Diberdayakan oleh Blogger.

Labels

Blogger news

Blogger templates

RSS

catatan perjalan menempuh S1

cacatan perjalanan menempuh S1

konsensus dan konflik dalam prespektif antropologi


B.PEMBAHASAN
1.      Konflik dan Kosensus
a.      Konflik
Konfik secara etimologi berasal dari kata kerja latin configere yang berarti saling memukul.[1] Secara terminologi dalam sudut pandang sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik merupakan suatu gejala yang umumnya muncul sebagai akibat dari interaksi manusia dalam hidup bermasyarakat. Konflik akan timbul ketika terjadi persaingan baik individu maupun kelompok. Konflik juga bisa dipicu karena adanya perbedaan pendapat antara komponen-komponen yang ada di dalam masyarakat membuatnya saling mempertahankan ego dan memicu timbulnya pertentangan. Bukan hanya di masyarakat konflik juga bisa terjadi di satuan kelompok masyarakat terkecil, keluarga, seperti konflik antar saudara atau suami-istri.
Beberapa pengertian konflik atau definisi konflik yang dikeluarkan oleh beberapa ahli.Dr. Robert M.Z. Lawang, mengatakan bahwa konflik adalah perjuangan untuk memperoleh nilai, status, kekuasaan, dimana tujuan dari mereka yang berkonflik, tidak hanya memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk menundukkan saingannya. Sedangkan menurut Soerjono Soekanto, konflik adalah proses sosial dimana orang atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lain yang disertai ancaman dan kekerasan.
Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan. Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules, 1994:249).
Teori Konflik
Teori ini bukanlah suatu teori yang terpadu ataupun komprehensif. Mungkin karena alasan inilah teori konflik kedengarannya kurang begitu cocok untuk diangkat sejajar dengan teori- teori sosiologi lainnya. Fokus kajiannya adalah mengenal dan menganalisis kehadiran konflik dalam kehidupan sosial, sebab, dan bentuknya, serta akibatnya dalam perubahan sosial. Namun, sejak tahun 1950-an teori konflik menjadi populer sebagai oposisi terhadap Teori Fungsional Parsons yang dianggap berat sebelah pada konsesus nilai, integrasi, dan solidaritas. Menganggap pendekatan Parsons itu terlalu bersifat normatif, padahal dalam sistem tidak hanya tertib normatif tetapi juga substratum yang melahirkan konflik- konflik. Keduanya saling berpadu bergantian antara stabilitas dan insabilitas[2].
Pengabaian kenyataan- kenyataan diatas pendekatan fungsional dapat dipandang sebagai pendekatan reaksioner, dan mengabaikan realita sosial yang sebenarnya. Disinalah teori konflik mengusung beberapa asumsi yang dikembangkannya, antara lain (1) setiap masyarakat senantiasa berada didalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir, dengan perkataan lain perubahan sosial merupakan gejala yang merekat pada setiap masyarakat (2) setiap masyarakat mengandung konflik- konflik didalam dirinya, atau dengan perkataan lain konflik adalah gejala yang merekat pada masyarakat
Para ahli teori konflik mengakui kebesaran Marx sebagai pionir dan mewarikan teori ini hanya saja Ralf Dahrendorf, Lewis Coser, dan Randall Collins, yang dikenal pendukung teori konflik non-Marxis, memiliki pandangan yang berbeda.
Pendapat penting dari tokoh teori konflik non- Marxis lainnya, dikemukakan oleh Collins dalam karyanya Conflict Sociology: Toward an Explanatory Science. Sesungguh  model konfliknya ini lebih komprehensif dari sebelumnya karena kajian dia tidak hanya membatasi pada konflik ekonomi maupun konflik organisasi birokrasi. Modelnya ini dapat diterapkan pada bidang- bidang institusional apa saja, seperti keluarga, organisasi agama, komunitas intelektual ilmiah, politik, dan militer. Beberapa pernyataan yang terkenal adalah:
Terciptanya solidaritas emosional tidak menggantikan konflik, melainkan merupakan salah satu alat utama yang digunakan dalam konflik. Upacara- upacara emosional dapat digunakan untuk untuk dominasi dalam suatu kelompok atau organisasi, upacara- upacara itu merupakan wahana dengan persekutuan yang dibentuk dalam perjuangan melawan kelompok- kelompok lain, upacara- upacara itu dapat digunakan untuk menentukan hierarki prestise status dimana beberapa kelompok mendominasi kelompok lainnya dengan memberikan sesuatu yang ideal untuk menyamakan kondisi- kondisi orang bawahan itu[3].
Faktor Penyebab Konflik
1).Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
2).Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
3).Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok. Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
4).Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
Jenis-Jenis Konflik                                                           
Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 6 macam :
1)      konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role))
2)      Konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
3)      Konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
4)      Konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara)
5)      Konflik antar atau tidak antar agama
6)      Konflik antar politik.



Akibat Konflik
Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut :
1)      meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan kelompok lain.
2)      keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
3)      perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga dll.
4)      kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
5)      dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut:
• Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
• Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk “memenangkan” konflik. Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan percobaan yang memberikan “kemenangan” konflik bagi pihak tersebut
Fungsi Konflik
Achmad Fedyani Saifudin (1986) menyebutkan fungsi konflik sebagai berikut:
1) Konflik berfungsi mencegah dan mempertahankan identitas dan batas-batas kelompok sosial dan masyarakat. 
2)Konflik dapat melenyapkan unsur-unsur yang memecah belah dan menegakkan kembali persatuan. Konflik dapat meredakan ketegangan antara pihak-pihak yang bertentangan sehingga dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa konflik berfungsi sebagai stabilisator sistem sosial. 
3) Konflik suatu kelompok dengan kelompok lain menghasilkan mobilisasi energi para anggota kelompok yang bersangkutan sehingga kohesi setiap kelompok ditingkatkan. 
4) Konflik dapat menciptakan jenis-jenis interaksi yang baru diantara pihak-pihak bertentangan yang sebelumnya tidak ada. Konflik berlaku sebagai rangsangan untuk menciptakan aturan-aturan dan sistem norma yang baru, yang mampu mengatur pihak-pihak yang bertentangan sehingga keteraturan sosial kembali terwujud. 
5) Konflik dapat mempersatukan orang-orang atau kelompok-kelompok yang tadinya tidak saling berhubungan. Koalisi dan organisasi dapat timbul dimana kepentingan pragmatik utama dan pelakunya terlibat.

b.      Konsensus
Konsensus adalah sebuah frasa untuk menghasilkan atau menjadikan sebuah kesepakatan yang disetujui secara bersama-sama antar kelompok atau individu setelah adanya perdebatan dan penelitian yang dilakukan dalam kolektif intelijen untuk mendapatkan konsensus pengambilan keputusan.[4] Konsensus yang dilakukan dalam gagasan abstrak, tidak mempunyai implikasi terhadap konsensus politik praktis akan tetapi tindak lanjut pelaksanaan agenda akan lebih mudah dilakukan dalam memengaruhi konsensus politik. Konsensus bisa pula berawal hanya merupakan sebuah pendapat atau gagasan yang kemudian diadopsi oleh sebuah kelompok kepada kelompok yang lebih besar karena bedasarkan kepentingan (seringkali dengan melalui sebuah fasilitasi) hingga dapat mencapai pada tingkat konvergen keputusan yang akan dikembangkan. Kesepakatan kata atau permufakatan bersama (mengenai pendapat, pendirian, dsb) yg dicapai melalui kebulatan suara
Konsensus menekankan pendapat bahwa bagian-bagian dari organisasi sosial, nilai-nilai, norma-norma, peranan-peranan, dan lembaga-lembaga (institusi) adalah kesatuan yang erat secara keseluruhan. Masyarakat mempunyai tujuan yang sama sepakat tentang apa yang benar dan apa yang tidak benar, dan digunakan dalam membantu perangkat kegiatan satu sama lain. Sehingga seseorang dapat dikatakan penjahat karena dasar-dasar konsensus dan mengancam stabilitas sosial secara keseluruhan.[5] Emile Durkheim (1964[1893]) berteori bahwa isi dan sifat umum Undang-undang tumbuh dari semacam “solidaritas” yang mencirikan masyarakat tersebut.
Undang-undang dibuat berdasarkan kesepakatan bersama dan terbentuk dari prilaku masyarakat itu sendiri ketika masyarakat melakukan tindakan-tindakan penyimpangan maka lahirlah aturan-aturan perundang-undangan tersebut untuk dapat mengontrol prilaku menyimpang yang ditimbulkan oleh masyarakat tersebut. Maka wajar ketika disuatu daerah atau negara  yang masyarakatnya terdapat banyak penyimpangan maka Undang-undangnya pun banyak mengalami perubahan maupun penambahan. Menurut Sumner (1906) bahwa pembuatan Undang-undang tidak dapat mengubah adat-istiadat dengan cepat dan mudah dan bahwa semua hukum mengalir secara langsung dari adat-istiadat atau bahwa hukum tidak dapat memasukan perubahan sosial manapun.
Jadi Undang-undang yang di buat tidak dapat berpengaruh secara langsung terhadap adat-istiadat maupun kebiasaan yang telah ada di dalam masyarakat, namun Undang-undang dapat mengikat setiap anggota dari masyarakat dengan aturan-aturan yang bersifat normatif sehingga tetap dapat mengontrol masyarakat secara umum dan luas.


c.       Konflik dan Konsensus di Indonesia dalam pandangan Antropologi
Konflik-konflik yang terjadi di Indonesia umumnya berkembang di sekeliling garis multikulturalitas masyarakat. Nuansa suku bangsa, etnis, agama, dan pelapisan sosial mewarnai konflik-konflik violence sekaligus vandal. Konflik yang menyeret wacana primordial umum terjadi dalam konflik di Kalimantan (antara etnis Madura, Melayu, dan Dayak), di Ambon, Poso, dan Halmahera (kaum migran, pribumi, Muslim, Nasrani, klien-klien elit politik), kerusuhan sosial dan etnis Mei 1998 di Jakarta, konflik Aceh, serta pembantaian 1966 di Jawa dan Bali, adalah sebagian konflik dalam aras ini.[6] 
Sebelum dilakukan pembahasan masing-masing konflik, terlebih dahulu dipaparkan sejumlah teori yang berupaya menjelaskan aneka alur konflik. Dari teori, sebab musabab konflik di Indonesia akan lebih mudah dipetakan. Pemahaman atas alur-alur konflik sekaligus diharapkan mampu memberi sumbangan bahwa kendati integrasi nasional Indonesia telah dibakukan, di arus bawah (juga level elit) konsensus nasional sesungguhnya masih terus berproses
Pendekatan Antropologis 
Sesuai namanya, pendekatan antropologis fokus pada aspek manusia selaku sumber konflik. Perhatian diberikan pada ada tidaknya mekanisme resolusi konflik dalam masyarakat. Akar-akar konflik yang diidentifikasi pendekatan ini umumnya adalah terdiri atas sengketa batas wilayah antarkelompok, kepemilikan sumberdaya, pola pengairan tanah, kepemimpinan, atau dinamika keluarga (prosedur warisan, pertikaian rumah tangga, dan hubungan antara laki-laki dan perempuan).
Keuntungan dari penekanan atas aspek manusia dalam terdiri atas dua. Pertama, fokus pada how to solve conflict dengan mengajukan pertanyaan langsung seperti apakah faktor penyebab konflik keragaman agama, etnis, bahasa, distribusi sumber daya, atau masalah yang berkaitan dengan faktor geografis? Kedua, menolak penjelasan konflik yang state-centric. Untuk ini, negara diposisikan hanya sebagai fasilitator, sementara tokoh-tokoh masyarakat dari pihak yang berkonflik diperlakukan sebagai subyek: Mereka duduk satu meja untuk mencari akar masalah dan resolusinya. Hal ini misalnya tampak jelas saat proses penyelesaian konflik Poso dan Maluku lewat Deklarasi Malino I dan II. Yusuf Kalla (wapres saat itu, mewakili negara) bertindak sebagai fasilitator sementara pihak-pihak yang dipertemukan adalah wakil-wakil masyarakat yang benar-benar terlibat dan memahami konflik. 

2.      Legitimasi dan Dominasi
Secara etimologi Legitimasi berasal dari bahasa inggris yaitu  legitimize yang berarti adalah kualitas hukum yang berbasis pada penerimaan putusan dalam peradilan,dapat pula diartikan seberapa jauh masyarakat mau menerima dan mengakui kewenangan, keputusan atau kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpin.[7] Dalam konteks legitimasi, maka hubungan antara pemimpin dan masyarakat yang dipimpin lebih ditentukan adalah keputusan masyarakat untuk menerima atau menolak kebijakan yang diambil oleh sang pemimpin. sedangkan Legitimasi tradisional mengenai seberapa jauh masyarakat mau menerima kewenangan, keputusan atau kebijaksaan yang diambil pemimpin dalam lingkup tradisional, seperti dalam kehidupan keraton yang seluruh masyarakatnya terikat akan kewenagan yang dipegang oleh pimpinan mereka dan juga karena hal tersebut dapat menimbulkan gejolak dalam nurani mereka bahwa mereka adalah bawahan yang selalu menjadi alas dari pemimpinnya.
Legitimasi Kekuasaan.
Kekuasaan dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi tingkah laku orang lain sehingga orang lain menjadi sesuai dengan yang diinginkan oleh orang yang memiliki kekuasaan tersebut. Namun dalam mempelajari kehidupan politik, kekuasaan tidak hanya sebagai kemampuan untuk mempengaruhi orang lain akan tetapi juga dipandang sebagai kemampuan untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijaksanaan yang mengikat seluruh anggota masyarakat. Suatu kekuasaan akan memunculkan sebuah kewenangan. Laswell dan Kaplan menyatakan bahwa wewenang (authority) merupakan sebuah kekuasaan formal, atau dengan kata lain wewenang merupakan kekuasaan yang memiliki keabsahan atau legitimasi.
Kewenangan seseorang belum lengkap jika seseorang belum mendapatkan legitimasi. Legitimasi merupakan penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral pemimpin untuk memerintah, membuat, dan melaksanakan keputusan politik.  Secara garis besar legitimasi merupakan hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin, hubungan itu lebih ditentukan oleh yang dipimpin karena penerimaan dan pengakuan atas kewenangan hanya berasal dari yang diperintah.
Secara umum alasan utama mengapa legitimasi menjadi penting bagi pemimpin pemerintahan. Pertama, legitimasi akan mendatangkan kestabilan politik dari kemungkinan-kemungkinan untuk perubahan sosial. Pengakuan dan dukungan masyarakat terhadap pihak yang berwenang akan menciptakan pemerintahan yang stabil sehingga pemerintah dapat membuat dan melaksanakan keputusan yang menguntungkan masyarakat umum. Pemerintah yang memiliki legitimasi akan lebih mudah mengatasi permasalahan daripada pemerintah yang kurang mendapatkan legitimasi.
Adanya pengakuan seseorang terhadap keunggulan orang lain pada hakekatnya menunjukkan adanya keabsahan atas keunggulan yang dimiliki fihak yang disebut belakangan. Pengakuan tersebut murni diperlukan karena tanpa adanya pengakuan tersebut, maka keunggulan yang dimiliki seseorang tidak mempunyai makna apapun. Menurut Gaetano Mosca, pengakuan terhadap keberadaan elit yang dapat dinyatakan sebagai suatu legitimasi ini diistilahkan sebagai suatu ‘political formula’ yang maksudnya adalah terdapatnya suatu keyakinan yang menunjukkan mengapa ‘the rullers’ dipatuhi kepemimpinannya.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Max Weber menyatakan pendapatnya bahwa terdapat tiga macam ‘legitimate domination yang menunjukkan dalam kondisi seperti apa sehingga seseorang atau sekelompok orang mampu mendominasi sejumlah besar orang lainnya. Ketiga macam legitimate domination tersebut adalah: (a) traditional domination, (b) charismatic domination, dan (c) legal-rational domination.[8]
a.       Traditional Domination (Dominasi Tradisional)
Dominasi ini mendasarkan pada tradisi yang ada dan berlaku di tengah-tengah masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian legitimasi yang diperoleh elit tentu saja didasarkan pada tradisi yang ada dan berlaku. Dalam dominasi tradisional dapat diketemukan massa dengan kepercayaan yang mapan terhadap kesucian tradisi yang ada. Sehingga pada gilirannya individu-individu yang terpilih sebagai pemimpin yang berkuasa bukan dilihat dari kharisma atau kemampuan yang dimilikinya, tetapi semata-mata atas dasar kesepakatan bersama anggota-anggota masyarakat yang sudah mentradisi.
Dalam dominasi tradisional ini hubungan yang terjadi antara elit dan massa tidak jarang merupakan sebuah hubungan yang lebih bernuansa personal. Kesempatan massa untuk direkrut sebagai staf administrasi dilihat berdasarkan pada pertimbangan loyalitas pribadi bukan berdasarkan kemampuan yang dimiliki. Hal ini menunjukkan bahwa massa mempunyai kesetian yang tinggi terhadap penguasa, dan sebaliknya penguasa juga mempunyai kewajiban untuk memenuhi segala kebutuhan massa. Akan tetapi walaupun terdapat ikatan yang sangat kuat antara massa dan elit penguasa, masih saja terdapat keleluasaan bagi penguasa secara pribadi mempergunakan otoritasnya sesuai dengan kehendaknya.     

b.      Charismatic Domination (Dominasi Karismatik)
Merupakan dominasi yang mendasarkan pada kharisma yang melekat pada diri seseorang. Perihal kharisma, Weber memberi pengertian sebagai “suatu sifat tertentu dari suatu kepribadian seorang individu berdasarkan mana orang itu dianggap luar biasa dan diperlakukan sebagai seseorang yang mempunyai sifat unggul atau paling sedikit dengan kekuatan-kekuatan yang khas dan luar biasa”. Elit atau penguasa yang kemunculannya didasarkan pada kharisma yang dimiliki, pada umumnya akan berupaya menunjukkan bukti tentang keelitannya dengan cara menunjukkan kemampuannya untuk melakukan hal-hal yang tidak mampu dilakukan oleh orang awam, pada umumnya merupakan hal-hal yang bersifat ajaib. Semakin mampu seorang individu menunjukkan bukti-bukti yang hebat dan relatif langka, maka akan semakin tinggi pula legitimasi yang akan diperolehnya sebagai elit yang berkuasa.
c.       Legal-Rational Domination
Dominasi ini pada hakekatnya didasarkan pada kesepakatan anggota masyarakat terhadap seperangkat peraturan yang diundangkan secara resmi. Individu yang berperan sebagai elit di masyarakat yang memberlakukan dominasi tipe ini diakui keberadaanya atas kemampuan yang dimilikinya dan persyaratan menurut peraturan yang berlaku. Demikian pula dengan seleksi bagi individu-individu yang dapat menduduki posisi elit ini juga diatur secara tegas oleh peraturan yang secara resmi berlaku. Persyaratan-persyaratan yang diajukan untuk menduduki posisi tertentu belum tentu sama dengan posisi lain yang dibutuhkan, karena semakin tinggi posisi yang dituju, persyaratan yang harus dipenuhi juga semakin tinggi pula begitu pula dengan kemampuan yang dimiliki juga harus semakin besar. Sebagai akibat dari kesepakatan-kesepakatan tersebut, maka individu-individu yang tidak memiliki kemampuan akan sulit untuk dapat menduduki posisi tertentu sebagai elit. Hanya individu-individu yang mempunyai kemampuan dan dipandang telah memenuhi persyaratan yang bisa mendapatkan legitimasi.
Dalam tradisi teori kritik, adalah Jurgen Habermas (1975), salah satu tokoh penting yang menekankan amat pentingnya eksistensi keteraturan normatif sebagai sumber stratifikasi. Karena itu, kedudukan Habermas dalam teori-teori antropologi semakin disadari pentingnya semenjak 1980-an. Meski Habermas menyadari benar pentingnya norma-norma sebagai sumber stratifikasi dan dominasi, seperti halnya Durkheim dan Parsons, ia mengakui peranan legitimasi dalam melestarikan norma-norma tersebut. Daripada membungkus norma-norma tersebut dengan otoritas moral, Habermas memandang legitimasi sebagai bentuk-bentuk kekuasaan.
Ideologi legitimasi yang lain akhir-akhir ini semakin menonjol adalah ilmu pengetahuan. Analisis Habermas mengenai peranan ilmu pengetahuan memberikan pemahaman lebih lanjut tentang bagaimana  ideologi merupakan bentuk-bentuk kekuasaan. Dalam menekankan fungsi ideologis dari ilmu pengetahuan, ia mengelaborasi tema sentral dari aliranpemikiran Frankfrurt. Khususnya semenjak Perang Dunia II keputusan-keputusan politik “ilmiah”. Dengan istilah ini Habermas mencakupi baik dampak yang luas dari ilmu pengetahuan dan teknologi dan kemauan spesifik kaum politisi untuk menerima nasihat ilmuwan. Ilmu alamiah dan teknologi telah begitu sukses dalam mengungkapkan tingkat materi yang kaum politisi dan warga negara berkeinginanuntuk mendengar pendapat ilmuwan. Masalahnya adalah bahwa yang terkandung dalam rekomendasi ilmiah tidak hanya sarana atau cara mencapai tujuan tetapi tujuan itu sendiri. Namun, tujuan yang diupayakan oleh ilmuwan, menurut Habermas, tidak dibicarakan secara menyeluruh dan eksplisit dalam forum-forum politik. Sebagai akibatnya, timbullah konflik kepentingan satu sama lain. Rahasia militer, misalnya, menentukan sistem untuk melakukan pengujian senjata nuklir. Juga, teknologi ruang angkasa menentukan kebutuhannya sendiri. Secara mnenyeluruh, teknologi ilmiah didorong kepada pertumbuhan kemajuan materi dan turut mengabadikan kapitalisme secara tersamar.
Ilmu pengetahuan dan teknologi lainnya adalah bentuk-bentuk kekuasaan.Ilmu pengetahuan dan teknologi lainnya adalah kekuasaan sejauh keduanya mampu mencegah meningkatnya pertanyaan, seperti pertanyaan seseorang, misalnya, distribusi yang tidak setara mengenai ganjaran dan kesempatan.Dengan menyajikan gambaran yang kacau mengenai realitas sosial yang meredam konflik-konflik di antarakepentingan-kepentingan di bawah consensus yang tidak autentik, ilmu pengetahuan dan kekuasaan mendorong lestarinya sistem kelas dan menghalangi kesadaran akan alternatif. Keduanyanya mematikan keinginan untuk berubah  ke arah kehidupan yang lebih baik. Sejauh keduanya menutup kemungkinan, ideologi membekukan status quo yang tidak berakar dalam konsensus yang absah yang muncul dari diskusi rasional. Analisis ini berada dalam tradisi Marxis mengenai distorsi ideologi dan kesadaran yang keliru. Habermas mengukur sistem politik dari masyarakat kapitalis terhadap standar warga masyarakat yang berbasis kemauan rasional dan menemukan mereka memiliki kemauan itu.[9]
Faktor-faktor yang menghambat ekspresi atau mencegah pembicara dari menjadi sadar akan kepentingan mereka membentuk prasangka wacana rasional dan menghasilkan konsensus yang dipaksakan. Ketika tiba pada kepentingan bersama, orang harus menyadari apa yang sesungguhnya mereka inginkan. Ideologi kapitalis mencegah tercapainya konsensus rasional dengan cara menekan kesadaran akan kepentingan individu yang sebenarnya. Mereka memfasilitasi kesadaran yang salah. Masyarakat kapitalis memperkuat, dalam apa yang disebut Habermas, sebagai “model supresif dari kepentingan yang dapat digeneralisasi”. Tatkala tradisi yang lebih tua seperti hukum alam dan privatisme sipil mengalami kemerosotan, kapitalisme maju dapat mengalami krisis legitimasi. Dalam krisis seperti itu negara tidak akan menerima kesetiaan massal yang dibutuhkan untuk pengendalian ekonomi.
Dalam menggeser landasan legitimasi dari nilai-nilai substansif ke prosedur linguistik, Habermas terdorong kepada kondisi konflik dengan sumber utama legitimasi fungsionalisme. Bagi Parsons, legitimasi dari negara demokrasi didasarkan pada aktivisme instrumental, yang legitimasi itu sendiri meruakan refleksi dari protetantisme (Parsons, 1965). Namun, menurut Habermas, sistem filosofis religius pada rezim masa lampau menjadi kurang efektif. Ideologi pencapaian, misalnya, yang menyatakan bahwa ganjaran disebarkan menurut distribusi individual (distributive justice), kehilangan kekuatannya melalui perubahan sosial. Juga, norma-norma prosedural dari demokrasi sebagai landasan justifikasi tidaklah memadai. Legitimasi dominasi politik tidak dapat disetarakan dengan norma-norma bagi organisasi demokratis dari dominasi. Melainkan, landasan legitimasi harus diupayakan dalam semacam bentuk interaksi komunikatif yang mampu menghasilkan konsensus rasional.
3.      Integrasi Sosial dan Nasional dalam Perbedaan Multikulturalisme
Integrasi berasal dari bahasa inggris “integration” yang berarti kesempurnaan atau keseluruhan. integrasi sosial dimaknai sebagai proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memilki keserasian fungsi.[10]
Definisi lain mengenai integrasi adalah suatu keadaan di mana kelompok-kelompok etnik beradaptasi dan bersikap komformitas terhadap kebudayaan mayoritas masyarakat, namun masih tetap mempertahankan kebudayaan mereka masing-masing. Integrasi memiliki 2 pengertian, yaitu :
1)      Pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan sosial dalam suatu sistem sosial tertentu
2)      Membuat suatu keseluruhan dan menyatukan unsur-unsur tertentu
a.      Integrasi Sosial
Integrasi sosial adalah jika yang dikendalikan, disatukan, atau dikaitkan satu sama lain itu adalah unsur - unsur sosial atau kemasyarakatan.Suatu integrasi sosial diperlukan agar masyarakat tidak bubar meskipun menghadapi berbagai tantangan, baik berupa tantangan fisik maupun konflik yang terjadi secara sosial budaya. Suatu pola hubungan yang mengakui adanya perbedaan ras dalam masyarakat, tetapi tidak memberikan makna penting pada perbedaan ras tersebut.
Menurut pandangan para penganut fungsionalisme structural, system social senantiasa terintegrasi di atas dua landasan berikut: (1)Suatu masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya consensus di antara sebagian besar anggota masyarakat tentang nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental. (2)Masyarakat terintegrasi karena berbagai anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan social (cross-cutting affiliations).
Suatu integrasi sosial di perlukan agar masyarakat tidak bubar meskipun menghadapi berbagai tantangan, baik merupa tantangan fisik maupun konflik yang terjadi secara sosial budaya.Penganut konflik berpendapat bahwa masyarakat terintegtrasi atas paksaan dan karena adanya saling ketergantungan di antara berbagai kelompok.
Syarat-Syarat Integrasi Sosial
Integrasi social akan terbentuk di masyarakat apabila sebagian besar anggota masyarakat tersebut memiliki kesepakatan tentang batas-batas territorial dari suatu wilayah atau Negara tempat mereka tinggal.
Selain itu, sebagian besar masyarakat tersebut bersepakat mengenai struktur kemasyarakatan yang di bangun, termasuk nilai-nilai, norma-norma, dan lebih tinggi lagi adalah pranata-pranata sosisal yang berlaku dalam masyarakatnya, guna mempertahankan keberadaan masyarakat tersebut. Selain itu, karakteristik yang di bentuk sekaligus manandai batas dan corak masyarakatnya. Menurut William F. Ogburn da Mayer Nimkoff, syarat berhasilnya suatu integrasi social adalah:
Anggota-anggota masyarakat merasa bahwa mereka berhasil saling mengisi kebutuhan-kebutuhan satu dengan yang lainnya. Hal ini berarti kebutuhan fisik berupa sandang dan pangan serta kebutuhan sosialnya dapat di penuhi oleh budayanya. Terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan ini menyebabkan masyarakat perlu saling menjaga keterikatan antara satu dengan lainnya. Masyarakat berhasil menciptakan kesepakatan (consensus) bersama mengenai norma-norma dan nilai-nilai social yang di lestarikan dan di jadikan pedoman dalam berinteraksi satu dengan yang lainnya, termasuk menyepakati hal-hal yang di larag menurut kebudayaannya.
Norma-norma dan nilai social itu berlaku cukup lama dan di jalankan secara konsisten serta tidak mengalami perubahan sehingga dapat menjadi aturan baku dalam melangsungkan proses interaksi social. kesepakatan tentang batas-batas teritorial, nilai-nilai, norma-norma, dan pranata-pranata sosial.
Bentuk Integrasi Sosial terbagi menjadi 2 yaitu :
1)      Asimilasi : pembauran kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli.
2)      Akulturasi : penerimaan sebagian unsur-unsur asing tanpa menghilangkan kebudayaan asli.
Integrasi sosial akan terbentuk apabila sebagian besar masyarakat memiliki kesepakatan tentang batas-batas teritorial, nilai-nilai, norma-norma, dan pranata-pranata sosial.
Faktor-Faktor Pendorong Integrasi:
Faktor Internal terdiri dari (kesadaran diri sebagai makhluk sosial, tuntutan kebutuhandan jiwa dan semangat gotong royong)
Faktor External terdiri dari :
Ø  tuntutan perkembangan zaman,
Ø  persamaan kebudayaan
Ø  terbukanya kesempatan berpartisipasi dalam kehidupan bersama
Ø   persaman visi, misi, dan tujuan
Ø  sikap toleransi
Ø  adanya kosensus nilai
Ø  adanya tantangan dari luar
b.      Integrasi Nasional
Istilah integrasi nasional berasal dari dua kata yaitu integrasi dan nasional. Istilah integrasi mempunya arti pembaruan/penyatuan sehingga menjadi kesatuan yang utuh/bulat. Istilah nasional mempunyai pengertian kebangsaan, bersifat bangsa sendiri, meliputi suatu bangsa seperti cita - cita nasional, tarian nasional, perusahaan nasional(kamus besar bahasa indonesia : 1989 dalam suhady 2006 : 36). Hal - hal yang menyangkut bangsa dapat berupa adat istiadat, suku, warna kulit, keturunan, agama, budaya, wilayah/daerah, dan sebagainya.[11]
Sehubungan dengan penjelesan kedua istilah di atas maka integrasi nasional identik dengan integrasi bangsa yang mempunyai pengertian suatu proses penyatuan atau pembaruan berbagai aspek sosial budaya kedalam kesatuan wilayah dan pembukaan identitas nasional atau bangsa(kamus besar bahasa indonesia : 1989 dalam suhady 2006 : 36-37) yang harus dapat menjamin terwujudnya keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam mencapai tujuan bersama sebagai suatu bangsa. Integrasi nasional sebagai suatu konsep dalam kaitan dengan wawasan kebangsaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berlandaskan pada aliran pemikiran/paham integralistik yang dicetuskan oleh G.W.F Hegl (1770-1831 dalam suhady 2006:38) yang berhubungan dengan paham idealisme untuk mengenal dan memahami sesuatu harus dicari kaitannya dengan yang lain dan untuk mengenal manusia harus dicari dikaitkan dengan yang lain dan untuk mengenal manusia harus dikaitkan dengan masyarakat di sekitarnya dan untuk mengenal suatu masyarakat harus dicari kaitannya dengan proses multikulturalisme.
c.       Integrasi Sosial Dan  Nasional Dalam Perspektif Antropologi
Mengapa dalam sebuah integrasi nasional di Indonesia membutuhkan integrasi sosial? Jawabannya mudah saja, karena negara Indonesia sebagai negara multikultur memerlukan sebuah keselarasan sosial dalam membangun sebuah keselarasan nasional. Dalam hal ini, saya mengambil sudut pandang multikultural, yakni sikap saling menghormati atau menjaga kestabilan hubungan sosial dengan saling menghormati antar suku, etnis, atau agama.
Kerap kali kita menemukan kasus perang antar suku-etnis, ataupun pembantaian atas nama agama, hal ini sebenarnya disebabkan oleh kurangnya rasa toleransi serta berkembanganya sikap entosentrisme, yaitu melakukan pembenaran atas diri sendiri dan menganggap suku, etnis, atau agama lain sebagai hal yang rendah. Ini sesungguhnya yang amat salah. Hal tersebut tentunya akan menjauhkan kita dari proses integrasi sosial yang kita idamkan.
Sebuah sikap multikultural akan menjaga kita untuk tetap hidup dengan harmoni yang senantiasa terjaga. Sikap saling menghargai ini tentunya akan menjaga sebuah hubungan sosial contohnya pada Kota Jakarta yang notabene kota dengan berbagai macam suku, etnis, dan agama, ke arah kehidupan madani. Dan oleh karena sikap multikulturalisme itulah integrasi sosial terwujud. Kesempurnaan hubungan sosial yang dibalut oleh rasa saling menghargai.
Dari sebuah integrasi sosial, tentunya hal ini akan membentuk sebuah inetgrasi nasional yang impelemntasinya akan menjaga keutuhan NKRI. Integrasi dalam masyarakat yang telah tertata dan terjaga tentunya akan membuat sebuah kehidupan bernegara akan mengalami tingkat yang sempurna dalam proses kehiudpan sosial-budaya serta bidang lainya.
Dan sebuah akhir kata, dimana agar tiap-tiap indiidu masyarakat dapat menjaga keutuhan NKRI, dengan memulai sikap multikultural yang tak lagi melakukan pelecehan yang berbau SARA. Karena sebuah proses kehancuran bangsa dimulai ketika rakyatnya tak lagi merasa bersatu dibawah naungan negara tersebut.



C.Analisis
Analisis dari kelompok kami mengenai penjelasan konflik, konsensus, legitimasi, dan integrasi adalah pertama, konflik merupakan sebuah proses yang ada didalam masyarakat. Gejala umum yang terjadi karena interaksi sosial. Ada banyak faktor yang menyebabkan konflik, perbedaan yang ada di masyarakat. Setiap masyarakat pasti selalu bergerak dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir. Salah satu penyebab konflik adalah perbedaan  budaya, hal ini sangat cocok dengan pembahasan dari mata kuliah ini yang memandang dari segi Antropologi mengenai kebudayaan yang ada di dalam masyarakat. Perbedaan latar belakang budaya inilah yang terkadang menimbulkan konflik, karena banyak pemikiran individu yang dipengaruhi oleh kelompok-kelompoknya. Selain itu konflik mempunya bebarapa fungsi yang menguntung masyarakat.
Kedua, kosensus dalam konflik adalah sebuah kesepakatan bersama yang diambil untuk sebuah keputusan. Hal ini membentuk sebuah pemahaman masyarakat dalam satu kesepakatan nilai dan norma serta aturan yang harus ditaati. Seperti sebuah undang-undang.
Ketiga, legitimasi. Dalam pengertiannya legitimasi adalah kualitas hukum hubungan antara pemimpin dengan kekuasaannya, dapat diartikan pula seberapa jauh masyarakat mau menerima dan mengakui kewenangan, keputusan atau kebijakan yang diambil seorang pemimpin. Jadi legitimasi menurut analisis kami, merupakan kekuasaan yang dijalankan oleh seorang penguasa, dan cara penguasa mendominasi masyarakat yang ada dibawahnya.
Terakhir tentang integrasi. Dalam integrasi sosial dan nasional sangat dibutuhkan guna meredam dan menyatukan kembali unsur-unsur yang berbeda. Suatu integrasi sosial diperlukan agar masyarakat tidak bubar meskipun menghadapi berbagai tantangan, baik berupa tantangan fisik maupun konflik yang terjadi secara sosial budaya. Sedangkan integrasi nasional identik dengan integrasi bangsa yang mempunyai pengertian suatu proses penyatuan atau pembaruan berbagai aspek sosial budaya kedalam kesatuan wilayah dan pembukaan identitas nasional atau bangsa.
D.Kesimpulan
1.      Konflik merupakan suatu gejala yang umumnya muncul sebagai akibat dari interaksi manusia dalam hidup bermasyarakat. Konflik akan timbul ketika terjadi persaingan baik individu maupun kelompok. Faktor penyebab konflik, perbedaan individu, perbedaan latar belakang kebudayaan, perbedaan kepentingan dan  perubahan nilai. Fungsi konflik (1)Konflik berfungsi mencegah dan mempertahankan identitas dan batas-batas kelompok sosial dan masyarakat, (2) Konflik dapat melenyapkan unsur-unsur yang memecah belah dan menegakkan kembali persatuan, (3) Konflik dapat menciptakan jenis-jenis interaksi yang baru diantara pihak-pihak bertentangan yang sebelumnya tidak ada, (4) Konflik dapat mempersatukan orang-orang atau kelompok-kelompok yang tadinya tidak saling berhubungan.
Konsensus menekankan pendapat bahwa bagian-bagian dari organisasi sosial, nilai-nilai, norma-norma, peranan-peranan, dan lembaga-lembaga (institusi) adalah kesatuan yang erat secara keseluruhan. Masyarakat mempunyai tujuan yang sama sepakat tentang apa yang benar dan apa yang tidak benar, dan digunakan dalam membantu perangkat kegiatan satu sama lain. Antopologi menganalisi konflik dari segi manusianya.
2.      Legitimasi berasal dari bahasa inggris yaitu  legitimize yang berarti adalah kualitas hukum yang berbasis pada penerimaan putusan dalam peradilan,dapat pula diartikan seberapa jauh masyarakat mau menerima dan mengakui kewenangan, keputusan atau kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpin. Max Weber menyatakan pendapatnya bahwa terdapat tiga macam ‘legitimate domination yang menunjukkan dalam kondisi seperti apa sehingga seseorang atau sekelompok orang mampu mendominasi sejumlah besar orang lainnya. Ketiga macam legitimate domination tersebut adalah: (a) traditional domination, (b) charismatic domination, dan (c) legal-rational domination.
3.      Integrasi berasal dari bahasa inggris “integration” yang berarti kesempurnaan atau keseluruhan. integrasi sosial dimaknai sebagai proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memilki keserasian fungsi. integrasi nasional identik dengan integrasi bangsa yang mempunyai pengertian suatu proses penyatuan atau pembaruan berbagai aspek sosial budaya kedalam kesatuan wilayah dan pembukaan identitas nasional atau bangsa.



















Daftar Rujukan
1.      id.wikipedia.org/wiki/Konflik
2.      id.wikipedia.org/wiki/Legitimasi
5.      Dadang Supardan.PENGANTAR ILMU SOSIAL Sebuah Kajian Pendekatan Struktural (Jakarta: Bumi Aksara, 2007)hal: 126
6.      Ritzer, G. dan Goodman, DJ., Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana, 2003. Hal 45
8.      Prof.Dr.Damsar. Pengantar Sosiologi Politik. (Jakarta: Predana Media Group.2010)hal.68






[1] id.wikipedia.org/wiki/Konflik

[2] Dadang Supardan.PENGANTAR ILMU SOSIAL Sebuah Kajian Pendekatan Struktural (Jakarta: Bumi Aksara, 2007)hal: 126
[3] Ibid hal:128
[4]id.wikipedia.org/wiki/konsensus

[5] Ritzer, G. dan Goodman, DJ., Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana, 2003. Hal 45

[6] http://setabasri01.blogspot.com/2012/05/pendekatan-pendekatan-dalam.html

[7] id.wikipedia.org/wiki/Legitimasi

[8] Prof.Dr.Damsar. Pengantar Sosiologi Politik. (Jakarta: Predana Media Group.2010)hal.68
[9] Achmad Fedyani Saifudin. Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma
[11] http://theperspectiveofanthropology.wordpress.com/2011/02/10/integrasi-sosial-dan-integrasi-nasional-dalam-perspektif-antropologi/

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS