketika siswa (peserta
didik) memproses informasi atau pengetahuan baru sedemikian rupa sehingga dapat
terserap kedalam benak mereka dan mereka mampu menghubungannya dengan kehidupan
nyata yang ada di sekitar mereka. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa pikiran
secara alami akan mencari makna dari hubungan individu dengan linkungan
sekitarnya.
Berdasarkan
pemahaman di atas, menurut metode pembelajaran kontekstual kegiatan
pembelajaran tidak harus dilakukan di dalam ruang kelas, tapi bisa di
laboratorium, tempat kerja, sawah, atau tempat-tempat lainnya. Mengharuskan
pendidik (guru) untuk pintar-pintar memilih serta mendesain linkungan belajar
yang betul-betul berhubungan dengan kehidupan nyata, baik konteks pribadi,
sosial, budaya, ekonomi, kesehatan, serta lainnya, sehingga siswa memiliki
pengetahuan/ ketrampilan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri
secara aktif pemahamannya.
1.2
Penerapan
Metode Contextual Teaching Learning
Sebenarnya
ada banyak cara dalam menerapkan metode pembelajaran dengan CTL. Intinya dalam
metode CTL ( Contextual Teaching Learning) adalah adanya keterkaitan materi
dengan contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari supaya siswa lebih bisa
memahami materi yang sudah di sampaikan oleh Guru. Dan dalam pratik penerapan
dari metode ini seperti siwa diajak langsung berinteraksi dengan lingkungan
sekitar. Seperti belajar Biologi langsung praktek di sawah atau di
labolatorium, belajar ekonomi langsung melihat kegiatan ekonomi di pasar,
belajar agama siswa diajak langsung ke pesantren melihat kegiatan keagamaan di
lingukungan sekitar dan masih banyak lagi cara yang bisa di praktikan dalam
metode pmbelajaran CTL.
Metode
pembelajaran CTL, kegiatan pembelajaran tidak harus di dalam kelas tapi bisa di
labolatorium, sawah, tempat kerja dan tempat lainnya. Mengharuskan seorang
pendidik (guru) untuk pintar-pintar memilih serta mendesain linkungan belajar
yang betul-betul berhubungan dengan kehidupan nyata, baik konteks pribadi,
sosial, budaya, ekonomi, kesehatan, serta lainnya, sehingga siswa memiliki
pengetahuan/ ketrampilan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi
sendiri secara aktif pemahamannya.
Dalam
linkungan seperti itu, para siswa dapat menemukan hubungan bermakna antara
ide-ide abstrak dengan aplikasi praktis dalam konteks dunia nyata; konsep
diinternalisasi melalui menemukan, memperkuat, serta menghubungkan. Sebagai
contoh, kelas fisika yang mempelajari tentang konduktivitas termal dapat
mengukur bagaimana kualitas dan jumlah bahan bangunan mempengaruhi jumlah
energi yang dibutuhkan untuk menjaga gedung saat terkena panas atau terkena
dingin. Atau kelas biologi atau kelas kimia bisa belajar konsep dasar ilmu alam
dengan mempelajari penyebaran AIDS atau cara-cara petani bercocok tanam dan
pengaruhnya terhadap lingkungan.
Dengan
menerapkan CTL tanpa disadari pendidik telah mengikuti tiga prinsip ilmiah
modern yang menunjang dan mengatur segala sesuatu dialamsemesta,yaitu:
1)
Prinsip kesaling-bergantungan mengajarkan
bahwa segala sesuatu di alam semesta saling bergantung dan saling berhubungan.
Dalam CTL prinsip kesaling-bergantungan mengajak para pendidik untuk mengenali
keterkaitan mereka dengan pendidik lainnya, dengan siswa-siswa, dengan masyarakat
dan dengan lingkungan. Prinsip kesaling-bergantungan mengajak siswa untuk
saling bekerjasama, saling mengutarakan pendapat, saling mendengarkan untuk
menemukan persoalan, merancang rencana, dan mencari pemecahan masalah. Prinsipnya
adalah menyatukan pengalaman-pengalaman dari masing-masing individu untuk
mencapai standar akademik yang tinggi.
2)
Prinsip diferensiasi merujuk
pada dorongan terus menerus dari alam semesta untuk menghasilkan keragaman,
perbedaan dan keunikan. Dalam CTL prinsip diferensiasi membebaskan para siswa
untuk menjelajahi bakat pribadi, memunculkan cara belajar masing-masing
individu, berkembang dengan langkah mereka sendiri. Disini para siswa diajak
untuk selalu kreatif, berpikir kritis guna menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.
3)
Prinsip pengaturan diri menyatakan
bahwa segala sesuatu diatur, dipertahankan dan disadari oleh diri sendiri.
Prinsip ini mengajak para siswa untuk mengeluarkan seluruh potensinya. Mereka
menerima tanggung jawab atas keputusan dan perilaku sendiri, menilai
alternatif, membuat pilihan, mengembangkan rencana, menganalisis informasi,
menciptakan solusi dan dengan kritis menilai bukti. Selanjutnya dengan
interaksi antar siswa akan diperoleh pengertian baru, pandangan baru sekaligus
menemukan minat pribadi, kekuatan imajinasi, kemampuan mereka dalam bertahan
dan keterbatasan kemampuan.
. Dalam
pembelajaran kontekstual guru dituntut membantu siswa dalam mencapai tujuannya.
Maksudnya adalah guru lebih berurusan dengan strategi dari pada memberi
informasi. Di sini guru hanya mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja
sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi siswa. Kegiatan belajar mengajar
(KBM) lebih menekankan Student Centered daripada Teacher Centered. Menurut
Depdiknas guru harus melaksanakan beberapa hal sebagai berikut: 1) Mengkaji
konsep atau teori yang akan dipelajari oleh siswa. 2) Memahami latar belakang
dan pengalaman hidup siswa melalui proses pengkajian secara seksama. 3)
Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa yang selanjutnya
memilih dan mengkaiykan dengan konsep atau teori yang akan dibahas dalam
pembelajaran kontekstual. 4) Merancang pengajaran dengan mengkaitkan konsep
atau teori yang dipelajari dengan mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki
siswa dan lingkungan hidup mereka. 5) Melaksanakan penilaian terhadap pemahaman
siswa, dimana hasilnya nanti dijadikan bahan refeksi terhadap rencana
pemebelajaran dan pelaksanaannya.
Kurikulum
dan pengajaran yang didasarkan pada strategi pembelajaran kontekstual harus
disusun untuk mendorong lima bentuk pembelajaran penting: Mengaitkan,
Mengalami, Menerapkan, Kerjasama, dan Mentransfer.
·
MENGAITKAN: Belajar dalam konteks
pengalaman hidup, atau mengaitkan. Guru menggunakan strategi ini ketia ia
mengkaitkan konsep baru dengan sesuatu yang sudah dikenal siswa. Jadi dengan
demikian, mengaitkan apa yang sudah diketahui siswa dengan informasi baru.
Kurikulum yang berupaya untuk menempatkan pembelajaran dalam konteks pengalaman
hidup harus bisa membuat siswa memperhatian kejadian sehari-hari yang mereka
lihat, peristiwa yang terjadi di sekitar, atau kondisi-kondisi tertentu, lalu
mengubungan informasi yang telah mereka peroleh dengan pelajaran kemudian
berusaha untuk menemukan pemecahan masalah terhadap permasalahan tersebut.
·
MENGALAMI: Belajar dalam konteks
eksplorasi, mengalami. Mengalami merupakan inti belajar kontekstual dimana
mengaitkan berarti menghubungkan informasi baru dengan pengelaman maupun
pengetahui sebelumnya. Belajar dapat terjadi lebih cepat ketika siswa dapat
memanipulasi peralatan dan bahan-bahan dan untuk melakukan bentuk-bentuk
penelitian aktif.
·
MENERAPKAN: Menerapkan konsep-konsep
dan informasi dalam konteks yang bermanfaat bagi diri siswa. Siswa menerapkan
suatu konsep ketika ia malakukan kegiatan pemecahan masalah. Guru dapat
memotivasi siswa dengan memberikam latihan yang realistik dan relevan.
·
KERJASAMA: Belajar dalam konteks
berbagi, merespons, dan berkomunikasi dengan siswa lain adalah strategi
pengajaran utama dalam pengajaran kontekstual. Siswa yang bekerja secara
individu sering tidak membantu kemajuan yang signifikan. Sebaliknya, siswa yang
bekerja secara kelompok sering dapat mengatasi masalah yang komplek dengan
sedikit bantuan. Pengalaman bekerja sama tidak hanya membantu siswa mempelajari
materi, juga konsisten dengan dunia nyata. Seorang karyawan yang dapat
berkomunikasi secara efektif, yang dapat berbagi informasi dengan baik, dan
yang dapat bekerja dengan nyaman dalam sebuah tim tentunya sangat dihargai di
tempat kerja. Oleh karena itu, sanat penting untuk mendorong siswa
mengembangkan keterampilan bekerja sama ini.
·
MENTRASFER: Belajar dalam konteks
pengetahuan yang ada, atau mentransfer, menggunakan dan membangun atas apa yang
telah dipelajari siswa. Peran guru membuat bermacam-macam pengelaman belajar
dengan focus pada pemahaman bukan hapalan.
1.3
Hasil dari
penerapan metote pembelajran Contextual Teaching Learning
Tujuan utama
dari penerapan pembelajaran dengan menggunakan CTL sebenarnya adalah membantu
siswa dalam memahami dan membangun pengetahuannya yang mengajarkan pada
pembelajaran yang sesuai dengan kenyataan. Hasil dari penerapan CTL adalah
siswa di harapakan dapat :
1)
Siswa belajar melalui sebuah proses
belajar mengajar dimana siswa sendiri secara mental membangun pengetahuannya,
yang dilandasi oleh pengetahuannya sendiri
2)
Siswa belajar aktif dengan cara
kegiatan menemukan (inquiry) dengan kegiatan ini siswa banyak mengalami
pengalaman baru seperti observasi.
3)
Merangsang rasa pengetahuan siswa
dalam mengolah pertanyaan sehingga siswa aktif dalam menggali pengetahuan.
4)
Siswa lebih akrab dengan
lingkungannya seperti belajar langsung terjun ke masyarakat, sharing, diskusi.
Terlibat komunikasi 2 kelompok atau lebih yang saling belajar dan mengajar
5)
Dari segi seorang pendidik juga di
tuntut untuk lebih kreatif dalam melakukan model pembelajaran sehingga dapat
memahamkan siswa
6)
Adanya refleksi atau pengulangan
kembali materi sehingga antara guru dengan siswa sama-sama saling membantu
untuk menuntaskan materi atau pun untuk mereview kwmbali materi yang sudah
dipelajari
7)
Penilaian sebenarnya diperolah dari
perubahan dari proses pembelajaran yang dilakukan secara aktif dan produktif.
Kelebihan & Kekurangan Contextual Teaching and Learning
Kelebihan
1. Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswa dituntut untuk dapat menagkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sihingga tidak akan mudah dilupakan.
2. Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena metode pembelajaran CTL menganut aliran konstruktivisme, dimana seorang siswa dituntun untuk menemukan pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis konstruktivisme siswa diharapkan belajar melalui ”mengalami” bukan ”menghafal”.
Kelemahan
1. Guru lebih intensif dalam membimbing. Karena dalam metode CTL. Guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan ketrampilan yang baru bagi siswa. Siswa dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya. Dengan demikian, peran guru bukanlah sebagai instruktur atau ” penguasa ” yang memaksa kehendak melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.
2. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide–ide dan mengajak siswa agar dengan menyadari dan dengan sadar menggunakan strategi–strategi mereka sendiri untuk belajar. Namun dalam konteks ini tentunya guru memerlukan perhatian dan bimbingan yang ekstra terhadap siswa agar tujuan pembelajaran sesuai dengan apa yang diterapkan semula.
Kelebihan
1. Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswa dituntut untuk dapat menagkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sihingga tidak akan mudah dilupakan.
2. Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena metode pembelajaran CTL menganut aliran konstruktivisme, dimana seorang siswa dituntun untuk menemukan pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis konstruktivisme siswa diharapkan belajar melalui ”mengalami” bukan ”menghafal”.
Kelemahan
1. Guru lebih intensif dalam membimbing. Karena dalam metode CTL. Guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan ketrampilan yang baru bagi siswa. Siswa dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya. Dengan demikian, peran guru bukanlah sebagai instruktur atau ” penguasa ” yang memaksa kehendak melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.
2. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide–ide dan mengajak siswa agar dengan menyadari dan dengan sadar menggunakan strategi–strategi mereka sendiri untuk belajar. Namun dalam konteks ini tentunya guru memerlukan perhatian dan bimbingan yang ekstra terhadap siswa agar tujuan pembelajaran sesuai dengan apa yang diterapkan semula.
2.
Mastery
Learning, penerapan Mastery Learning serta kelebihan dan kekurangan metode
Mastery Learning
1.1
Mastery
Learning
Pembelajaran
tuntas (mastery learning) adalah pendekatan dalam pembelajaran yang
mempersyaratkan peserta didik menguasai secara tuntas seluruh standar
kompetensi maupun kompetensi dasar mata pelajaran tertentu.
Pembelajaran tuntas dilakukan dengan
pendekatan diagnostik. Strategi pembelajaran tuntas sebenarnya menganut
pendekatan individual.
Landasan
konsep dan teori tentang Mastery Learning adalah pandangan tentang kemampuan
siswa yang dikemukakan oleh John B. Carroll pada tahun 1963 berdasarkan
penemuannya yaitu “Models of School Learning”. Manfaat model yang telah
ditemukan Carroll ini secara essensial merupakan suatu paradigma konseptual
yang mana garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi kesuksesan siswa belajar
di sekolah ditunjukkan dengan bagaimana faktor-faktor tersebut diinteraksikan.
Di sini Carroll menemukan bahwa bakat siswa tidak diramal hanya pada tingkat
dimana dia belajar dalam suatu waktu yang diberikan, tetapi juga menyangkut
banyaknya waktu yang dia perlukan untuk belajar pada tingkat tersebut. Dalam
hal ini Carroll mendefinisikan bahwa bakat sebagai tolok ukur untuk mengetahui
banyaknya waktu yang diperlukan siswa untuk belajar dari satuan pelajaran untuk
memberikan criteria terhadap kondisi pembelajaran yang ideal.
Menurut
Carroll bakat atau pembawaan bukanlah kecerdasan alamiah, melainkan jumlah
waktu yang diperlukan oleh siswa untuk menguasai suatu materi pelajaran
tertentu. Waktu yang diperlukan telah ditunjukkan dengan banyaknya waktu dari
siswa yang akan diperlukan secara aktif akan dipengaruhi dalam belajar (yaitu:
ketekunan) dan total waktu belajar yang dia perlukan. Waktu belajar
masing-masing siswa yang diberikan ditentukan oleh kecerdasannya, kualitas
pembelajarannya, dan kemampuannya untuk memahami pembelajaran.
Benyamin S.
Bloom (1968) dalam hasil kerjanya “learning for mastery theory and practice”
mengembangkan atau mengoperasionalkan “Models of School Learning” nya John B.
Carroll (1963). Pengembangan itu berupa penyusunan suatu strategi Mastery
Learning dalam pelaksanaan proses belajar mengajar. Inti dari strategi tersebut
adalah “jika kepada siswa diberikan waktu yang cukup (sufficient) dan mereka
diperlakukan secara tepat (appropriate threatment), maka mereka akan mampu dan
dapat belajar sesuai dengan tuntutan dan sasaran yang diharapkan.Bloom (1968)
telah mentransformasikan model konsep Mastery Learning ini ke dalam model kerja
yang efektif. Jika kecerdasan diprediksi dari dasar, dengan tidak
memperhitungkan tingkatan, seorang siswa dapat diberikan tugas yang dapat
digunakan untuk menetapkan tingkat keberhasilan belajar. Diharapkan siswa di
beberapa level ketuntasan dan secara sistematis memanipulasi variable pembelajaran
di model Carroll sehingga semua atau bahkan hampir semua siswa akan mencapai
ketuntasan ini. Menurut Bloom, jika siswa didistribusikan secara normal dengan
respek pada kemampuan untuk suatu subyek dan jika mereka telah diberikan
pembelajaran dengan kualitas dan waktu belajar yang sama, maka pencapaian pada
ketuntasan masing-masing subyek akan didistribusikan secara normal. Selanjutnya
hubungan antara kecerdasan dan kemampuan akan menjadi tinggi.
Tetapi, jika siswa didistribusikan secara normal pada kecerdasan masing-masing kualitas optimal yang diterima pada pembelajaran dan waktu belajar disesuaikan dengan level masing-masing siswa maka kebanyakan siswa diharapkan dapat mencapai ketuntasan.
Tetapi, jika siswa didistribusikan secara normal pada kecerdasan masing-masing kualitas optimal yang diterima pada pembelajaran dan waktu belajar disesuaikan dengan level masing-masing siswa maka kebanyakan siswa diharapkan dapat mencapai ketuntasan.
Secara
singkat dijelaskan di sini, Bloom malaksanakan konsep Mastery Learning ke dalam
kelas melalui proses pembelajaran yang pelaksanaannya sebagai berikut: 1)
Membagi satuan pelajaran yang disediakan waktu belajar yang tetap dan pasti, 2)
Tingkat penguasaan materi dirumuskan sebagai tingkat penguasaan tujuan pendidikan
yang essensial.
Dari model
Carroll dan Bloom seperti yang telah dijelaskan di atas secara singkat, untuk
lebih menggalakkan konsep Mastery Learning James H. Block mencoba memampatkan
waktu yang diperlukan untuk mempelajari suatu materi pelajaran dalam waktu yang
tersedia, yaitu dengan cara meningkatkan semaksimal mungkin kualitas
pembelajaran. Jadi dalam pelaksanaannya mengandung arti bahwa: 1) Waktu yang
sebenarnya digunakan diusahakan diperpanjang semaksimal mungkin, 2) Waktu yang
tersedia diperpendek sampai semaksimal mungkin dengan cara memberikan pelayanan
yang optimal dan tepat.
1.2
Penerapan
Metode Pembelajaran Mastery Learning
Cara Kerja Mastery Learning
Intinya, Mastery Learning
menyempurnakan tujuan pembelajaran dengan mengerjakan tiga (3) hal: a)
memberikan siswa perbedaan jumlah waktu untuk mencapai tujuan bahan ajar, b)
memberikan penambahan waktu atau remedial untuk siswa yang belum menyelesaikan
bahan ajar dengan cepat, c) mengatur satuan kurikulum yang berbeda, yang mana
masing-masing siswa dapat diajar dan dievaluasi secara terpisah dari yang lain.
Untuk lebih jelasnya akan kami coba untuk menguraikan masing-masing tahap cara
kerja Mastery Learning.
1)
Menyediakan
waktu pencapaian tujuan
Mastery
Learning biasanya mengambil hubungan antara waktu dan prestasi siswa di
sekolah. Sebagai ganti alokasi banyaknya waktu belajar yang ditetapkan dan
mengikuti tingkat kecerdasan siswa yang beragam, maka Mastery Learning
mengharuskan semua siswa untuk mencapai suatu unit belajar tertentu dan memberikan
waktu yang diperlukan untuk menguasai unit belajar tersebut secara berbeda-beda
antar individu. Dengan kata lain secara sederhana seorang guru harus
mencurahkan waktu ekstra untuk siswa yang perlu waktu yang relative lama untuk
memahami suatu unit belajar.
Guru yang
menggunakan pendekatan Mastery Learning berasumsi bahwa dengan memberikan cukup
waktu dan pertolongan yang tepat, sebenarnya semua siswa cepat atau lambat akan
sampai pada ketuntasan unit belajar tersebut. Contoh konkrit yang bisa
diberikan di sini, misalkan jika satu unit belajar yang mengharuskan siswa
untuk menuntaskan pelajaran matematika pada konsep mencari luas bidang datar,
pada akhirnya semua siswa harus menguasai konsep ini, sekalipun antara siswa
yang satu dengan yang lain berbeda jangka waktu pencapaiannya. Contoh, Suto
kebetulan siswa terpandai di kelas dan dia hanya perlu waktu 2 X 45 menit untuk
menguasai konsep ini. Tetapi hal ini tidak berlaku untuk Noyo, Kamto, dan siswa
yang lain yang notabene ada di bawah Suto tingkat pencapaian ketuntasannya.
Mungkin ada yang perlu waktu 2 minggu, 3 minggu atau bahkan lebih dari
waktu-waktu tersebut. Bagaimana siswa dapat menuntaskan suatu konsep belajar
sangat ditentukan pada bagaimana dengan cepat mereka dapat belajar.
2)
Memberikan
Perbaikan Pembelajaran
Dalam rangka
mengambil keuntungan dari fleksibilitas waktu belajar, pendekatan mastery
menawarkan pembelajaran ekstra, yang disebut dengan perbaikan pembelajaran
(corrective instruction), untuk siswa yang terlalu lama memahami tujuan pembelajaran.
Corrective instruction ini dapat dalam bentuk tutorial secara individu atau
pembelajaran dalam bentuk kelompok kecil yang disesuaikan pada pengulangan
ketidakfahaman atau kebingungan yang dihadapi siswa.
Perbaikan
pembelajaran dapat terjadi selama jam pembelajaran berlangsung ataupun di luar
jam pembelajaran. Misalnya pada jam istirahat, waktu makan siang, ataupun jam
setelah sekolah selesai. Contoh kasus, misalnya dalam pelajaran matematika,
siswa akan dikategorikan belum tuntas (dari tingkat ketuntasan yang ditargetkan
90% tes tiap unit belajar), maka siswa akan ada pada criteria perbaikan
pembelajaran.
Pada
perbaikan ini bisa saja digunakan metode dan media mengajar yang berbeda tetapi
tetap pada konsep/unit yang sama dan bekerja ke arah yang sama pula secara
obyektif sebagaimana sebelumnya. Akhirnya siswa akan dibawa pada tes lain pada
unit tersebut, dan jika mereka masih belum beranjak dari daerah kriteria belum
tuntas, mereka masih akan perlu perbaikan pembelajaran sampai akhirnya mereka
berhasil. Setelah mereka mencapai ketuntasan akan diijinkan untuk melangkah
pada unit selanjutnya.
3)
Mangatur
Satuan Kurikulum
Untuk
membuat perbaikan pembelajaran yang efektif, dalam Mastery Learning guru-guru
juga perlu mengatur kurikulum ke dalam satuan pelajaran yang berlainan,
masing-masing difokuskan pada satuan khusus pembelajaran yang obyektif. Fokus
pendekatan guru pada awal pembelajaran lebih jelas dan membantu memonitor
perkembangan siswanya. Selanjutnya mendesain tes dasar pada tiap unit secara
tepat. Keuntungannya adalah membantu para guru merencanakan perbaikan
pembelajaran yang tepat dan benar-benar membantu.
Pada sekolah
umum, Mastery Learning hampir pasti dikatakan cocok pada periode dan waktu
pembelajaran, walaupun masih diperlukan schedule yang fleksibel. Oleh karena
itu, solusi terbanyak yang direkomendasikan pada Mastery Learning adalah dengan
menggunakan group-based mastery learning, yaitu Mastery Learning yang
didasarkan pada penggunaan pendekatan secara kelompok (Block & Anderson,
1975; Slavin, 1987b).
Dalam
group-based Mastery Learning, meskipun siswa bekerja secara kelompok secara
perorangan siswa bertanggung jawab terhadap belajarnya sendiri dan akan lebih
memotivasi siswa jika dalam belajar kelompok tersebut ada pemberian reward
dengan mempertimbangkan kerjasama antar anggota kelompok, misalnya dengan
memberikan bonus nilai pada setiap anggota kelompok, apabila seluruh anggota
kelompok mencapai skor tertentu dalam suatu tes. Dengan demikian diharapkan
rasa kerjasama, saling membantu dan tanggung jawab diharapkan akan ada dan
memotivasi belajar siswa itu sendiri. Karena keberhasilan kelompok berarti
keberhasilan seluruh anggota kelompok.
PRINSIP-PRINSIP
PEMBELAJARAN TUNTAS
1.
Kompetensi yang harus dicapai peserta didik dirumuskan dengan urutan yang
hirarkis,
2. Penilaian
acuan patokan, dan setiap kompetensi harus diberikan feedback,
3. Pemberian
pembelajaran remedial serta bimbingan yang diperlukan, 4. Pemberian program
pengayaan bagi peserta didik yang mencapai ketuntasan belajar lebih awal.
Metode
Pembelajaran
Dalam
pembelajaran tuntas, metode pembelajaran yang sangat ditekankanadalah
pembelajaran individual, pembelajaran dengan teman atau sejawat (peer
instruction), dan bekerja dalam kelompok kecil. Berbagai jenis metode (multi
metode) pembelajaran harus digunakan untuk kelas atau kelompok.
Pembelajaran
tuntas lebih efektif menggunakan pendekatan tutorialdengan sesion-sesion
kelompok kecil, tutorial orang perorang, pembelajaran terprogram, buku-buku
kerja, permainan dan pembelajaran berbasis komputer (Kindsvatter, 1996)
Peran
Peserta Didik
Peserta
didik sebagai subjek didik. Fokus pada `Peserta didik dan yang akan
dikerjakannya’. Kemajuannya bertumpu pada usaha serta ketekunannya secara
individual.
Peran Guru
Pada Pembelajaran Tuntas
1.
Menjabarkan KD (Kompetensi Dasar) ke dalam satuan-satuan (unit-unit) yang lebih
kecil dengan memperhatikan pengetahuan prasyarat.
2. Menata
indikator berdasarkan cakupan serta urutan unit.
3.
Menyajikan materi dengan metode dan media yang sesuai.
4. Memonitor
seluruh pekerjaan peserta didik.
5. Menilai
perkembangan peserta didik dalam pencapaian kompetensi (kognitif, psikomotor,
dan afektif).
6.
Menggunakan teknik diagnostik.
7.
Menyediakan sejumlah alternatif strategi pembelajaran bagi peserta didik yang
mengalami kesulitan.
1.3
Kelebihan
serta Kekurangan metode Mastery Learning
Kelebihan
Mastery Learning
Mastery Learning menawarkan
kemungkinan yang mengasyikan bagi yang akan menggunakan dan/atau
mempelajarinya. Para guru akan mencari sebagaimana yang mereka pahami dan
mencari penjelasan di sini bahwa: pertama, Mastery Learning memberi suatu
pikiran yang efisien dan efektif untuk mentransformasikan pendekatan yang
didasarkan pada group-based mastery learning ke dalam kualitas pembelajaran
secara optimal masing-masing siswa. Oleh karena itu, prosedur ketuntasan akan
bermanfaat pada masing-masing guru untuk membuat investasi dan usaha dalam
group-based mastery learning yang memberi hasil dalam bentuk ketuntasan belajar
hampir pada semua siswa, tidak hanya pada beberapa siswa.
Kedua, strategi Mastery Learning
relatif mudah dan murah. Artinya menyesuaikan metode pembelajaran yang ada,
bahan yang diperlukan, dan karakteristik dari semua siswa sehingga dapat
menjadi tawaran bagi siswa-siswa untuk memenuhi pengembangan siswa. Ketiga,
dengan menggunakan pendekatan mastery pengatur kurikulum (administrator) dapat
melakukan perubahan besar di sekolah-sekolah sehingga diharapkan segala
distribusi pencapaian cenderung naik. Mereka dapat memastikan bahwa masing-masing
siswa diberi kemampuan, perhatian/minat, dan sikap yang mana akan mendorongnya
untuk menyelesaikan suatu level tertentu dan untuk melihat keuntungan dari
suatu belajar. Mereka juga dapat memastikan bahwa masing-masing siswa akan
memperoleh pengalaman kesuksesan belajar yang akan membantu memperkuat
kepercayaan dirinya dan membentenginya melawan rasa minder.
Manfaat pendekatan Mastery Learning
yang lain dikemukakan oleh Guskey & Gates, 1986, pertama, Mastery Learning
memotivasi siswa karena akan membangun rasa percaya diri mereka bahwa semua
dari mereka dapat menguasai tujuan pendidikan secara pasti. Lebih lanjut,
Mastery Learning menuntut bahwa komunikasi adalah faktor esensi dari tujuan
tersebut. Mastery menjadi lebih dari hanya sekedar sesuatu yang biasanya hanya
dapat dicapai oleh sedikit siswa. Kedua, ketika direncanakan dengan baik,
mastery membuat belajar dan pembelajaran menjadi lebih efisien. Siswa menjadi
tahu bahwa mereka perlu belajar, dan guru tahu bahwa mereka perlu untuk memberi
bantuan macam apa yang secara individu diperlukan siswa. Dengan demikian siswa
yang paling lambanpun bisa tetap terangkum dalam bimbingan untuk mengejar yang
lain sampai mencapai ketuntasan.
Kekurangan
Mastery Learning
Tetapi walaupun manfaat mastery
learning, seperti yang telah diuraikan di atas, tetap saja sistem tersebut
tidaklah sempurna. Masalah utama yang paling dirasakan terletak pada inti dari
pendekatan Mastery Learning: dalam setting sekolah umum, waktu pembelajaran
terlalu beragam (Slavin, 1987b). Jika guru memberikan perbaikan dalam jam
kelas, maka perhatian guru secara kontinyu terpecah antara siswa pandai dan
siswa kurang pandai. Dan hal ini kadang-kadang secara tidak disadari oleh guru
telah menghabiskan waktu lebih lama sengan siswa yang lamban, Sehingga bagi
siswa yang cepat mengerti akan merasa banyak waktu terbuang hanya untuk
menunggu siswa lain yang belum memahami pelajaran.
Memberikan perbaikan pembelajaran di
luar jam kelas juga mempunyai kendala. Salah satunya, hal ini akan menambah jam
kerja guru secara substansi, tidak realistik pada peluang guru untuk menambah
jam lembur mereka pada substansi dasar. Akibatnya, yang paling banyak
dipersembahkan guru mungkin tidak dapat memberikan siswa yang paling lamban
cukup waktu ekstra untuk mencapai ketuntasan. Dengan demikian, guru-guru
sepertinya tidak membuang waktu mengajar terlalu banyak atau sedikit untuk
kelas tersebut, dan siswa-siswa yang “lamban”pun tetap terangkum dalam
bimbingan.
Kesimpulan
1.
Pendekatan kontektual atau sering
disebut dengan Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep belajar
yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia
nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga
dan masyarakat.
Dengan
konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses
pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan
mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi
pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil
Metode
pembelajaran CTL, kegiatan pembelajaran tidak harus di dalam kelas tapi bisa di
labolatorium, sawah, tempat kerja dan tempat lainnya. Mengharuskan seorang
pendidik (guru) untuk pintar-pintar memilih serta mendesain linkungan belajar
yang betul-betul berhubungan dengan kehidupan nyata, baik konteks pribadi,
sosial, budaya, ekonomi, kesehatan, serta lainnya, sehingga siswa memiliki
pengetahuan/ ketrampilan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi
sendiri secara aktif pemahamannya
2. Pembelajaran
tuntas (mastery learning) adalah pendekatan dalam pembelajaran yang
mempersyaratkan peserta didik menguasai secara tuntas seluruh standar
kompetensi maupun kompetensi dasar mata pelajaran tertentu. Pembelajaran tuntas
dilakukan dengan pendekatan diagnostik. Strategi pembelajaran tuntas sebenarnya
menganut pendekatan individual.
Mastery
Learning menawarkan kemungkinan yang mengasyikan bagi yang akan menggunakan
dan/atau mempelajarinya. Para guru akan mencari sebagaimana yang mereka pahami
dan mencari penjelasan di sini bahwa: pertama, Mastery Learning memberi suatu
pikiran yang efisien dan efektif untuk mentransformasikan pendekatan yang
didasarkan pada group-based mastery learning ke dalam kualitas pembelajaran
secara optimal masing-masing siswa. Oleh karena itu, prosedur ketuntasan akan
bermanfaat pada masing-masing guru untuk membuat investasi dan usaha dalam
group-based mastery learning yang memberi hasil dalam bentuk ketuntasan belajar
hampir pada semua siswa, tidak hanya pada beberapa siswa.
Daftar Rujukan
Diringkas
Dari Berbagai Sumber:
What is Contextual Teaching and Learning
The REACT Strategy
Menyusun Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)
Pendekatan Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL)
What is Contextual Teaching and Learning
The REACT Strategy
Menyusun Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)
Pendekatan Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL)
Abin Syamsuddin, Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan.Bandung:
Rosda Karya
Remaja.
Dedi Supriawan dan A. Benyamin Surasega, 1990. Strategi
Belajar Mengajar
(DiktatKuliah). Bandung: FPTK-IKIP Bandung.
Udin S. Winataputra. 2003.Strategi Belajar Mengajar . Jakarta: Pusat Penerbitan
Universitas Terbuka.
Wina Senjaya. 2008. Strategi
Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses
Pendidikan.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Beda Strategi, Model, Pendekatan, Metode, dan Teknik
Pembelajaran
http.eni tititkusumawati/ mastery learning.com